Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM), adalah perusahaan pelayaran terbesar milik Belanda yang melayani hubungan laut antar pulau di Indonesia. Perusahaan ini memulai layanannya pada tanggal 1 Januari 1891. Setelah beroperasi selama 66 tahun, perusahaan ini dinasionalisasi pada akhir tahun 1957.

Kapal uap (SS) yang ditambatkan di Tandjong-Priok saat itu adalah : Plancius, van der Lijn, Tasman, Bontekoe, Blinjoe dan Sidajoe. Sedangkan kapal motor (MS) terdiri dari : Ophir, Balikpapan, Balanipa, Bandjermasin, Landak, Luriang, Leting, Leksoela dan Kaimana. Total sejumlah 15 kapal. Kapal-kapal KPM tersebut, telah ditahan oleh pemerintah Indonesia pada bulan Desember 1957.

Pada 31 Maret 1958, sebanyak 38 kapal milik KPM meninggalkan pelabuhan di Indonesia untuk terakhir kalinya. Kapal-kapal itu dibebaskan pada tanggal 27 Maret 1958. Dengan pengumuman bahwa semua kapal yang masih ada di Nusantara, harus sudah pergi pada tanggal 31 Maret 1958. Sangat sedikit yang diketahui tentang keberangkatan kapal-kapal tersebut. Salah satu dari kapal itu adalah MS “Karossa”, yang saat itu sedang berlabuh di sungai Musi Palembang. Berita tentang kapal ini yang mencoba melarikan diri, dimuat di harian Pedoman, tanggal 5 Desember 1957.

MS “Karossa” di pelabuhan sungai Musi Palembang

Kapal Karosa (KPM) Mau Tjoba Lari

Ketika membongkar muatan di Palembang, Palembang, 5-12 (Antara).

Malam Kemis dipelabuhan kapal Palembang Boom Baru telah terdjadi “kehebohan” karena Kapten kapal KPM M.S. “Karosa” telah melakukan pertjobaan untuk melarikan kapalnja pada malam hari dari pelabuhan tersebut, dengan tudjuan jang tidak diketahui.

Seluruh anak kapal tersebut naik kedaratan dan melaporkan halnja kepada Komando Pelabuhan Palembang. Setelah  diberikan pendjelasan2 oleh Komando Pelabuhan, mengenai kechawatiran Kapten kapal tersebut, maka Kapten kapal tidak dapat berbuat lain daripada kembali melabuhkan kapalnja dan melakukan pembongkaran barang menurut biasa.

Harian Pedoman edisi 5 Desember 1957.

Laporan Saksi Mata

Tentang kejadian di Palembang tersebut, kemudian ditulis oleh saksi mata : L. R. Kreeuseler, tentang bulan-bulan terakhir KPM di Indonesia (periode November 1957 s/d Maret 1958. Dimuat di Majalah Moesson, 15 April 1995 :

Pada masa yang disebut aksi Irian Barat (New Guinea), saya menjabat sebagai kepala teknisi di kapal KPM, MS “Karossa”. Pada pertengahan November 1957, kapal itu ditambatkan di dermaga Samarinda di Kalimantan. Para perwira yang masih saya ingat adalah : Kapten W. A. Giel (Angkatan Laut Cadangan, oleh karena itu ia mengibarkan bendera Belanda dengan jangkar warna hijau), Juru mudi pertama R. Hessel, kepala teknisi ke-2. B. Kreefft dan kepala teknisi ke-3 J. Kajadu.

Selama konflik di sekitar New Guinea, beberapa orang Indonesia mengungkapkan kekesalannya dengan mengecat kapal kami pada malam hari. Karossa tiba di Palembang pada tanggal 3 Desember 1957, pukul 07.30 dan berlabuh di sungai Musi. Di dermaga terdapat kapal KPM lainnya, MS “Larat” yang tidak dapat berangkat karena kerusakan mesin. Karena dirasa ada sesuatu yang terjadi, sebanyak mungkin teknisi dari Karossa membantu memperbaiki kerusakan mesin Larat. Mereka terus mengotak-atik pada malam dan pagi hari hingga pekerjaan selesai. MS “Larat” bisa berangkat pada pukul 7 malam, sedangkan MS “Karossa” sudah ditambatkan di pagi harinya.

Kapal MS “Karossa” yang dicorat-corat akibat aksi Irian Barat
Kapal MS “Karossa” yang dicorat-corat akibat aksi Irian Barat

Yang tidak diketahui oleh siapa pun tentang KPM di Palembang saat itu, adalah berita penting pada tanggal 4 Desember 1957. Presiden Sukarno menyita (memerintahkan penahanan), seluruh kapal milik KPM yang ada di pelabuhan Indonesia.

Agen KPM, tuan Koper datang ke kapal dengan instruksi dari KPM Amsterdam. Menyatakan : “Instruksi dari Direksi di Jakarta tidak dapat diandalkan. Seluruh kapal KPM harus melakukan pengalihan ke pelabuhan luar negeri terdekat secepatnya.” Namun tidak ada telegram seperti itu yang diterima oleh operator radio Karossa. Kapten kapal tidak mau berangkat tanpa adanya surat-surat kapal. Dan ingin ternak-ternaknya (yang dibawa sebagai muatan) diturunkan dari kapal, karena tidak ada lagi jerami untuk pangan mereka.

Setelah rapat para pimpinan, diputuskan untuk mencoba melarikan diri setelah dirasa aman pada pukul 21:15. Namun persiapan tersebut membuat beberapa ABK Indonesia curiga dan mereka melapor ke otoritas pelabuhan. Ketika semakin banyak ABK Indonesia yang meninggalkan kapal, kapten memutuskan untuk tidak berangkat. Upaya untuk melarikan diri telah gagal.

Pada tanggal 6 Desember, kapten, juru mudi, dan kepala teknisi sedang sarapan. Ketika komandan pelabuhan, syahbandar, dan beberapa personil militer naik ke kapal sekitar pukul 8 pagi. Instruksinya adalah : ruang radio harus dikunci (akan disegel), serahkan semua senjata, jatuhkan kedua jangkar haluan dan turunkan bendera (dengan jangkar). Ini harus dilakukan oleh juru mudi pertama. Dia berdiri dari meja sarapan sambil menghela nafas dan mengucapkan kata-kata bersejarah :

“Saya telah berlayar sebagai juru mudi selama bertahun-tahun. Tetapi ini adalah pertama kalinya saya diperintahkan untuk membuang sebanyak tiga jangkar kapal sekaligus…”

Penumpang di dalamnya adalah istri kepala teknisi ke-2 bersama putra mereka Rob. Setelah dua minggu, nyonya Kreefft, putranya dan operator radio berangkat ke Singapura dengan Straigt Boat MS “Darvel”. Kemudian dari sana mereka melakukan perjalanan ke Belanda. Juru mudi ke-2 yang sudah sakit setibanya di Palembang sudah berangkat lebih awal.

Pada bulan Desember, total 38 kapal ditahan di berbagai pelabuhan di Indonesia. Saat yang menakutkan dan sangat tidak menentu tiba bagi para perwira Belanda dan ABK Indonesia yang setia (kebanyakan berasal dari Maluku). Mereka dipisahkan dari keluarga mereka tanpa batas waktu, sering kali dikudeta dari kapal dan kekuasaan mereka dilucuti. Tidak ada yang tahu berapa lama semua ini akan berlangsung…

Ada 15 kapal di Tandjong Priok dan 23 kapal lainnya di berbagai pelabuhan lain termasuk Karossa. Perintah penahanan kemudian dicabut pada 27 Maret 1958. Dengan perintah tegas agar seluruh kapal KPM harus diberangkatkan paling lambat tanggal 31 Maret 1958. Kapal-kapal yang sudah menganggur kurang lebih empat bulan itu harus berlayar dengan persiapan selama empat hari saja. ABK Indonesia yang berpangkat lebih rendah tentu saja tidak hadir. Para perwira dan bintara yang tersisa, serta segelintir staf kantor dan dermaga harus menyiapkan kapal dan berlayar ke Singapura. MS “Karossa” meninggalkan Palembang pada 29 Maret 1958, dengan awak kapal “hanya” enam orang saja menuju Singapura.

Keberangkatan Massal

Surat kabar Algemeen Handelsblad, edisi 31-03-1958, mengabarkan keberangkatan massal armada kapal KPM tersebut dari pelabuhan di Indonesia. Armada KPM sedang dalam perjalanan menuju Singapura, dengan tambahan awak kapal dari personil pantai, termasuk perempuan Belanda.

Kapal utama KPM, SS “Plancius” (5955 ton) meninggalkan Tandjong Priok menuju Singapura hari ini (31 Maret 1958). Kapal yang biasanya memiliki awak 150 orang, kini hanya membawa 22 orang awak. Personil dari kantor KPM dan instalasi di pantai, bahkan sekretaris secara sukarela ikut bergabung dengan kru. Menjadi perjalanan yang sulit namun penuh petualangan melintasi Laut Jawa.

SS “Plancius”

“Merupakan suatu kerja keras, bagi awak kapal yang sedikit jumlahnya di seluruh kapal kita yang berangkat hari ini,” kata Direktur KPM di Jakarta, Mr J. W. Brand. Rencananya, sebelas kapal lagi akan berangkat hari ini meninggalkan Tandjong Priok menuju Singapura.

Sehari sebelumnya pada tanggal 30 Maret 1958, MS “Ophir” (3000 ton), Leksoela (565 ton) dan Lariang (565 ton) sudah meninggalkan Tandjong Priok menuju Singapura. Kapal-kapal tersebut hanya mempunyai awak kapal Belanda, dengan inti pelaut Belanda dan dilengkapi dengan personel dari pantai. Mr. Brand berharap sejumlah 34 kapal KPM lainnya yang masih berada di Indonesia, sudah meninggalkan perairan Indonesia sebelum tengah malam.

Ia mendapat kabar bahwa dua kapal yang berlabuh di Makassar sudah berangkat ke Singapura. Dia belum mendapat konfirmasi resmi mengenai pemberangkatan kapal dari pelabuhan lain, namun diperkirakan seluruh armada sudah berangkat pada hari ini (31 Maret 1958). Di antara awak kapal tersebut, terdapat dua orang ibu rumah tangga yang dengan sukarela menemani suaminya sebagai pelaut.

Pada tanggal 31 Maret 1958, tepat 66 tahun yang lalu berakhirlah sejarah KPM di Indonesia…

Postingan Terkait :

Enam Gelombang

Sinterklas Hitam (Zwarte Sinterklaas)

Kapal sebagai Simbol Repatriasi