Mengetahui dirinya berbeda, meski masih remaja, itulah kesepian yang harus dialami Soewarsih. Ketika dia dan adiknya Soerini bersekolah di sekolah Kartini di Buitenzorg (sekarang Bogor). Sebagai salah satu dari sedikit gadis Indonesia, keduanya mengenakan kain dan kebaya, banyak teman sekelasnya yang memandang rendah mereka.
Mereka mencibir dan berbisik-bisik dengan nada menghina: “’Seperti babu.”’ Memang benar. Di lingkungan mereka, para babu mengenakan pakaian seperti itu. Namun kedua kakak beradik ini tetap bisa terhubung berkat Soerini, yang “lebih memahami bahasa Belanda dibandingkan anak-anak Indo-Eropa.”

Sumber : E. du Perron site
Kalau menyebut Soewarsih Djojopoespito, pasti langsung teringat novelnya “Buiten het gareel” (artinya: Diluar Jalur/Garis/Kendali) tahun 1940. Itu benar namun tidak adil. Ketenaran Soewarsih terutama berasal dari novel otobiografinya. Namun sejak itu, ia telah menulis lebih banyak lagi tentang kehidupannya sebagai seorang wanita Indonesia di Hindia Belanda sebelum perang. Visinya sangat luas, suaranya jelas di majalah, dan pandangannya sangat menarik. Dia memenuhi keinginan ayahnya yang mengatakan : “Biarkan anak-anakku terbang kemanapun mereka pergi, selama mereka bisa menimba ilmu.” Kehidupan Soewarsih diberkati dengan pernyataan yang “mencerahkan” tersebut.
Ia dilahirkan pada tanggal 20 April 1912 di Cibatok, yang terletak dekat Buitenzorg. Dia mempunyai masa kecil yang menyenangkan di desa. Ayahnya Raden Bagoes Noersaid Djojosapoetro berasal dari keluarga kraton dan ibunya Hatidjah berasal dari keluarga China pedagang yang makmur. Karena ayahnya percaya pada pendidikan, dia diizinkan bersekolah bersama saudara perempuannya. Sekolah Kartini baru ada dan partisipasi anak perempuan Indonesia dalam pendidikan sangatlah luar biasa.
Kritik dan konstruksi
Wawasan datang di bangku sekolah, setelah Max Havelaar dibacakan. Soewarsih memahami: “Tiba-tiba hidupku menjadi bermakna, dan aku menyadari apa yang seharusnya menjadi impianku di masa depan. (…) Tidak ada masa muda bagi kami, anak muda Indonesia. Karena begitu kita lulus sekolah, ada tugas berat yang menanti kita semua: menjadi pemimpin rakyat. Ini adalah pemikiran yang berat dan serius bagi seorang siswi, namun mereka tidak melepaskannya. Hal serupa juga dirasakan suaminya Soegondo Djojopoespito. Namun sementara itu, konsep “Indonesia” masih sebatas ide atau gagasan, dan Hindia Belanda hadir sebagai kenyataan hidup sehari-hari. Jadi bagaimana sekarang? Segala sesuatu yang berbau Belanda tampak ideal. Bukan untuk Soewarsih. Dalam kritik dan pembangunan ia mengkritik cita-cita Eropa, karena ia melihat betapa buruknya pengaruhnya terhadap perempuan Indonesia.
Pada tahun 1938 dia menulis dengan nada mencemooh. Ada babu yang histeris, ibu rumah tangga yang puas diri, “flappers” yang modis, yang memuji Garbo dan Dietrich. Namun betapapun beragamnya sifat dan kedalaman jiwa mereka, para wanita ini memiliki kesamaan yaitu mereka menyukai pesta, pakaian indah, makanan enak dan berusaha untuk mengalahkan satu sama lain dalam mengenal tata krama dan peradaban Eropa. Menggunakan garpu dan sendok, “masyarakat cadel” di meja yang lengkap, dan juga mengetahui etiket, adat istiadat, “lagu” dan tarian Eropa menghabiskan seluruh hari-hari hidupnya. Diam dan kaku di tengah masyarakat Eropa, mereka berperilaku seperti “patung”, dengan ketakutan yang berulang di hatinya: membuat kesalahan!’
Keluar garis
Mengenali budaya Indonesia sendiri, itulah yang dimaksud Soewarsih. Pakaian, bahasa, tingkah laku, itu semua tidak boleh dibuang begitu saja demi budaya Eropa. Dua tahun kemudian, pada tahun 1940, novel utamanya, Outside the Lines, diterbitkan. Novelis dan penulis esai Eddy de Perron mencari penerbitnya dan menulis pendahuluan untuk mendapatkan rekomendasi. Dia memuji ‘kemurnian manusia’, ‘nada otentik’ dan ‘humor yang kurang ajar dan khas feminin dalam komentarnya’ – dalam ejaannya sendiri. Buku tersebut menggambarkan pengalaman hidup guru muda Soelastri. Meskipun ia hidup ‘di luar cetakan’ masyarakat Eropa, ia mengalami kesulitan besar untuk mengikuti perkembangan dunia nasionalis yang baru.
Inti dari buku ini adalah pentingnya pendidikan yang baik bagi anak-anak Indonesia. Mengapa mereka harus mempelajari nama tempat dalam bahasa Belanda? – dan persoalan pernikahan poligami yang menyakitkan bagi perempuan. Soewarsih muncul hampir di setiap halaman. Seperti Soelastri, ia lebih memilih hidup dalam kemiskinan. Namun demi cita-citanya, daripada mendapatkan manfaat dari pendidikan Barat dan menduduki posisi dengan gaji yang tinggi. Lebih baik menjadi miskin dan idealis daripada – atau tidak, tidak ada pilihan baginya.

cita-cita
Publikasi lain akan menyusul setelah Outside the Line. Namun, temanya sudah dinyatakan dengan jelas dan fokus pada peningkatan kesadaran di kalangan perempuan Indonesia. Dia senang dengan setiap apresiasi dan juga terkejut karenanya. Betapapun meyakinkannya, dan bahkan nyaris militan, ia terdengar dalam publikasinya, ia tetap rendah hati dalam memahami makna karyanya. Ketika dia mengetahui, bahwa Rob Nieuwenhuys telah menulis tentang dirinya di East Indian Mirror. Dia berpikir: ‘Saya tidak tahu bahwa apa yang saya tulis pada waktu itu akan bertahan lama dan orang-orang akan memperhatikannya.”
Sekitar 35 tahun setelah edisi pertama, ia menerjemahkan Buiten het gaeel ke dalam bahasa Indonesia. Sekarang disebut Manusia bebas, manusia bebas. Tentang terjemahannya, dia berkata: “Saya menganggapnya sebagai bukti bagi generasi muda kita, hal sederhana yang saya tawarkan kepada mereka. Hidup tanpa cita-cita adalah tandus dan kering.’ Pada tanggal 24 Agustus 1977, Soewarsih meninggal dunia karena pendarahan otak. Dia baru berusia 65 tahun. Outside the Line masih tersedia di toko barang antik dan itu bagus. Dalam novel berbahasa Belanda pertama karya perempuan Indonesia ini, kita melihat dunia Hindia yang lain. Itu juga ada di sana.
oleh Vilan van de Loo
“DILUAR GARIS”
sebuah novel Indonesia
oleh Soewarsih Djojopoespito

Novel nasionalis karya Soewarsih Djojopoespito (1912-1977) berkisah tentang perjuangan sekolah dan emansipasi perempuan Indonesia pada tahun 1930-an. Setelah pionir kemerdekaan Indonesia dan emansipasi perempuan Raden Ajeng Kartini (1879-1904) dan Noto Soeroto. Inilah novel pertama yang ditulis dalam bahasa Belanda oleh orang Indonesia, atas dorongan Edgar du Perron (1899-1940).
“Di luar garis” adalah singkatan dari: “Di luar garis pemerintahan Belanda”. Inti dari novel otobiografi yang kuat ini adalah kaum nasionalis yang berusaha mewujudkan cita-citanya. Melalui profesinya sebagai guru pendidikan nasionalis di beberapa kota di Jawa. Upaya emansipasi perempuan juga mendapat penekanan besar.
Para pemimpin Nasionalis Indonesia mendorong pendirian, pemeliharaan dan perluasan “sekolah liar”. Yaitu sekolah yang tidak disubsidi oleh Pemerintah. Setelah bangsawan Jawa Khi Hadjar Dewantoro mendirikan sekolah Taman-Siswa yang berorientasi Nasionalis pada tahun 1922. “Sekolah liar” adalah lembaga pendidikan bagi remaja dan dewasa. Terpilihnya Soewarsih dan suaminya Soegondo (1905-1978) membawa makna hidup yang penuh ketidakpastian, kekecewaan dan kemiskinan bagi mereka. Pasangan pengajar ini memandang tugas terpenting mereka adalah bekerja di tingkat akar rumput, memberikan pendidikan kepada anak-anak masyarakat.
Novel ini menjadi saksi keberadaan itu. Sukarno bertindak atas namanya sendiri dalam novel ini, namun hanya menempati tempat sederhana di dunia perempuan yang istimewa ini. Sebuah novel yang ditulis dengan sangat menarik, dengan poin-poin tajam di sana-sini. Tentang banyaknya kekecewaan di masa lalu dan sesudahnya, namun dengan humor dan ejekan diri penulis yang selalu hadir. Makna penting novel ini terletak pada kenyataan bahwa pembaca diperkenalkan kepada Soewarsih dan zamannya melalui sudut pandang seorang perempuan Indonesia.