Tentara telah Mundur

Hendrik,” kata Walikota Surabaya di ujung telepon, “Anda harus datang ke rumah Gubernur (Jawa Timur), ada hal yang penting.”

Saat itu malam tanggal 6 Maret 1942. Saya meninggalkan pos komando utama LBD (Luchtbeschermingsdienst = Dinas perlindungan serangan udara), yang telah menjadi rumah kedua saya selama beberapa bulan. Melewati kota yang gelap menuju rumah Gubernur, di mana saya menemukan para petinggi ASN (BB) dan Angkatan Darat setempat.

Walikota Surabaya hingga tentara Jepang tiba W. A. H. Fuchter

Di sana saya mendengar bahwa tentara kita telah mundur ke Madura. Kampanye (serangan militer) di Jawa Timur telah berakhir, dan sekarang penting untuk menjelaskan kepada Jepang bahwa Surabaya adalah “Kota Terbuka“.

Dan itulah sebabnya,” kata Walikota. “Anda harus pergi dengan mobil dan mengibarkan bendera putih untuk melakukan kontak dengan beberapa orang Jepang. Misalnya di Jembatan Wonokromo, di mana anda dapat dengan mudah terlihat. Sehingga kami dapat melaporkan hal ini kepada komando tentara mereka”.

Baik,” kataku.

Tidak, tidak baik,” kata Residen (Surabaya), “Hendrik adalah pengawas ASN dan ini (seharusnya) adalah pekerjaan seorang prajurit.”

Begitu juga bagus,” pikir Walikota dan komandan AD, yang merupakan komandan militer setempat, memberikan instruksi yang diperlukan kepada seorang perwira cadangan. “Pergilah ke jembatan Wonokromo, nyalakan lampu, kibarkan bendera putih dengan jelas dan cobalah untuk melakukan kontak.”

Baiklah,” kata letnan dan pergi.

Lima belas menit kemudian dia menelepon: “Saya sudah di Wonokromo, tapi saya tidak dapat menemukan saklar lampu.”

Kontak Pertama

Kami menghubungi ANIEM dan menjelaskan kepadanya di mana letak saklar itu. Pagi harinya letnan melapor lagi. Dia menunggu sepanjang malam, tapi tidak ada orang Jepang yang terlihat. Ia kemudian diinstruksikan untuk mencoba melewati Kali Mas di Gunung Sahari dengan mobil dan bendera putih dan berhasil.

Ia kembali bersama empat orang Jepang yang mengendarai sepeda motor dengan sespan (kereta samping). Seorang letnan dalam setelan tenis dan tiga tentara dengan topi terkenal dengan penutup di leher. Yang segera mulai mengibarkan bendera dengan matahari terbit di halaman depan rumah, kemungkinan untuk menghindari serangan bom.

Walikota yang paling mudah berinteraksi dengan orang-orang tersebut, melakukan percakapan dengan letnan Jepang.

Begini,” katanya dalam bahasa Inggris, “Surabaya tidak dibela (dilindungi). Kami hanya punya sejenis polisi yang berbeda di sini untuk ketertiban dan perdamaian. Jadi kami ingin mendeklarasikan kota ini sebagai kota terbuka. Kami ingin membicarakan semua ini dengan jenderal. ” Dia melihat arlojinya. “Sekarang sudah jam delapan. Mungkinkah sang jenderal bisa datang di sini, katakanlah, pada pukul sepuluh?”

Orang Jepang yang menyadari bahwa dia sudah memenangkan perang, berkata pura-pura terkejut : “Apa, komandanku datang kepadamu? Anda yang harus datang ke komandan saya!

Begitu juga bagus,” kata Walikota. Dia tidak pernah mengkhawatirkan hal-hal yang tidak penting. Dia memang mengkhawatirkan hal-hal yang penting saja, dan orang-orang Surabaya kemudian berhutang banyak padanya. Tapi itu tidak termasuk dalam cerita ini. Mereka mempersiapkan diri untuk kunjungan ke jenderal (Jepang) itu. Walikota, Residen, Gubernur dan komandan AD. Residen dan Gubernur memakai helm mereka. Walikota tidak membawa topi. Dia meminjam topi saya. Saat itu kami memiliki dua kepala terbesar di selatan Suez. Sekarang kami masih memilikinya, tapi di utara.

Dipimpin oleh letnan, rombongan mendatangi Jenderal Jepang yang ternyata berada di sebuah rumah di Sidoarjo.

Penyerahan Kota Surabaya

Dia segera mengambil alih pembicaraan melalui penerjemahnya, seorang pria fanatik, dan bertanya: “Siapa di antara anda yang menjadi Walikota?”

Itu saya,” kata Walikota. “Saya mengerti,” kata orang Jepang, “Kalau begitu saya ingin kalian menyerahkan kota Surabaya.” “Saya tidak bisa melakukan itu,” kata Walikota, “Karena saya bukan orang berpangkat tertinggi di wilayah ini. Kalaupun ada yang harus diserahkan, itu kewenangan Gubernur di sini. Anda harus berbicara dengannya!”

Gubernur Jawa Timur C. H. Hartevelt, yang menyerahkan kota Surabaya kepada Jepang.

Ha,” kata orang Jepang itu, “Saya mengerti” dan beralih kepada Gubernur : “Jadi, anda adalah Walikotanya!”

Bukan,” kata Gubernur, “Saya bukan Walikota, tapi pria di sana itu!”

Baiklah,” pihak Jepang kemudian berkata kepada Walikota lagi, “kalau begitu saya ingin kamu menyerahkan kota Surabaya.”

Tidak,” kata Walikota, “Saya tidak bisa melakukan itu, karena...” dan begitulah seterusnya!

Bagaimanapun itu terjadi bolak-balik beberapa kali lagi. Jenderal Jepang hanya ingin berbicara dengan Walikota, dan Walikota tidak dapat menyerahkan kotanya!

Ketika Jepang ingin agar Gubernur menyatakan untuk kesekian kalinya bahwa ia adalah Walikota, Walikota yang sebenarnya menyenggol Gubernur dan berkata: “Serahkan kota itu, apa yang kamu pedulikan!”

Dan akhirnya Gubernur menyerahkan kota Surabaya, yang difoto dengan ganas oleh kamera Jepang. Itu terjadi pada tanggal 7 Maret 1942

Pasukan Jepang memasuki kota Surabaya dengan sepeda

Teks : HENDRIK

Sumber : Majalah Tong Tong, 28 Februari 1963.

Postingan Terkait :

Walikota Surabaya Era Kolonial

Asal-usul dan Misteri Hantu di Gedung Setan Surabaya

Masjid Kemayoran Surabaya, Dulu Punya Dua Menara