Somobito adalah nama sebenarnya dari pabrik gula ini, dan bukan Soemobito, seperti yang selama ini salah ditulis. Menurut Mildred Everaars, cucu langsung dari pemilik pabrik ini. Kisah ini diterjemahkan dan dikutip dari tulisannya pada Moesson, nomor 5, terbitan November 2001. PG. Somobito terletak di Soemobito, sekitar 10 km sebelah barat daya Mojokerto, di jalur kereta api menuju Jombang.

PG. Somobito, Jombang

PG. Somobito mengalami saat-saat membahagiakan sebelum perang. Sebagai sebuah perusahaan, dibangunlah kawasan perumahan sebanyak empat belas rumah, untuk karyawan pabrik yang berpendidikan tinggi. Rumah-rumah ini dibangun mengelilingi alun-alun dengan pepohonan terkenal ditanam di tengahnya. Ada lapangan tenis dan ada juga gedung sosial (disebut societeit atau soos), di sinilah pesta kerap kali diadakan. Seperti misalnya untuk memulai kampanye gula (musim giling), pesta giling diselenggarakan untuk mengharapkan hasil panen yang baik. Pesta itu biasanya diadakan pada hari Natal dan Hari Ratu.

Pesta di soos PG Somobito, Jombang.

Namun, betapa jelas kontrasnya dengan nasib dari societeit selanjutnya. Pada masa Bersiap, societeit diubah menjadi dapur dan rumah khusus untuk laki-laki dewasa. Sementara dekat lapangan tenis, yang terletak di samping societeit menjadi kuburan bagi orang-orang yang meninggal, dari para penghuni kawasan komplek pabrik gula yang diubah menjadi “Kamp Somobito”.

Rumah Asli Hindia

Kakek dan nenek saya, tuan dan nyonya Kervel-Brakke, adalah pemilik perusahaan tersebut. Mereka tinggal di rumah administrator tepat di sebelah pabrik. Rumah itu besar dan memiliki beranda depan yang luas, sebagaimana biasanya rumah orang Hindia. Rumah itu bukan bagian dari kamp Somobito.

Alun-alun PG. Somobito, Jombang.

Ike Catrien

Pabrik ini didirikan dengan modal Belanda dari ahli waris Eilbracht, dilengkapi dengan mesin-mesin dari Belanda yang diselesaikan di lokasi. Awalnya penyediaan tebu dan gula dilakukan dengan menggunakan pomplorries yang terkenal. Hal yang pertama kali ditangani adalah pembangunan jalur rel kereta api, agar tebu dapat segera sampai ke pabrik. Kakek dan nenek saya bangga ketika ada dana untuk membeli lokomotif uap sungguhan. Oleh karena itu, perjalanan pertama lokomotif uap ini diiringi dengan upacara besar. Harus diadakan selamatan untuk memperoleh berkah atas mesin raksasa tersebut. Nama lokomotif tersebut harus diumumkan secara khidmat. Tetapi nenek saya sangat marah ketika sebuah kain kanvas diturunkan dari lokomotif, dan terlihat tulisan nama raksasa: “Ike Catrien“.

Pesta perayaan perjalanan pertama lokomotif “Ike Catrien” di PG. Somobito,Jombang.

Nama lokomotif tersebut, awal mulanya diberikan oleh para karyawan, sebagai ucapan terima kasih kepada nenek saya. Tetapi sikap atau gerakan ini tidak diterimanya dengan baik. Dia tidak merasakan adanya korelasi apa pun dengan raksasa yang mengepulkan uap dan asap ini.

Ketika ancaman perang semakin kuat, kakek dan nenek saya memutuskan untuk mengirim beberapa barang. Barang yang mereka pikir tidak diperlukan ke Belanda, mereka sendiri akan pergi menyusul nanti. Barang-barang ini dikirim ke Belanda dalam kotak-kotak dengan kapal, tetapi karena perang mereka terdampar di Southampton (Inggris). Hanya bisa dikirimkan ke Belanda setelah perang dengan biaya yang sangat besar. Tapi apa yang akan anda lakukan, jika ini adalah satu-satunya harta (warisan yang berharga) yang anda miliki?

Kotak-kotak itu antara lain berisi foto-foto yang dicetak dalam artikel ini. Kakek nenek saya tidak pernah sampai di Belanda. Nenek saya, seperti banyak orang lainnya, berakhir di kamp dan meninggal di sana. Kakek saya bekerja di jalur kereta api Pakan Baroe dan meninggal karena kerja keras di sana juga. Rumah mereka sudah disita oleh Jepang ketika perang, dan mereka tahu itu. Untungnya, mereka tidak pernah tahu bahwa Jepang menggunakan pabrik itu untuk membuat spare part peralatan perang mereka. Dan komplek perumahan perusahaan itu kemudian digunakan sebagai kamp interniran pada masa Bersiap.

Kamp Somobito

Di Somobito, antara 2.200 dan 3.000 orang hidup dalam kondisi miskin, dari akhir tahun 1945 hingga awal tahun 1946. Di empat belas bekas rumah karyawan, yang biasanya dihuni oleh satu keluarga beranggotakan empat sampai lima orang. Sebagian besar rumah tempat tinggal di kamp menampung perempuan (1.400) dan anak-anak (800). Sementara sekitar 200 orang laki-laki dewasa ditempatkan di rumah khusus pria (di societeit).

Denah Kamp Interniran di PG. Somobito, Jombang
G. Garage (bengkel)
P. Polikliniek in huis 11 (pas later)
K. Kerkhof (makam)
SC. Sociëteit (soos)
KK. Keuken (dapur)
T. Tennisbaan (lapangan tennis)
M. Mannenhuis (rumah khusus laki-laki dewasa)
1 t/m 14. Huis met achtertuin (rumah dengan belakangnya kebun)

Kamp itu dijaga dengan baik, lagipula kamp itu merupakan area bertembok dengan gedek dan parit di sekelilingnya. Sebuah gerbang memberi akses ke alun-alun dan rumah-rumah. Rumah-rumah tersebut sudah dijarah dan dalam keadaan kosong sebelumnya, karena warganya sudah diangkut ke berbagai kamp interniran. Sekitar enam puluh orang tewas di kamp Somobito. Dan mereka yang selamat akhirnya dibawa pergi melalui jalur kereta gula. Gerbong barang tersebut ditarik oleh lokomotif yang pernah menjadi kebanggaan perusahaan, lokomotif “Ike Catrien“.

Beberapa orang menggambarkan pengalaman mereka sebagai interniran di kamp ini. Jika ada pembaca yang mengunjungi Somobito atau yang tersisa setelah perang, saya ingin mendapat informasi tentangnya. Kami sendiri belum pernah kembali ke perusahaan kami tersebut.

Sumber Data Kamp Somobito/Soemobito

Artikel Terkait :

Problem Awal Seorang Administrator Pabrik Gula