Diterjemahkan dari : De Indische courant, edisi 21 April 1936.
HUT BUPATI TULUNGAGUNG.
(Dari M-Redaktur kami.)
- Empat Puluh Tahun Mengabdi di Pemerintahan.
- Dari Utusan/Kurir Menjadi bupati.
- Wawancara di Kabupaten
- Sosok Kuno.
Perayaan dan Penghormatan
Pada tanggal 1 Mei 1936, bupati Tulungagung, Raden Adipati Ario Sosrodihiningrat, berharap dapat memperingati hari dimana ia mengabdi pada pemerintahan selama empat puluh tahun. Peristiwa ini tidak akan luput dari perhatian. Pada tanggal 2 Mei, panitia kehormatan akan mengadakan pesta perayaan di kabupaten tersebut, di mana masyarakat dapat menunjukkan perhatian mereka.
R. A. A. Sosrodhiningrat merupakan keturunan keluarga bupati lama, sebagai pemimpin dan penguasa. Ia merupakan putra dari R. Toemenggoeng Sosroprawiro yang merupakan bupati Ponorogo dan Pacitan. Kakek bupati juga bertugas di pemerintahan daerah-daerah ini. Sudah di hari-hari panjang yang telah lama berlalu, ketika daerah ini jatuh ke dalam kekuasaan Jogjakarta, keluarga bupati telah maju ke depan.
Pada tahun 1902 bupati menikah dengan putri bupati Tulungagung saat itu, Raden Mas Toemenggoeng Pringgokoesoemo. Istrinya memberinya dua orang putra, yang satu bekerja sebagai wedono di Jebeng dan satu lagi sebagai wakil jaksa di Jombang.
Kami berkendara melalui Jombang dan Kediri ke Tulungagung tua, yang sangat luar biasa dalam banyak hal. Siapa yang tidak kenal dengan indahnya jalan antara dua kota Brantas ini? di sebelah barat berdiri deretan benteng Wilis yang megah, dengan penjaga siklopnya Liman, Lurus, Lombok, Dorowati. Dari dataran Brantas pegunungan menumpuk seperti amfiteater. Mereka muncul seolah-olah dari sawah yang hijau, kini sudah siap dipanen dan penuh cahaya keemasan.
Di timur, jauh, namun tajam dan tak kenal ampun, berdirilah Kelut yang muram, sang perusak, dengan siluetnya yang mengerikan dan garang di langit transparan. Lebih jauh ke selatan, pegunungan kapur yang berukir dalam menutup cakrawala.
Datarannya subur! Dia menjanjikan dan memberikan panen yang kaya. Cerobong asap di banyak pabrik gula kini tidak berasap, namun bumi tidak berhenti menghasilkan buah ketika para petani aktif bekerja di sana. Dan Tulungagung mempunyai bagian penting dari dataran Brantas barat daya yang subur ini. Bagaimana dengan Trenggalek yang tandus yang kini menjadi wilayah Kabupaten Tulungagung?
Bertahun-tahun yang lalu, pada masa nenek moyang yang telah berlalu, masyarakat Tulungagung mempunyai beberapa kabupaten yaitu Bono, Wasjek, Tawing dan Growo. Kabupaten Tulungagung saat ini dulunya adalah Growo (1891). Namun apapun bentuk administrasi pemerintahannya, reformasi dan reorganisasi yang terjadi, daerah ini tidak berubah. Dataran Brantas yang subur dan Trenggalek yang miskin, tiga distrik di antaranya ditambahkan ke Tulungagung pada tahun 1905, meningkatkan jumlah jiwa di kabupaten ini menjadi 650.000 jiwa.
Kita sudah lama mengenal lagu dari penampakan dan hakikatnya. Tanah yang tersenyum tidak selalu merupakan tanda kemakmuran. Di sini, krisis juga terjadi dengan sangat parah. Namun, hanya sebagian saja yang dapat dikaitkan dengan krisis gula, karena di kabupaten ini hanya terdapat dua pabrik gula, salah satunya memiliki areal tanam di Blitar, namun seluruh wilayah pertanian lainnya juga terkena dampaknya. Penduduknya selalu mengambil banyak tebu sendiri. Banyak upaya dilakukan untuk membuat “gula mangkok”, gula merah untuk pasar dalam negeri. Harga normal produk populer ini dulunya ƒ 6 per picol, sekarang ƒ 1,30.
Harga padi juga turun, jumlah penduduk, jumlah lahan yang tersedia terlalu banyak, dan terlebih lagi, karena wilayah lain tidak bebas dari rentenir, maka tidak mungkin untuk hidup hanya dari pertanian. Industri batik yang sangat hidup dan berkembang telah terbentuk, namun dalam beberapa tahun terakhir hal ini telah membawanya ke jurang kehancuran, atau setidaknya menghilangkan arti penting ekonomi yang dimilikinya. Untungnya, produksi jerami bangkit kembali dan Tulungagung menjadi pusat penting dari kegiatan yang benar-benar Jawa ini, dimana penduduk asli sekali lagi membuktikan bakat industrinya.
Saat Hujan
Hari sudah sore ketika kami memasuki pendopo indah di rumah bupati Tulungagung. Sebuah pendopo yang sesuai adat! Sayangnya, beranda seperti ini sudah jarang ditemukan. Tiang-tiang kayunya berbentuk persegi dan menjulang tinggi. Balok-balok tersebut telah menopang atap selama lebih dari dua ratus tahun dan melambangkan simbolisme. Pilar-pilar tersebut, para saka, memainkan permainan diam dari garis suci mereka. Dekorasi emas di sepanjang sisinya, ooh, sayangnya menghilang dan cat kuning vulgar menggantikannya, mungkin karena penghematan, kemegahan kilauan logam mulia. Namun, meskipun dekorator B.O.W. dengan catnya telah melapisi kayu yang indah dengan buruk dan tidak mengganti papan di atap, ia tidak dapat menghancurkan keindahan garis-garisnya, meskipun beberapa perbaikan, yang diakui, dilakukan oleh generasi sebelumnya, di sini juga menunjukkan sedikit cinta untuk seni dan mitologi Jawa kuno.
Di ruang yang lebar, yang tampak sangat luas dalam cahaya redup, kami segera berbicara dengan bupati, berperan sebagai pewawancara.
Di sini kita mendengar anekdot berharga tentang kemunculan pertama pemerintahannya dalam pengabdian kepada negara. Ketika memperoleh ijazah dari Hoofdenschool di Probolinggo pada tahun 1896, ia diangkat menjadi pegawai “magang” di asisten residen Blitar.
Saat itu tanggal 1 April. Namun pada tanggal 1 Mei, kehidupan yang berbeda terjadi. Beliau dipindahkan sebagai pegawai magang di pengawas (controleur) Blitar. Magang, semacam pekerjaan sukarela yang tidak dibayar, namun di sini pemuda tersebut melihat dirinya diganjar dengan satu rijksdaalder per bulan, bersama tiga peserta magang lainnya.
Bertahun-tahun kemudian, ketika beliau sudah menjadi bupati dan dia berada di tumpukan kertas untuk memeriksa secara akurat waktunya dalam dinas, dia menemukan bahwa pada tanggal 1 Mei 1896, dia telah resmi memasuki dinas pemerintah sebagai “boodschapper” (utusan/kurir) dan bahwa gaji yang dihasilkannya sebesar ƒ 10 juga memberi manfaat kepada ketiga peserta magang lainnya. Namun hal ini juga menetapkan bahwa posisi gaji pertama bupati dimulai pada tanggal 1 Mei 1896.
Kami percaya bahwa ini unik secara administratif.
Pada tanggal 31 Desember 1897 ia diangkat di daerah ini menjadi juru tulis wedono di Lodoyo. “Raden Sosrowidigdo”, demikian bupati saat itu masih disapa, menerima gaji sebesar ƒ 25 per bulan.
Pada tanggal 13 November 1900, ia diangkat menjadi mantri polisi di Blitar. Kemudian tanggal 29 Oktober, dipindahkan ke Tulungagung, di mana ia kini menjabat sebagai bupati selama hampir tiga puluh tahun. Pada tahun 1902 ia dipindah sebagai asisten wedono di Pagu. Pada tahun 1903 dia bertugas di Pare. Perpindahan berikutnya yaitu ke Bagi, kota Madiun, pada tahun 1906, ia diangkat dari asisten wedono menjadi bupati, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 19 Maret 1907. Ia dipanggil ke jabatan tinggi pada usia tiga puluh tahun.
Banyak penghargaan telah diterima sejak saat itu. Pada tanggal 6 Maret 1912, bupati tersebut diberi nama keluarga “Toemenggoeng Sosrodhiningrat”. Pada 13 Juli 1912, pemerintah memberinya gelar “Ario”. Sejak tahun 1920 ia menyandang gelar “Raden Adipati Ario”.
Tidak berhenti di situ. Pada tanggal 24 Agustus 1924, diberi hak untuk membawakan songsong kuning. Selanjutnta pada tanggal 24 Agustus 1931 ia dianugerahi bintang emas besar atas kesetiaan dan prestasinya. Pada tahun 1925 ia telah menerima kehormatan dianugerahi Salib Perwira Ordo Oranye-Nassau.
Dalam masa pemerintahannya yang panjang, bupati ini telah melakukan banyak hal untuk pengembangan pemerintahannya. Semangatnya untuk reboisasi menarik perhatian, sehingga ia menerima penghargaan yang luar biasa; pemerintah juga menyatakan kepuasan atas tindakannya dalam memerangi wabah penyakit pes.
Pendidikan selalu mendapat kecintaan khusus dari bupati ini. Tidak ada kabupaten yang mempunyai sekolah desa sebanyak disini dan setiap pengunjung ke Tulungagung akan terkejut melihat betapa banyak masyarakat pribumi, terutama anak perempuan, yang bisa berbahasa Belanda dengan baik. Kerumunan anak-anak pribumi terlihat pergi ke sekolah setiap hari.
Pembicaraan kami tentu saja beralih ke posisi kesejahteraan kabupaten dan kota Tulungagung. Dulu, menurut Raden A. A. Sosrodhiningrat, baik kabupaten maupun kotanya sangat makmur. Tulungagung memiliki komunitas China yang besar dan berkembang. Pembuatan batik dan perdagangan menjadikan tempat ini sebagai pemukiman penting. Industri minyak, yang mempunyai organisasi dan pabrik di sini, berkembang pesat, namun hal ini sudah lama hilang. Pembuatan batik sudah tidak mampu lagi menahan kesulitan zaman. Sebagai kompensasinya, beberapa ribu orang kini mendapatkan upah yang moderat di pabrik jerami yang sudah sangat maju. Tapi, dan kami senang mendengarnya, bupati kembali melihat titik terang. Permulaan kebangkitan sudah terlihat.
Bupati tampaknya enggan berbicara tentang dirinya sendiri dan enggan mengedepankan manfaat apa pun. Tapi kita tahu tentang kerja keras dan minat yang besar terhadap karyanya, tentang sosok kuno yang baik ini, bangsawan Jawa ini, benar dalam segala hal. Dia sangat dihormati oleh masyarakat dan menikmati popularitas besar.
Kedamaian yang terpancar darinya membawa pengaruh baik bagi masyarakat. Meskipun terjadi kemerosotan ekonomi yang tidak dapat dipungkiri, kemerosotan yang disebabkan oleh runtuhnya sistem sosial secara menyeluruh, kabupaten ini tetap tenang dalam hal politik. Hari-hari yang sulit tahun 1918 sudah lama berlalu.
Penghormatan Lanjutan
Ada alasan untuk tidak membiarkan peringatan empat puluh tahun R. A. A. Sosrodhiningrat berlalu begitu saja dan Tulungagung secara spontan memahami hal ini. Panitia HUT yang didalamnya terdiri asisten residen tuan Th. Bogaard; pengawas, tuan H. Menke; patih, wedono kota, ketua pengadilan, tuan Latifpanei; administrator Volkscredietbank, tuan J. Zijlstra; Agen Electra, tuan Mees; kepala komunitas China dan beberapa orang lainnya telah menyelenggarakan perayaan, puncaknya adalah resepsi pada tanggal 2 Mei, pada malam hari di kabupaten, dari jam 7 sampai jam 9. Hadiah kenang-kenangan akan diberikan kepada bupati di sana. Panitia ingin menginformasikan kepada kami bahwa mereka yang tidak diundang melalui media, yang juga tidak memungkinkan, akan tetap diterima dengan baik.
Kami tentu saja akan kembali lagi ke pesta ini nanti.
Prospek Masa Depan
Saat kami keluar dari kabupaten hari sudah gelap, namun hujan yang mengguyur seharian belum juga reda. Sudah dalam perjalanan menuju Tulungagoeng? Kami telah melihat tanda “banjir” di jalan dan air mengalir di atas permukaan jalan, sehingga roda mobil memercikkan air seluas-luasnya. Keadaan tidak menjadi lebih baik sejak saat itu dan kota, di bagian bawahnya, Berdiri seperti biasa, pada musim hujan, beberapa daerah benar-benar putih. Dan kami memikirkan betapa berkahnya jika pekerjaan irigasi akhirnya selesai, yang akan mengakhiri wabah air. Kapan mereka akan mengeringkan sawah-sawah besar? Kapan ribuan pohon akan mendiami lahan subur di muara Bening dan Glapan? Ada rencana yang berani. Pertambangan sedang menyelidiki kemungkinan terowongan yang direncanakan oleh pemerintah provinsi, yang akan membebaskan dataran besar selatan Tulungagung dari wabah air yang terus berulang.
Mari kita berharap, demi kepentingan rakyat ini, bupati ini bisa melihat dimulainya pekerjaan.
Diterjemahkan dari : De locomotief, edisi 1 Mei 1936.
- R. A. A. Sosrodhiningrat 40 Tahun Dinas di Pemerintahan.
- Nenek Moyangnya Telah Memerintah Kabupaten Tulungagung Selama Lebih Dari Satu Abad.
- Memulai Karir Sebagai “Utusan/Kurir” Dengan Gaji f 10.
- Hampir Tiga Puluh Tahun Menjadi Bupati.
Dalam kesempatan istimewa bupati Tulungagung Raden Adipati Ario Sosrodhiningrat hari ini memperingati 40 tahun mengabdi pada negara, di bawah ini kami akan memberikan beberapa fakta menarik dari kehidupan bupati tercinta ini dan tentang masa pemerintahannya.
Pada jaman Mojopahit, kabupaten yang sekarang terdiri dari empat kabupaten selain Trenggalek, diperintah oleh bupati Ngrowo, Kalangbret, Wahung dan Boyolangu. Berdasarkan catatan yang ditemukan dalam surat-surat lama bupati, terdapat lima kabupaten di wilayah ini pada masa Gubernur General Daendels, yaitu: : Ngrowo, Kalangbret, Wajak, Bono dan Tawing. Setelah kunjungan Daendels ke wilayah tersebut, maka kabupaten Ngrowo, Tawing, Wajak dan Bono digabung menjadi satu kabupaten “Ngrowo”. Tak lama kemudian, terjadilah konsolidasi Kalangbret di Ngrowo, yang mana bupati terakhir Kalangbret, R. T. Sosrobaoe, diberhentikan dengan menerima dana kesejahteraan (pensiun).
Bupati Tulungagung saat ini merupakan cicit dari R. T. Sosrobaoe dan juga merupakan keturunan keluarga bupati Ngrowo dari pihak neneknya, namun akan dijelaskan lebih lanjut nanti.
P. J. Veth menyebutkan hal berikut dalam karyanya yang terkenal “Java” tentang Tulungagung :
“Tulungagung,” katanya, adalah ibu kota kabupaten Ngrowo dan juga pemekaran dari nama tersebut, yang juga mencakup kabupaten Trenggalek. Di tempat yang luas, ditumbuhi rumput, di bawah naungan pohon-pohon beringin yang indah, selain dalem kabupaten, ada juga rumah yang bagus untuk asisten residen. Semua bangunan lainnya, yang berdiri di sekitar alun-alun, bercat putih dan terawat dengan baik, sehingga memberikan kesan yang menyenangkan, yang tidak sedikit ditingkatkan oleh pasar yang besar dan ramai.
Tuntutan Jaman
Kini banyak pohon beringin yang ditebang, dan alun-alun yang berumput itu berpotongan ke segala arah dengan jalan aspal. Baik pohon beringin maupun rerumputan harus memenuhi tuntutan zaman modern. Namun jika anda menempuh jalan aspal lurus melintasi alun-alun, melewati pohon beringin kuno yang masih menghiasi bagian tengahnya, anda memasuki dalem bupati dan disana anda akan menemukan hubungan antara masa lalu dan masa kini, antara pepohonan beringin megah tersebut di masa lalu dan kesibukan kehidupan masa kini: di sana bertemu dengan bupati Tulungagung, R. A. A. Sosrodhiningrat. Dia telah memegang jabatan tinggi sebagai bupati selama hampir tiga puluh tahun. Sosoknya yang mulia benar-benar berada di tempatnya di tengah-tengah kabupaten kuno yang masih dihiasi dengan atap sirap.
Bupati tersebut adalah anak dari almarhum R. T. Sosroprawiro, bupati Ponorogo, yang merupakan cucu dari R. T. Sosrobaoe, bupati Kalangbret yang terakhir. Istrinya, Raden Ayu, merupakan keturunan keluarga bupati lama Ngrowo, yang bupati pertamanya adalah Raden Toemenggoeng Pringgodiningrat, putra Sultan Jogja Amangkoe Boewono II.
R. T. Pringgodiningrat, disebut juga Pringgokoesoemo I, digantikan oleh R. M. T. Djajaningrat, R. M. T. Soemodiningrat dan R. M. T. Pringgokoesoemo II, yang terakhir adalah ayah dari istri R. A. A. Sosrodhiningrat.
Keluarga Bupati Lama
Nenek moyang bupati saat ini dan Raden Ayu telah menjadi penguasa daerah ini selama lebih dari satu abad.
Pada tanggal 1 Mei 1896, empat puluh tahun yang lalu, “Sosrowidigdo” muda (begitulah nama bupati saat itu) mengawali karir mengabdi pada negara sebagai “utusan/kurir” dari pengawas di Blitar dengan gaji f 10 per bulan. Di kantornya ia mempunyai tiga rekan, asisten penulis yang tidak dibayar di kantor pengawas. Tanpa mengetahui bahwa f 10 yang diterimanya setiap bulan dimaksudkan sebagai gaji, ia membagi penghasilannya secara persaudaraan kepada teman-temannya dan masing-masing menerima satu ringgit! (masing-masing f 2,5)
Selanjutnya menjadi : penulis di wedono Lodoyo, mantri polisi Dogong, mantri kabupaten di Tulungagung, asisten wedono di Padu, Gurah dan Kota Madiun. Dari asisten wedono di Madiun dengan gaji f 115 sebulan, ia diangkat menjadi bupati Tulungagung dengan gaji f 1200 per bulan, berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 19 Maret 1907, jadi hampir sebelas tahun, setelah ia dan teman-temannya mempunyai f 10 per bulan untuk dibagi empat!
Banyak Penghargaan
Berbagai penghargaan dan ungkapan kepuasan dilimpahkan kepada kepala pegawai negeri sipil ini selama mengabdi.
Ia diberi gelar Ario, menjadi Adipati dan memperoleh hak membawakan Songsong Kuning. Dia adalah Perwira di Ordo Oranye-Nassau dan pembawa Bintang Emas Besar.
Dia juga menerima ekspresi kepuasan pemerintah sehubungan dengan pekerjaan reboisasi. Bupati bercerita tentang masa sekitar 20 tahun lalu ketika asisten residen Eyken ikut serta dalam reboisasi tersebut. Mereka melakukan tur menunggang kuda selama berhari-hari dan tindakan drastis diambil demi kepentingan reboisasi. “Dulu,” kata bupati: “masih di jaman rosa” (masih kuat-kuatnya)!
Pegawai ini telah berbuat banyak untuk kabupaten Tulungagung. Terlalu banyak untuk disebutkan. Kami hanya menyebutkan pendidikan. Jumlah desa dan sekolah putri tidak terhitung banyaknya. Yang juga membuat wisatawan di Tulungagung terpesona adalah banyaknya jalur jalan kabupaten. Asal usulnya tidak berasal dari dewan kabupaten yang ada saat ini, namun sudah diorganisir secara terpusat oleh bupati pada tahun 1909 dan kemudian ditransfer secara cuma-cuma ke dewan daerah dengan dana pasar tidak kurang dari f 17.000.
Mengenai keadaan perekonomian kabupaten ini dapat dikatakan normal. Banjir yang berulang dan bertambah besar memerlukan banyak perhatian dari pemerintah. Kembali beroperasinya PG. Mojopanggoeng berarti kondisi terburuk di sebagian wilayah kabupaten ini telah berakhir.
R. A. A. Sosrodhiningrat, kami mendoakan yang terbaik bagi anda beserta istri dan kabupaten anda dalam merayakan hari yang sangat berkesan ini bagi anda.
Diterjemahkan dari : De locomotief, edisi 1 Mei 1936.
Postingan Terkait :
Gelar Pangeran untuk R.A.A. Sosrodhiningrat Bupati Tulungagung (1937)