Dr. R. Soedarsono ditugaskan di rumah sakit pemerintah di Pasuruan pada Juli 1932. Sebelumnya beliau bertugas di “Baa” di kepulauan “Rotti” atau “Rote” (Kepulauan di Nusa Tenggara Timur). Menggantikan Dr. Abdul Irzan yang sudah pensiun. Saat itu Pasuruan disebut “kaya” akan dokter, karena ada dua orang dokter Eropa (Dr. Ph. Italia dan Dr. L. J. J. De Wolf) dan dua orang dokter pribumi.
Dalam laporan dokter Indisch pemerintah tahun 1933. Melaporkan angka-angka berikut untuk rumah sakit di Pasuruan : Sebanyak 554 pasien dirawat dengan 12.211 hari perawatan. Dari jumlah tersebut, jumlah pasien kelas berjumlah 48, dengan total 523 hari perawatan. Sedangkan 46 pasien dengan 1036 hari perawatan dirawat untuk karyawan ANIEM dan Proefstation. Jumlah pasien yang dirawat oleh dokter pemerintah Dr. Soedarsono berjumlah 460, yang sebagian besar dirawat secara gratis. Dengan jumlah hari perawatan 11.175, lebih dari 90% dari total jumlah hari perawatan. Dari pasien tersebut, 70% berasal dari Kabupaten Pasuruan, hampir 25% dari kotamadya, sedangkan sisanya dari Kabupaten Bangil dan tempat-tempat lain.
Pada tanggal 31 Maret 1934, bersama Bupati Pasuruan, R.A.A. Harsono, Asisten Residen Pasuruan, Pak Krijgsman, Asisten Residen Pembantu Residen Malang, Pak Van Werkum serta pejabat -pejabat lainnya. Membuka “Klinik Desa” (semacam puskesmas) di Lekok, klinik kedua di Jawa Timur yang didanai sepenuhnya oleh penduduk desa yang bersangkutan. Sedangkan yang pertama juga di Pasuruan, yaitu di Nguling dibuka pada Agustus 1933.
16 November 1935, pada Rapat Anggota Umum Dana Sekolah dari Sekolah Negeri Hollandsch-Inlandsche School di Pasuruan di Kawedanan. Sekitar 60 orang tua murid, sejumlah undangan, serta murid-murid dua kelas tertinggi HIS , dan Kepala Sekolah Bapak J. R. Baank. Dr. Soedarsono memberikan kuliahnya tentang : Penyakit pada umumnya, penyebab penyakit, pencemaran, kejadiannya, disertai contoh-contoh yang diperlukan. Menjelaskan kepercayaan bodoh beberapa orang tentang asal usul penyakit (mitos). Dan berbagai penyakit umum terutama di kalangan anak sekolah. Kepada orang tua dijelaskan bagaimana mereka dapat melindungi kesehatan anak-anak mereka dengan bekerja sama dengan sekolah.
Beliau terlibat juga dalam panitia penggalangan dana untuk “Asosiasi Perbaikan Nasib Tunanetra” di Hindia Belanda pada April 1935 . Panitia yang diketuai Mr. J.J. Weys, Asisten Residen dan R.A.A. Harsono, Bupati Pasuruan sebagai Wakil Ketua. Bersama tokoh-tokoh masyarakat lain di Pasuruan berhasil mengumpulkan dana sebesar 317 Gulden.
12 Februari 1937, untuk pertama kalinya dewan “Komite Palang Merah” Hindia Belanda lokal Pasuruan bertemu. Saat itu hanya ada dewan direksi karena anggota belum direkrut. Diputuskan untuk mengedarkan daftar dalam skala besar di antara berbagai kelompok populasi. Diharapkan banyak yang akan bergabung menjadi anggota, terutama dari kalangan pribumi untuk lembaga yang sangat berguna ini. Pada bulan Maret, juga akan dimulai pendirian kursus Pertolongan Pertama (First Aid for Accidents). Kursus untuk warga Eropa akan dipimpin oleh Dr. L.J.J. de Wolf, sedangkan warga pribumi di bawah bimbingan Dr. R. Soedarsono. Pada prinsipnya telah diputuskan untuk mengadakan kursus-kursus ini seminggu sekali di Balai Kota. Partisipasi dalam kursus ini gratis untuk anggota. Sudah diperoleh informasi dari berbagai pihak tentang kemungkinan lembaga kursus ini, sehingga diharapkan juga banyak yang akan mengikuti kursus tersebut. Diputuskan juga untuk memperluas kepanitiaan dengan anggota Cina, sehingga Kelompok penduduk penting ini juga terwakili di dewan pengurus.
Pada 19 Maret 1937, peresmian “Biro Konsultasi Penanggulangan Penyakit T.B.C.” (Stichting Centrale Vereeniging tot bestrijding der Tuberculose atau S.C.V.T.) di Kabupaten Pasuruan. Pusat konsultasi ini dipimpin oleh Dr. De Wolf, dan Dr. R. Soedarsono sebagai penasehat medis. Biro ini bertujuan khusus pada perang melawan tuberkulosis. Dr. L. J. J. de Wolf, pemimpin pusat kesehatan anak, memberikan ceramah tentang tujuan dari pusat kesehatan tersebut. Dimana ceramahnya terutama menyatakan bahwa T.B.C. merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Agar dapat sembuh, penderita T.B.C. memerlukan pengobatan jangka panjang yang sistematis di bawah pengawasan medis yang teratur. Oleh karena itu, pendirian sanatorium dengan tujuan membawa pasien T.B.C. ke dalam kondisi penyembuhan yang paling menguntungkan. Merupakan tindakan awal dalam perang melawan tuberkulosis.
Poin utama, sejauh ini yang paling penting, adalah profilaksis atau pencegahan. Yang utama adalah memastikan bahwa penyakit populer ini dikurangi sebanyak mungkin. Pekerjaan beberapa sanatorium dan rumah sakit T.B.C. masih sangat sulit untuk dikualifikasikan sebagai pengobatan tuberkulosis. Mereka hanya pusat pengobatan, mencapai proporsi yang sangat moderat dari jutaan penduduk India. Itulah sebabnya biro konsultasi kini mulai mengembangkan kegiatannya. Terjadinya tuberkulosis tergantung pada 2 faktor: Pada infeksi basil tuberkel dan pada pengurangan resistensi manusia. Sumber daya harus diarahkan pada 2 faktor ini untuk mencegah penyakit ini pada manusia. Dr. R. Soedarsono juga memberikan ceramah dalam bahasa Melayu menjelaskan tentang manfaat besar biro konsultasi. Dengan beberapa contoh khas dari praktik sehari-harinya, menunjukkan prasangka yang sering dimiliki orang Jawa terhadap praktik medis.
13 Juli 1938 bertempat di “H.I.S der P.G.B” jalan Semarangan (sekarang jalan Hayam Wuruk) pada pertemuan “Asosiasi Isteri Indonesia”. Dihadiri sekitar 200 orang ibu-ibu yang sebagian besar wanita pribumi. Dr. R. Soedarsono hadir berbicara tentang pentingnya Palang Merah. Menguraikan asal-usul dan sejarahnya, berpendapat bahwa Palang Merah tidak hanya sangat berharga di masa perang, tetapi juga di masa damai.
29 November 1938, di bawah naungan “Rotary Club Pasoeroean”, Dr. R. Soedarsono memberikan kuliah tentang kanker di societeit “De Harmonie”. Kuliah tersebut merupakan bagian dari “Pekan Internasional Melawan Kanker”, yang diselenggarakan di India oleh Kantor Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Dr. R. Soedarsono memberikan gambaran yang jelas tentang penyakit kanker dan cara untuk melawannya.
Dan masih banyak lagi beritanya yang dimuat di koran lama, pada berbagai kasus kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan kerja. Juga sebagai tim medis pada even-even olah raga, hingga sebagai saksi ahli dalam pengadilan kasus pembunuhan.
Pada masa pendudukan Jepang, semua orang Belanda dan Eropa masuk dalam kamp tawanan Jepang. Maka sejak itu Dr. R. Soedarsono lah dokter yang bertanggung jawab dan memimpin di rumah sakit daerah di Pasuruan. Tentunya dengan sumber daya yang minim, karena Jepang terlibat perang dengan sekutu di perang dunia II. Supply obat kemungkinan hanya didapat dari Palang Merah Internasional yang pasti juga sangat terbatas. Palang Merah lokal yang sudah dibentuk sejak tahun 1937, mestinya cukup membantu dalam keadaan “darurat” ini.
Belum ditemukan berita tentang beliau lagi pada masa rejim Jepang, dimasa itu berita disensor dengan ketat. Karena banyak penerbit koran (bahasa Belanda) yang ditutup. Kemungkinan ada berita beliau di koran-koran lokal berbahasa Indonesia, yang kini masih tersimpan di ANRI.
Nama beliau baru muncul lagi pada masa “Bersiap”. Bersiap adalah sebuah istilah media massa tahun 1945-1947, untuk sebuah periode dalam masa perang Kemerdekaan Republik Indonesia. Atau masa peralihan kekuasaan antara Tentara Kekaisaran Jepang di satu pihak ke Tentara Sekutu, atau Republik Indonesia di sisi lain (Wikipedia). Pada kamp interniran di Pasuruan, yaitu di Chinese School atau POPDA-KAMP (Sekarang SD/SMP Sang Timur). Nama beliau tercatat sebagai petugas medis untuk perempuan dan anak-anak dalam kamp.
BERITA DUKA DAN HARI BERKABUNG DI PASURUAN
Berita terakhir yang dapat ditemukan, adalah dari berita kecelakaan tragis yang menimpa beliau beserta keluarga pada tanggal 10 Juli 1955. Dimuat di beberapa koran di Indonesia, diantaranya oleh Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, edisi 13-07-1955 dengan terjemahan sebagai berikut :
“Tergelincir Sembilan tewas dalam kecelakaan mobil”
Minggu 10 Juli 1955 Sebuah kecelakaan mobil mengerikan yang terjadi di luar kota Probolinggo pada Minggu malam. Merenggut nyawa sembilan orang sementara tiga lainnya luka berat. Di antara yang tewas adalah Dr. Soedarsono. dokter Kabupaten Pasuruan, istri dan dua anaknya. Serta atlet terkenal Sriwoelan, pemegang rekor 100 meter pada pertandingan nasional kedua (PON II) di Jakarta.
Sedan Pontiac N 4281 yang dikendarai Dr. Soedarsono kembali ke Pasuruan bersama keluarga dan kerabat lainnya. Dari mengunjungi mertua (orang tua) nya di Probolinggo, tergelincir di jalan licin akibat hujan. Menabrak pohon asem dengan kecepatan tinggi. Dari dua belas penumpang tersebut, lima orang tewas seketika. Yakni Dr Soedarsono, istrinya, Trees putrinya, mahasiswi Fakultas Kedokteran Surabaya, putri berusia tiga bulan, dan Sriwoelan putri Ketua Pengadilan Negeri Malang. Empat penumpang lainnya, dua anak lainnya Dr. Soedarsono, asistennya dan pengasuhnya, kemudian meninggal di rumah sakit Probolinggo.
Dari berita inilah kemudian terjawab teka-teki sejarah tentang beliau. Dapat diketahui bahwa para korban dibawah ke rumah sakit di Probolinggo, juga beliau mempunyai orang tua yang tinggal disana. Maka kemungkinan besar berlokasi di Probolinggo, beliau beserta keluarganya yang tewas di makamkan.
Sebelumnya penulis pernah mencoba melacak kuburnya di area kota Pasuruan, yaitu pemakaman Mancilan, Karangwingko, dan Purut. Namun para juru kunci dan penduduk sekitar tidak ada yang mengenal makam-makam yang “Spesial” ini. Spesial disini yang dimaksud adalah makam-makam yang berderet/berjajar meninggal di tanggal yang sama di tahun 1955.
Penelusuran selanjutnya dari membaca riwayat “Dr. Mohamad Saleh” (1888 -1949). Dr. Saleh adalah tokoh dokter terkenal di Probolinggo. Namanya diabadikan menjadi nama RSUD di Probolinggo, dan bekas rumahnya yang legendaris dijadikan museum. Melihat masa hidup Dr. Saleh yang hampir sama dengan Dr. R. Soedarsono, penulis berkesimpulan Dr. R. Soedarsono sangat dekat dengan seniornya di STOVIA ini. Apalagi orang tuanya juga warga Probolinggo, tentunya sangat sering beliau pergi berkunjung ke kota ini. Dugaan penulis makam kedua dokter ini berada di lokasi yang sama. Yaitu di makam “Astana Mulja” di Wirobarang, Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo.
Dan alhamdulillah tanpa banyak kesulitan, penulis memang dapat menemukan makamnya disini. Astana Mulja bukanlah pemakaman umum, makam ini didirikan tahun 1915 sebagai makam perkumpulan kematian khusus anggotanya. Juru kuncinya, bu Soemarsono, langsung paham waktu ditanya apakah ada nama “Soedarsono” dan keluarga yang meninggal bersamaan di tahun 1955. Beliau langsung mengantar dan menunjukkan lokasi makam yang “spesial” ini. Ada 9 makam yang berjajar rapi dari tengah sampai ke pinggir korban musibah kecelakaan 10 Juli 1955, yaitu :
1. M.B. Hardjowidjojo, wafat 20 Nopember 1955, kemungkinan adalah asisten pribadi Dr. R. Soedarsono, dari tanggal wafatnya mungkin koma atau terluka parah dan baru wafat di bulan Nopember.
2. Ny. H. Tamin, wafat 10 Juli 1955, kemungkinan pengasuh dari anak Dr. R. Soedarsono.
3. RR. Triwoelan Soesilowati Soetadji, 24 Maret 1934 – 10 Juli 1955, usia 21 tahun. Atlit pemegang rekor lari 100 meter pada pertandingan nasional kedua (PON II) di Jakarta. Putri bapak Soetadji, ketua Pengadilan Negeri di Malang.
4. R. Soedirman Soedarsono, 19 April 1955 – 10 Juli 1955, bayi laki-laki usia 2 bulan 21 hari.
5. RR. Hendra Astoeningtijas Soedarsono, 27 Juni 1950 – 10 Juli 1955, anak perempuan usia 5 tahun.
6. RR. Trisnaningsih Soedarsono, 1 Februari 1933 – 10 Juli 1955, usia 22 tahun, Mahasiswi fakultas kedokteran di Surabaya. Kemungkinan anak dari istri terdahulu Dr. R. Soedarsono.
7. R. Goenawan Wibisono, 9 Juli 1947 – 10 Juli 1955, anak laki-laki usia 8 tahun.
8. Ny. Soemini Soedarsono, 25 Juni 1925 – 10 Juli 1955, usia 30 tahun, istri Dr. R. Soedarsono.
9. Dr. R. Soedarsono, 3 Maret 1902 – 10 Juli 1955, wafat dalam usia 53 tahun.
Suatu penemuan yang mengharukan bagi penulis pribadi, yang sudah berbulan-bulan mencoba menelusuri jejak sejarahnya.
Dari keterangan juru kunci, mobil langsung terbakar setelah menabrak pohon. Sehingga dapat dipahami mengapa kecelakaan itu demikian banyak memakan korban. Ada salah satu korban perempuan yang selamat, yang masih sering berziarah di tahun-tahun terakhir. Perempuan tersebut sudah tua dan ada bekas luka bakar di tubuhnya, entah sekarang masih hidup atau sudah meninggal.
Bu Soemarsono sebagai juru kuncipun tidak tahu bahwa Dr. R. Soedarsono sangat dikenal dan dipakai namanya di RSUD Kota Pasuruan, yang juga dikenal dengan nama “Rumah Sakit Purut”. Dari keterangannya, masih ada keluarga Dr. R. Soedarsono yang datang berziarah dari Surabaya dan Jakarta. Dengan keterbatasan penulis tidak bisa mengorek sejarahnya lebih jauh. Paling tidak sudah membuka jalan untuk siapapun yang ingin menggali lebih dalam sejarahnya.
Keterangan yang diperoleh dari para sesepuh di Pasuruan, rumah tinggal Dr. R. Soedarsono ada di jalan WR. Supratman (dahulu jalan Kusuma Bangsa), ada anak perempuan lainnya yang masih hidup hingga dewasa dan menikah dengan seorang perwira TNI.
Mohon maaf kalau ada keluarga Dr. R. Soedarsono yang tidak berkenan. Turut berbelasungkawa yang mendalam atas apa yang terjadi pada Dr. R. Soedarsono dan semua korban lainnya. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan memberikan tempat yang terbaik disisi Nya, terkirim bacaan surat Al-Fatihah untuk semua almarhum…
Walau sudah tiada, jasa-jasa beliau akan tetap selalu dikenang dan tercatat dalam sejarah Pasuruan. Sudah selayaknya kita menghormati jasa-jasanya dan tidak melupakannya begitu saja. Sangat aneh rasanya jika hanya tahu namanya saja tanpa tahu sejarahnya. Segala koreksi dan masukan yang melengkapi sejarah beliau akan diterima dengan senang hati.
Pasuruan, 31 Agustus 2021.
Catatan :
Hasil penelusuran selanjutnya adalah menemukan foto-foto lama Dr. R. Soedarsono, pada awal bulan November 2022. Album foto lama yang diupload oleh keluarga (cucu-cucu) beliau sendiri, pada suatu laman keluarga di Facebook. Namun baru pada tanggal 23 Agustus 2023, dapat terhubung lewat panggilan telepon yang tak terduga. Mengenalkan diri sebagai para cucu Dr. R. Soedarsono, mereka adalah mas Tommy Thalo dan mbak Elisa Bruinier. Yang mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi ulasan tentang Dr. R. Soedarsono. Dari mereka inilah kemudian dapat digali info-info lainnya yang dapat melengkapi tulisan ini.
Dr. R. Soedarsono lahir di Denpasar, Bali. Pada 1 Maret 1901, putra dari seorang mantri guru di Probolinggo, bapak Mardjoeki Wirjowijoto dan ibu Ismirah.
Postingan Terkait :
Mengenang Kembali Bapak R. Mardjoeki Wiryowiyoto, Tokoh Guru di Probolinggo