Ayah saya, J. F. Gogelein (1880-1964), diangkat menjadi administrator1 pabrik gula Kebon Agoeng, yang terletak di dekat Malang pada tahun 1918. Pabrik tidak berjalan maksimal dan menjadi seorang administrator bukanlah tugas yang mudah, apalagi di awal-awalnya. Kenangan di bawah ini adalah tentang awal yang sulit ini. Tampak dalam surat tertanggal 18 November 1959, kepada saya putranya.
Pabrik gula itu dimiliki oleh seseorang bernama tuan Tan Tjoan Bie (Tan Tjwan Bie). Seorang China yang di Malang dikenal dengan sebutan “Toean Eigenaar” (tuan pemilik). Sebagaimana lazimnya, fungsi pabrik berada di tangan keluarga China. Misalnya sang administrator, tuan Tan Boen Tjang, adalah paman dari pemiliknya sendiri.
Sayangnya, pabrik tersebut tidak berkinerja baik. Tuan pemilik meminta pinjaman kepada Javasche Bank yang besar, seperti yang telah dia lakukan sebelumnya. Namun kali ini, dia dianggap kurang layak mendapat kredit. Menurut rumor, dia telah kehilangan banyak uang, karena hasratnya yang tinggi bermain judi. Dapat dipahami bahwa pinjaman itu hanya mungkin dilakukan, jika dia dapat memenuhi satu syarat. Yaitu dia harus menunjuk seorang administrator Eropa.
Tan Tjoan Bie tak punya pilihan selain menurutinya, betapapun pedihnya ia kini harus memecat pamannya sendiri.

Kebetulan, setelah bekerja di berbagai pabrik gula (termasuk di Sroeni dan Djatiroto), ayah tidak bekerja pada saat itu dan ia memperoleh kesempatan. Ketika dia dipanggil, dia memang mau mengambil pekerjaan ini, dengan apa yang disebut hari ini sebagai “Manajer Krisis“.
Ayah kemudian dapat menetap di sana bersama keluarga, istri dan kedua anaknya Zus dan Jean Pierre. Lambat laun, cintanya pada Kebon Agoeng semakin besar. Banyak yang bisa ia ceritakan tentangnya, cerita-cerita yang tentunya layak untuk diceritakan kembali. Namun disini saya hanya bermaksud mengutip salah satu dari suratnya saja.
” …Pada tahun 1918 saya menjabat sebagai administrator baru di pabrik gula Kebon Agoeng. Yang memiliki banyak pegawai namun dikelola dengan buruk. Sebuah perusahaan gula yang berlokasi indah, dengan tanah subur dan banyak air dari sungai Brantas dan anak sungainya Metro. Yang masing-masing berasal dari kaki gunung Arjuno dan Kawi. Kawasan gula ini terletak di dataran tinggi Malang, yang dikelilingi oleh gunung Arjuno, Kawi, juga Kelud di atasnya lagi di sebelah barat. Pegunungan Bromo dengan puncak Semeru yang tinggi di timur, dan pegunungan Selatan di bagian selatan. Banyak dari gunung-gunung tersebut yang masih merupakan gunung berapi aktif. Di lereng gunung yang berbukit-bukit, tempat sawah-sawah tumbuh subur, terdapat desa-desa hijau subur dengan penduduk yang sehat dan sejahtera. Negeri yang sangat indah dengan iklim yang nyaman.
Tenaga kerja yang tidak kompeten perlu diganti dengan teknisi dan pekebun berpengalaman, yang dapat memanfaatkan peluang baik yang ditawarkan perusahaan. Namun panen pertama hancur, akibat letusan gunung Kelud. Kemarahan gunung tersebut dihubungkan oleh keluarga dan teman-teman pemilik China tersebut, sebagai hukuman dari sorga (langit). Karena memecat staf China dan beberapa orang Indo-Eropa. Sangat mempengaruhi pemiliknya dan terutama istrinya yang gigih. Saya dan teman-teman Eropa berusaha meyakinkannya. Bahwa apabila dia memang pantas menerima hukuman, dia sendiri pasti akan mati dalam arus lahar. Bukan dengan banyak korban yang tidak bersalah, yang meninggal dalam jumlah ratusan dan tidak punya apa-apa. Jadi, tidak ada kaitannya sama sekali dengan kinerja pabrik.
Namun, jelas ada suasana permusuhan di antara staf lama yang masih ada. Hal ini muncul ketika masinis pertama (kabag tehnik), Van Eel, harus dipecat karena ketidakmampuannya, setelah musim giling yang menentukan. Van Eel berasal dari Solo, dan secara teknis terbelakang. Ia berusaha mempertahankan karirnya dengan memberikan selamatan kecil-kecilan, untuk roh-roh jahat dari mesin yang tidak dirawat dengan baik. Dia mengambil cuti dengan wajah tidak bersalah, tetapi buktinya dia tidak mengambilnya. Dan saya mendengar, bahwa dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan yang lebih tinggi, mungkin dengan roh-roh (ghoib). Menjadikan masalah ini bersifat pribadi.
Ia sesumbar, di hadapan pegawai setianya, akan ditentukan siapa yang ternyata terbuat dari kayu dan siapa yang terbuat dari besi. Teman saya yang setia dari Ambon, Lucas, yang pernah saya bantu keluar dari kesulitan sebagai kepala di pabrik gula Sroeni, segera datang membantu saya. Ia tinggal di Malang dan selain mendapat kabar dari Kebon Agoeng, ia juga mengetahui semua perusahaan di sekitarnya. Lucas, yang juga seorang ahli roh, memperingatkanku bahwa itu pasti akan berakhir dengan usaha guna-guna.
“Apakah itu tidak berbahaya, Lucas?” Saya bertanya. “Kalau kamu percaya, iya,” kata Lucas. “Jika Anda tidak percaya, ya jangan. Tapi tidak percaya dengan sungguh-sungguh, jangan asal bilang!” “Kalau begitu, itu tidak berbahaya, Lucas.” Kupikir begitu, selama itu hanya mantra, tapi segalanya akan berubah ketika racun mulai digunakan.
Kini aku mempunyai seorang pembantu rumah tangga dan sopir yang setia, Talka, yang dicari oleh Lucas dari Sidoardjo (dekat Sroeni). Istrinya bernama Moerti, adalah seorang juru masak. Sementara seorang gadis Kristen, Roemanti, yang dibesarkan oleh para misionaris, merawat Zusje dan Jean Pierre. Jadi kecil kemungkinannya untuk diracuni, orang-orangku tidak bisa dibeli.

Namun, saya tidak mau mengambil risiko dengan kurangnya persiapan. Jadi saya meminta bantuan seorang pria lain yang sangat berdedikasi, yaitu Koesen, seorang mantan operator mesin dari Sroeni. Yang telah mengikuti saya dengan setia di pabrik Djatiroto dan Soemberdadi. Dan kemudian juga mendapat pekerjaan di bagian gudang di Kebon Agoeng.
Koesen yang sedang mengoperasikan mesin gilingan ketiga di Sroeni, terpeleset di lantai semen yang licin dan lengannya menyentuh flywheel. Lengannya itu putus terpotong. Bagi orang Jawa, disabilitas berarti kemiskinan dan pengangguran. Ketika dia keluar dari rumah sakit, Lucas datang kepada saya untuk memberikan berita yang baik untuknya. Saya meminta Koesen belajar membaca dan menulis, serta mempekerjakannya di gudang pabrik. Pria ini meyakinkan saya, bahwa dia akan mengawasi segala sesuatu dan bertindak sebagai mata-mata.
Suatu hari saya kebetulan melihat dari kantor saya, yang berada di jalan utama Malang-Kepanjen. Jelas diperingatkan secara telepati, dan melihat seorang haji tua berjalan lewat sambil membungkuk. Sosok aneh dengan sorban hijau, kafan putih, dan payung katun besar berwarna hijau. Saya langsung merasa kalau ini pasti perwakilan guna-guna, mungkin dari Solo.
Koesen ditugaskan untuk mengejarnya, dan harus berada di rumah sebelah Van Eel, mengkonfirmasi pertemuan para komplotan.
Dikabarkan lebih lanjut, bahwa salah satu penjaga pabrik (waker), juga asal Solo. Mendapat cuti beberapa hari karena ibunya sakit dan membawa serta seorang haji. Koesen menunjukkan kepada saya, bahwa penjaga itu sekarang sedang bertugas di ketel uap, dan oleh karena itu saya dapat menanyainya.
Di pabrik yang kosong dengan mesin-mesin mati, ketel masak besar di platform tinggi. Pompa-pompa yang dibongkar, deretan mesin sentrifugal dan pipa-pipa yang kusut. Langkah kaki saya terdengar hampa dan seperti hantu. Di ruang ketel, penjaga itu duduk dengan tenang di atas tikarnya. Saya mendatanginya. Dia berdiri dan aku berkata dengan serius: “Katakan Jaga, haji yang kamu punya untuk tuan Van Eel itu mandi? (mandi bahasa Jawa, yang artinya ilmunya manjur/ampuh). Kalau tidak, maka akan sulit baginya, sebab aku terbuat dari besi.”
Untuk menunjukkan kekuatanku, aku memukul-mukul kepalaku dengan keras menggunakan buku-buku jariku. Penjaga itu seketika menghaturkan sembah dan bersumpah berani mati, bahwa dia belum pernah mendengar tentang haji ini. Ini membenarkan masalah tersebut dan membuatku merinding.
Di rumah saya berpikir untuk menemukan jawabannya. Di halaman belakang yang luas, dengan dinding luar sawah, aku meletakkan enam botol kosong setengah meter jauhnya dan mengeluarkan pistolku. Pistol yang diberikan kakek kepadaku, karena negara yang berbahaya ini dan sejak itu ada di dalam koper. Saya menembak enam botol dari jarak aman hingga berkeping-keping. Ledakan terdengar di seluruh komplek pabrik, dan yang pertama muncul adalah Talka yang terkejut.

“Apa yang sedang anda lakukan?” dia bertanya dengan rasa ingin tahu. Aku berkata, “Aku baru saja menembak enam orang haji, Talka.”
Setengah jam kemudian, Van Eel meminta berangkat lebih awal karena ibunya telah meninggal dunia. Dan ia pun berangkat bersama sang haji, diantar oleh Koesen. Yang kebetulan juga harus berangkat ke stasiun untuk naik kereta api menuju Sidoarjo, jadi sekalian bersama dalam perjalanan. Aku tidak pernah melihat haji atau Van Eel lagi, dan disinilah cerita mistisku berakhir.
Aku telah menghabiskan hari-hari bahagia di Kebon Agoeng, dengan orang-orang yang terampil dan berdedikasi, perusahaan ini berkembang pesat…

Teks: A. J. F. Gogelein
Diterjemahkan dari : Majalah Moesson, terbitan 1 Maret 1999.
Catatan Kaki :
- Catatan dari bung Tjahjana Indra Kusuma : “administrator” dalam kalangan pabrik gula lazim disebut “administratur”, serapan dari bahasa aslinya (Belanda/Perancis) “administrateur”. Namun kata “administratur” bukan kata baku dalam bahasa Indonesia, karena tidak ada/belum dicantumkan di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ↩︎
Artikel Terkait :
Somobito, dari Pabrik Gula ke Kamp Interniran