Pemulangan warga Belanda/Indo Belanda terjadi pada periode tahun 1945-1968. Lebih dari 300.000 orang datang ke Belanda dari bekas Hindia Belanda (Indonesia). Migrasi ini dikenal dengan istilah “repatriasi” yang dapat diartikan sebagai “kembali ke tanah air“. Istilah yang sebenarnya hanya bersifat simbolis, karena sebagian besar dari mereka yang kembali “belum pernah” ke Belanda sebelumnya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah, Sukarno dan Hatta mendeklarasikan Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah masa Bersiap yang penuh kekerasan pada bulan-bulan terakhir tahun 1945, terjadilah perang kolonial/kemerdekaan. Yang akhirnya berujung pada penyerahan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Belanda mempertahankan satu wilayah : New Guinea Belanda (Irian Barat). Namun Indonesia menentang kekuasaannya dan ketegangan politik dan militer antara kedua negara meningkat pada saat itu. Pada tahun 1962, New Guinea akhrinya juga dialihkan ke Indonesia.
Gelombang Pertama (1945-1949) : Eksodus Pengungsi dan Pemulihan
Tidak Ada Kemungkinan Untuk Kembali
Pada masa pendudukan Jepang, sebagian besar penduduk Belanda ditahan di kamp-kamp Jepang. Pemerintah Hindia Belanda yang berimigrasi ke Australia, berencana menerima mereka setelah pembebasan. Rencananya penerimaan di Hindia Belanda sendiri akan diadakan di sanatorium, rumah sakit, dan tempat liburan setempat. Sanatorium dan resor liburan sebagian besar berlokasi di luar kota besar. Deklarasi kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta serta periode Bersiap yang penuh kekerasan, membuat rencana tersebut tidak mungkin dilaksanakan.
Masa Bersiap
Setelah Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, Hindia Belanda berada di bawah komando militer Inggris. Pasukan British India pertama baru tiba di Jawa pada pertengahan September, sedangkan pemerintahan Hindia Belanda masih berpusat di Australia. Terjadi kekosongan kekuasaan, yang dimanfaatkan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya dengan kekerasan. Periode Bersiap pun pecah.
Para mantan interniran tidak dapat meninggalkan kamp dan dilindungi oleh militer Jepang. Mereka yang disebut : “kamp luar“, yaitu orang-orang Belanda yang tidak ditahan di kamp-kamp Jepang pada masa Jepang. Kamp luar kemudian mencari perlindungan di bekas kamp-kamp tersebut. Pasukan British India yang tiba tanpa disadari terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak korban jiwa di pihak Belanda, Indonesia, dan British India. Jumlah resmi korban Belanda diperkirakan sekitar 3.500 orang. Namun selain itu, sekitar 16.000 orang hilang. Jumlah korban di pihak Indonesia sepuluh kali lipat. Pada akhirnya, pasukan British India berhasil memulihkan perdamaian di sejumlah wilayah yang disebut-sebut sebagai wilayah utama. Yaitu kota utama dan daerah sekitarnya : Batavia, Surabaya, Semarang dan Bandung.
Di daeran pedalaman tetap tidak aman. Para mantan interniran, terutama yang berasal dari kamp-kamp di Jawa Tengah seperti di Ambarawa dan Banyubiru. Mereka dievakuasi oleh RAPWI (Relief Allied Prisoners of War and Internees, bantuan sekutu untuk tawanan perang dan interniran) dalam kondisi berbahaya ke daerah-daerah utama yang relatif aman. Sebagian besar penduduk Indo-Eropa di kamp luar, sering kali tinggal tersebar di pedesaan. Mereka harus menyelamatkan diri. Beberapa berhasil melarikan diri ke kota-kota penting tersebut. Yang lain menerima perlindungan lokal dari tentara Jepang atau karyawan RAPWI dan tentara British India. Namun mereka tidak memenuhi syarat untuk dievakuasi secara terorganisir oleh RAPWI.
Pada akhirnya, sekitar 40.000 orang Indo-Eropa dan juga yang disebut “IFTU” (Inhabitants Friendly To Us). Artinya Penduduk yang bersahabat dengan kami (termasuk orang Maluku dan Menado), diasingkan di kamp-kamp Partai Republik sejak bulan Oktober 1945. Beberapa di antaranya berasal dari Kota Surabaya. Sebelum pecahnya Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, mereka dibawa oleh pejuang Indonesia ke kamp-kamp di pedalaman. Penahanan di kamp-kamp Partai Republik bervariasi dari enam bulan hingga lebih dari dua tahun.
Berlindung di Belanda
Seluruh rencana awal untuk berlindung di wilayah mereka sendiri (Hindia Belanda) gagal dan berlindung di Belanda adalah alternatifnya. Diperlukan waktu hingga bulan Desember 1945, sebelum ruang pengiriman akhirnya tersedia untuk mengevakuasi mantan interniran dari kamp Jepang ke Belanda untuk pemulihan.
Evakuasi dimulai pada bulan Desember 1945. Pada tahun 1946, yang juga merupakan tahun puncak repatriasi pascaperang, hampir 70.000 orang dikirim ke Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya hingga termasuk tahun 1949, hampir 40.000 orang lagi meninggalkan negara tersebut. Gelombang pengungsi tersebut sebagian besar terdiri dari mantan interniran Belanda, yang dikirim ke Belanda untuk pemulihan. Hal ini umumnya – namun tidak eksklusif – melibatkan personel perusahaan, pegawai negeri sipil senior, dan personel militer beserta keluarganya. Di antara mereka juga terdapat sekelompok besar janda korban perang dan (setengah) anak yatim piatu. Mereka akan menetap secara permanen di Belanda. Biasanya mereka yang cuti, kembali setelah enam bulan untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Gelombang Kedua (1949-1952) : Eksodus ASN dan Tentara
Pembubaran Pemerintahan Hindia Belanda dan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (1950-1952)
Penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 menimbulkan gelombang kepergian yang kedua. Aparatur Sipil Negara Hindia Belanda dibubarkan dan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dibubarkan. Tidak ada lagi ruang bagi pegawai negeri dan tentara Belanda, kecuali mereka memilih kewarganegaraan Indonesia. Di bidang pegawai negeri, manajemen menengah, yang sebagian besar terdiri dari orang Indo-Eropa, dapat tetap bertugas di Indonesia selama maksimal dua tahun untuk melatih pegawai negeri sipil Indonesia. Hal ini kemudian disusul dengan pemecatan. Manajemen senior berangkat ke Belanda pada akhir tahun 1949.
Personil KNIL Eropa mempunyai beberapa pilihan : dipindahkan ke tentara Belanda, ke APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) atau untuk sementara tetap bekerja di Misi Militer Belanda tempat tentara Indonesia dilatih. Mayoritas memilih menjadi Tentara Belanda dan diberangkatkan bersama keluarganya ke Belanda. Kelompok penduduk lain yang bertugas di KNIL, seperti orang Maluku, Jawa, dan Menado, dapat dipindahkan ke APRIS atau didemobilisasi di tempat yang mereka pilih.
Tentara Maluku
Pada awal tahun 1949, hubungan Belanda dan Indonesia memburuk. Republik Indonesia menginginkan negara kesatuan, bukan Indonesia Serikat. Banyak penolakan terhadap hal ini, terutama dari negara Indonesia Timur. Pada tanggal 25 April 1950, Republik Maluku Selatan diproklamasikan di Ambon. Para prajurit Maluku membentuk kelompok inti di KNIL. Dalam konteks pembubaran KNIL (26 Juli 1950), tentara Maluku mempunyai pilihan : didemobilisasi di tempat pilihan mereka di Indonesia atau dipindahkan ke APRIS. Demobilisasi di Ambon lebih disukai oleh banyak orang. Namun hal tersebut tidak dibiarkan oleh pemerintah Indonesia sehingga menimbulkan kebuntuan. Solusinya, tentara Maluku “sementara” dikirim ke Belanda dengan 9 pengangkutan. Ini melibatkan sekitar 12.500 tentara dan keluarga mereka. Tinggal sementara ini pada akhirnya akan mengarah pada tinggal permanen.
Periode Opsi : 27 Desember 1949 s/d 27 Desember 1951
Orang Belanda keturunan Hindia yang telah tinggal di Indonesia lebih dari enam bulan harus memilih. Tetap menjadi orang Belanda atau memilih kewarganegaraan Indonesia, yang disebut “Warga Negara“. Oleh karena itu, periode ini disebut “Periode Opsi“. Setelah penyerahan kedaulatan, lebih dari 170.000 orang India-Belanda masih tinggal di Indonesia. Mereka diberi status “asing” mulai 27 Desember 1949. Sekitar 13.000 orang memilih kewarganegaraan Indonesia. Ini melibatkan sekitar 30.000 orang bersama keluarganya. Pemilihan kewarganegaraan Indonesia ditunda oleh hampir 90% orang Belanda, hingga tiga minggu terakhir sebelum tanggal penutupan Desember 1951. Mereka mau menunggu dulu perkembangan di Indonesia. Itu adalah pilihan yang sulit.
Pegawai negeri sipil senior dan keluarganya serta manajemen menengah meninggalkan Indonesia. Sebelum transisi pemerintahan secara bertahap, manajemen menengah, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Indo-Eropa, terus bekerja dalam pegawai negeri. Mayoritas tentara (Indo) Eropa berangkat ke Belanda. Secara total, hampir 87.000 orang meninggalkan Indonesia pada tahun 1950 dan 1951.
Gelombang Ketiga (1952-1957) : Pembatasan Keberangkatan
Indonesianisasi
Pada awal tahun 1950-an, masyarakat Belanda-Indonesia dengan cepat berubah menjadi masyarakat Indonesia. Belanda tidak lagi menduduki posisi istimewa. Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah menghilang dan pendidikan bahasa Belanda diajarkan secara eksklusif di sekolah swasta. “Indonesianisasi” masyarakat juga berarti bahwa pekerjaan di pemerintahan Indonesia – pamong praja dan tentara – diperuntukkan bagi orang-orang yang berkewarganegaraan Indonesia. Dunia usaha tidak lagi diperbolehkan mempekerjakan staf Belanda. Manajemen menengah Belanda harus digantikan oleh manajemen menengah Indonesia. Hanya pimpinan senior saja yang boleh terdiri atas personel Belanda. Mereka sebagian besar dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan di Belanda, seperti pada masa kolonial. Hanya ada sedikit alternatif yang tersedia bagi staf yang dipecat dan mereka akhirnya mendapatkan bantuan sosial.
Berangkat ke Belanda
Selain memburuknya posisi sosial Belanda, hubungan politik antara Belanda dan Indonesia juga memburuk selama periode ini, karena isu Papua New Guinea dan Pemilu mendatang pada tahun 1955. Hal ini antara lain menimbulkan suasana anti-Belanda.
Karena perkembangan ini, mereka yang tetap tinggal tidak melihat masa depan di Indonesia. Mereka ingin pergi, sering kali “demi masa depan anak-anak“, namun juga karena takut akan terulangnya periode “Bersiap”. Jika ada, mereka menggunakan skema cuti atau menggunakan modal sendiri untuk membiayai perjalanan ke Belanda. Jika mereka tidak mempunyai hal ini, mereka harus bergantung pada pinjaman pemerintah.
Kebijakan Pencegahan Pemerintah Belanda
Namun, Belanda belum siap menghadapi kelompok besar yang sebagian besar terdiri dari orang Belanda Indo-Eropa ini. Di mata kabinet, kelompok ini terlalu “berorientasi Timur” dan tidak mampu berintegrasi ke dalam masyarakat Belanda. Pada tahun 1950-an, Belanda masih mengalami kekurangan perumahan dan pengangguran. Pemerintah mendorong penduduknya sendiri untuk beremigrasi demi masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, kebijakan Belanda ditujukan untuk mengasimilasi kelompok ini di Indonesia dan membuat batasan untuk masuk ke Belanda.
Paspor Belanda
Aturan masuk ke Belanda diberlakukan secara ketat hingga tahun 1955. Siapa pun yang tidak dapat menunjukkan bukti kewarganegaraan Belanda yang diperlukan, tidak akan diberikan paspor Belanda. Oleh karena itu, memiliki kewarganegaraan Belanda saja tidak cukup. Seseorang juga harus dapat membuktikan bahwa dia memperoleh kewarganegaraan Belanda, melalui kelahiran dalam keluarga yang berkewarganegaraan Belanda sebelum tahun 1892. Pintu gerbang Belanda hanya terbuka bagi orang-orang yang memiliki paspor Belanda dan hak cuti atau modal yang cukup untuk membiayai penyeberangan. .
Uang Muka Pemerintah : Paspor Belanda, Perumahan dan Pekerjaan.
Pemerintah memanfaatkan sistem uang muka (pinjaman) pemerintah untuk menutup pintu gerbang ke Belanda. Uang muka dari pemerintah diberikan jika ada keluarga di Belanda yang menyediakan tempat tinggal. Dan seseorang dapat menunjukkan bahwa ia mempunyai pekerjaan pada saat kedatangan. Karena persyaratan yang ketat ini, kemajuan pemerintah secara sistematis menolak. Baru pada tahun 1955, ketika situasi sosial kelompok ini semakin tidak ada harapan. Ketegangan politik meningkat akibat Pemilu mendatang dan tekanan diberikan dari Komisaris Tinggi di Indonesia. Tuntutan kabinet Belanda agar pemerintah memberi kelonggarkan dan lebih banyak orang diperbolehkan untuk ikut serta masuk dan berangkat ke Belanda.
Gelombang Keempat (sekitar tahun 1958) : Isu New Guinea: Sinterklaas Hitam, Nasionalisasi Perusahaan dan Penyesalan
Pada tahun 1957, ketegangan antara Belanda dan Indonesia mengenai masalah New Guinea mencapai klimaks. Pada bulan November 1957, Indonesia untuk terakhir kalinya mengajukan persoalan New Guinea ke Majelis Umum PBB. Pemerintah Indonesia menjanjikan tindakan drastis jika Majelis ini tidak menyetujui penyerahan New Guinea ke Indonesia. Permasalahan New Guinea ditolak. Pada tanggal 5 Desember 1957 (Disebut hari Sinterklaas Hitam) Konsulat ditutup dan Belanda terpaksa meninggalkan negara itu. Perusahaan-perusahaan Belanda diduduki dan dinasionalisasi.
Situasi juga memburuk dengan cepat bagi Warga Negara. Di mata masyarakat Indonesia, dia tetaplah orang Belanda. Warga Negara semakin menyesali pilihannya dan berusaha mendapatkan visa untuk menyeberang ke Belanda. Dari 8.000 lamaran, hanya 1.000 yang diterima pada tahun 1959. Berbagai kelompok penekan dibentuk di Belanda untuk melonggarkan penerimaan. Yang paling terkenal adalah Aksi Nasional Dukungan Penyesal di Indonesia atau NASSI (Nationale Actie Steun Spijtoptanten in Indonesië). Selama periode ini, lebih dari 58.000 orang berangkat ke Belanda.
Gelombang kelima (sekitar tahun 1962) : Pemindahan New Guinea ke Indonesia
Pada tahun 1960, Sukarno memutuskan hubungan dengan Belanda dan perang untuk New Guinea mengancam. Akibat ketegangan tersebut, jumlah keberangkatan ke Belanda kembali meningkat.
Pada tahun 1962, Belanda menyerahkan pengelolaan New Guinea kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang kemudian mengalihkan pengelolaannya kepada Republik Indonesia. Namun, penduduk Papua Barat yang masih tertinggal menginginkan kemerdekaan dari Belanda dan Indonesia. Menjelang pemindahan ini, eksodus para pemimpin Papua dan keluarganya juga terjadi. Dari Belanda mereka melanjutkan perjuangannya untuk Kemerdekaan Papua New Guinea. Selama periode ini, lebih dari 50.000 orang berangkat ke Belanda.
Gelombang Keenam (1964-1968) : Kelompok Akhir Penyesal dan Pengambilalihan Kekuasaan oleh Jenderal Suharto
Mereka yang menyesal dapat mengajukan visa untuk menetap di Belanda hingga tanggal 31 Maret 1964. Setelah mendapatkan visa, seringkali butuh beberapa waktu sebelum kesempatan berangkat ke Belanda muncul. Eksodus terakhir yang disebut “kelompok penyesal” ini, sebagian besar terjadi bersamaan dengan eksodus orang Indonesia setelah kudeta oleh Jenderal Suharto. Dalam kelompok terakhir ini diperkirakan terdapat ribuan orang peranakan China dan India. Jumlah pastinya tidak diketahui.
Sumber : 30dagenopzee-nl
Postingan Terkait :
Saat-saat Terakhir KPM di Indonesia