Salah satu bagian yang menarik dari catatan Margono Djojohadikusumo, tentang biografi Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker, atau biasa disebut DD (DeDe). DD kelahiran Pasuruan, 8 Oktober 1879, dikenal pula dengan nama Danudirja SetiabudiTokoh politik paling kontroversial di Hindia Belanda sebelum tahun 1940, yang dikenal secara pribadi oleh Margono. Judul aslinya “Notities uit vergeelde papieren” (Catatan dari kertas yang menguning), dimuat di majalah Tong Tong dalam beberapa seri di tahun 1974. Bagian ini menceritakan bagaimana DD di internir hingga buta di tahun 1941. Diasingkan keluar negeri (Suriname) hingga di internir kembali di Belanda sampai 1946. Ia dianggap sebagai ekstremis paling berbahaya dan tidak akan pernah dikembalikan ke Indonesia.

Penjahat Buta

Setelah pendudukan Belanda pada tahun 1940 oleh kelompok Hitler, Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan internir. Unsur-unsur yang tidak diinginkan dan dianggap berbahaya, termasuk orang-orang Jerman, Jepang dan NSB (Partai Gerakan Sosialis Nasional) disingkirkan.

Rupanya menahan DD (meskipun sudah lanjut usia, 62 tahun) juga dianggap lebih aman. Pada tahun 1941 ia dimasukkan ke kamp interniran pertama di Ngawi. Setelah itu ia dipindahkan karena alasan kesehatan, ke bagian “penjahat” sebuah rumah sakit di Magelang. Setelah itu dia diangkut ke Jakarta dan dimasukkan ke CBZ. Beberapa hari kemudian ke pusat penahanan “Struiswijk“, dan menyusul kemudian diserahkan ke kamp tahanan di Ngawi. Disini dia kehilangan penglihatannya sama sekali, sehingga dia menjadi buta selama +/- 5 tahun.

Pada tahun 1942, “penjahat buta” itu dipindahkan ke Surabaya. Dalam kompartemen kereta yang gelap dan ditumpangi bersama 145 orang lainnya di SS “Tjisedane“. Dengan tujuan yang tidak diketahui, di ruangan dek bawah yang pelat penguncinya di las. Setelah 40 hari tanpa penerangan dan udara segar, serta menu makanan yang buruk. Tampaknya ada kebaikan hati untuk dipindahkan ke penjara negro di Paramaribo (Suriname). Setelah penjara negro muncullah “Kamp Interniran Insulinde” di Jodensavanne.

Tahun 1946 membawa resolusi dan mengakhiri interniran. Ia dipindahkan ke Belanda bersama para interniran lainnya pada tanggal 18 Juli 1946. Dalam kondisi buta total sejak Maret 1941 di Ngawi. Dengan SS “Boissevain“, DD selamat bersama 136 interniran lainnya. Dari total 146 orang interniran yang dimuat, dua diantaranya dibunuh: Van Poelje dan Ir. Raad v. Oldebarneveld, keduanya anggota NSB. Yang lainnya meninggal karena penyakit dan perawatan yang tidak memadai.

Jadi dia diinternir di Belanda untuk kedua kalinya. Di sini dia diberitahu bahwa dia tidak akan pernah bisa kembali ke tanah airnya (Hindia Belanda/Indonesia).

Di Amsterdam ia mendapat perlindungan dan perawatan penuh kasih di Perhimpoenan Indonesia (Jan Willem Brouwersplein 27). Saat itu tanggal 7 Agustus 1946. Sebulan kemudian ia meminta bertemu dengan Menteri Luar Negeri, Mr. Jonkman (mantan ketua terakhir Volksraad) melalui tuan J. E. Stokvis (Anggota Parlemen Partai Buruh). Dia akan memohon kepada menteri tersebut untuk dipulangkan ke Indonesia, karena dia sudah menjadi “orang bebas“. Ia ingin mencari istrinya, yang tidak pernah lagi berhubungan dengannya sejak 6 Desember 1941, yang berada di Ngawi.

Meskipun telah dijanjikan suatu pertemuan, namun tidak ada yang terwujud. Meski telah diingatkan melalui surat dan telepon melalui Stokvis, Prof. Logeman, hingga pemberangkatannya yang “ilegal” pada tanggal 6 Desember 1946.

Ternyata roh jahat sedang bekerja di Kementerian Luar Negeri. Rupanya para “jin dan setan” datang dari daerah tropis dan bersembunyi di Kementerian itu.

Pengumuman resmi datang dari Divisi 7 (urusan militer) departemen itu. Bahwa DD dalam keadaan apa pun tidak boleh kembali ke Indonesia. Menanggapi protesnya, bahwa dia sebagai penduduk asli Indonesia, mempunyai hak yang dijamin secara konstitusi untuk tidak dideportasi dari negara kelahirannya. Oleh karena itu ia sekarang ditahan secara sembunyi-sembunyi di dalam wilayah Belanda, ia diberitahu bahwa ia ditahan di negara tersebut. Ia dianggap sebagai ekstremis paling berbahaya dan tidak akan pernah dikembalikan ke Indonesia. Tidak peduli bagaimanapun dia ingin mengkualifikasikan perilaku negara Belanda ini. Hal ini kemudian menjadi kebohongan besar, karena tidak ada keberatan dari pihak Indonesia (Letnan G.G. van Mook) terhadap kembalinya DD.

Kasus DD ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi dalam arti sebaliknya.

Saya pernah bekerja di departemen itu pada tahun 1937/1938, sebagai pejabat NI yang diperbantukan sementara untuk suatu tugas tertentu.

Ketika masa penugasan resmi saya berakhir. Menteri mengajukan usul kepada Pemerintah Hindia, untuk memperpanjang penugasan saya selama dua tahun. Tanggapan telegraf segera datang dari Indonesia. Bahwa saya harus segera kembali, karena saya tidak dapat lagi absen dari tugas dinas saya di Indonesia.

Ngomong-ngomong, masa tinggal di Belanda merupakan masa bahagia dalam kehidupan keluarga saya. Saya bersama istri dan lima anak kami. Dua yang tertua belajar di Rotterdam dan Leiden, tiga lainnya yang muda belajar di sekolah lain di Den Haag.

Gemuruh perang di Eropa Timur sudah terdengar di Den Haag. Dua tahun kemudian, Belanda dikuasai oleh kelompok Jerman. Tuhan telah menetapkannya demikian. Seandainya saya tetap tinggal di Belanda, saya pasti akan mengalami masa pendudukan yang menyedihkan. Seperti yang dialami dua anak sulung saya, Soemitro dan Soekartini yang harus tinggal untuk studi.

Kelaparan yang parah di musim dingin, mengumpulkan kayu untuk pemanas. Dan mengendarai sepeda tanpa ban (ban mati) untuk mencari makanan di desa-desa. Mereka tidak pernah bertemu lagi dengan dua adik bungsunya, yang terakhir kali mereka ucapkan selamat tinggal di Paris. Masih sosok bocah nakal berusia 14 dan 9 tahun pada tahun 1938. Tiga bulan sebelum mereka kembali ke Indonesia pada bulan Maret 1946. Saudara-saudara mereka telah meninggal di Tangerang, dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Di departemen Kementerian tempatku bekerja, aku mempunyai seorang senior yang merawatku seperti kakak sendiri. Untuk beberapa alasan saya tidak akan menyebutkan namanya. Dia dan istrinya telah berusaha semaksimal mungkin, untuk menunjukkan kepada kami semua keindahan Belanda. Bagi saya dan istri, itu adalah kunjungan pertama ke negara ini. Kami melakukan perjalanan keliling negara dengan mobil mereka sendiri, sehingga kami dapat mengunjungi seluruh provinsi dalam waktu yang relatif singkat. Kami selalu menghargai sikap mereka ini.

Namun ada satu aspek dari sikapnya terhadap kehidupan, yang menurut saya tidak simpatik. Itu sebabnya saya tidak ingin menyebutkan namanya. Dia adalah pengagum berat Hitler dan terutama menunjukkan antipatinya terhadap ras Yahudi. Dua puluh tahun sebelumnya dia bekerja di Indonesia, dan dia selalu berbicara meremehkan “nona dan sinyo”. Yang dia maksud adalah kelompok Indo-Eropa.

Dia tidak selamat dari rezim Hitler yang sangat dia kagumi, karena dia meninggal tak lama sebelum pendudukan Belanda. Ketika saya dan istri mengunjungi Belanda pada tahun 1952, kami mengunjungi jandanya. Yang saat itu tinggal di sebuah apartemen di Scheveningen. Rumahnya sendiri di “Vogelbuurt” di Den Haag, telah diambil alih oleh pemerintah. Rupanya ini adalah pengorbanan mereka, atas kekaguman mereka yang besar terhadap Nazi Jerman dan ras Jerman yang superior.

Penumpang Gelap

Saat DD mendapat kabar dari Kementerian Luar Negeri, bahwa dirinya belum diperbolehkan kembali ke Indonesia. Ia merasa seperti anak kecil tak berdaya, yang berdiri di depan pintu yang tertutup. Tanpa sarana apa pun, karena buta total dan baru saja sembuh dari pneumonia. Dia memutar otak tentang cara dan bagaimana dia bisa melakukan perjalanan secara diam-diam. Dengan kapal yang akan mengangkut kelompok interniran pertama.

Persiapan untuk hal ini sudah dilakukan berminggu-minggu sebelumnya, tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Gedung klub Perhimpunan Indonesia akan ditutup. Seorang teman, pak Abidin Soedjono, yang bekerja di bank Belanda, menjanjikan tempat berlindung yang aman. Tapi itu masih jauh dari tujuannya.

Namun ketika kebutuhan sudah sangat mendesak, keselamatan sudah dekat, kata mereka. Memang, keselamatan telah datang, yang saya sendiri anggap sebagai suatu keajaiban. Harus saya akui sebagai orang Jawa, yang dibesarkan di lingkungan Jawa ortodoks. Saya hanya bisa melihat keputusan berada di tangan Yang Maha Tinggi. Berkat bimbingan dari “Allah kang Rahman Rachim“, dalam apa yang akan terjadi dalam kehidupan DD.

Pada tanggal 5 Desember 1946, tibalah saatnya. 252 orang anggota rombongan Indonesia, harus sudah menyiapkan barang bawaan dan lain-lain, untuk dimuat di Rotterdam. Sebuah truk telah disediakan bagi mereka yang tinggal di Amsterdam. Truk tersebut akan mengambil muatan pada pagi hari tanggal 6 Desember, dan mengangkutnya ke MS “Weltevreden” di dermaga di Rotterdam. Malam itu banyak teman-teman yang berpamitan dengan DD, dimana ia harus rela untuk tetap tinggal.

Sore harinya juga datang Joopie Radjiman dari Wageningen, yang juga akan ikut dalam rombongan. Kopernya yang berisi surat perjalanan, bahkan sudah dikirim lebih dahulu ke Rotterdam. Pada menit-menit terakhir dia merasa tidak ingin pergi, rupanya karena kesehatannya. Kemudian DD memanfaatkan kesempatan itu, untuk meminta Joopie Radjiman menyerahkan surat perjalanannya kepadanya, dan dikabulkan. Namun kesulitannya adalah surat-surat itu ada di dalam koper yang sudah dikirim ke Rotterdam. Pemimpin rombongan orang Indonesia, bapak Rachmat Kusumobroto, ditelegram dari Amsterdam untuk menyimpan koper Joopie Radjiman. DD akan datang mengambil koper dengan taksi dari Amsterdam ditemani Abidin Soedjono.

Peristiwa berikutnya berlangsung seperti film bertempo cepat. Pertama-tama, mukjizat terbesar yang terjadi dalam hidup DD. Sumbatan psikis yang menyebabkan kebutaannya selama lima tahun, hilang dengan satu kejutan. Sama seperti yang terjadi dengan satu kejutan pada tanggal 14 Maret 1941. Katanya kepada temannya Abidin Soedjono :

“Ya Tuhan, Abidin, aku bisa melihat lagi, aku bisa melihat lagi !” Ia memeluknya dan melepaskan tangis kebahagiaannya.

Dokter spesialis mata yang pernah merawatnya, Dr. Ouwejan di Magelang dan Dr. Naar di Suriname. Serta Dr. Soewarno, teman lama DD semasa Sekolah Dokter Jawa. Yang kemudian menetap di Belanda pada Laan v Meerdervoort di Den Haag. Berpendapat bahwa kebutaan tersebut disebabkan oleh kondisi psikologis, dan hanya dapat sembuh secara psikologis.

Jadi, kesempatan untuk ikut rombongan ke Indonesia, dengan membawa surat-surat Joopie Radjiman, memberinya kejutan kegembiraan yang mengembalikan penglihatannya.

Joopie Radjiman adalah putra dari Dr. Radjiman Wediodiningrat, asal Solo yang juga mantan teman DD. Joopie Radjiman, insinyur pertanian lulusan Wageningen, meninggal tak lama setelah kepergian DD. Sang ayah yang sudah sepuluh tahun tidak bersama kami, tidak pernah bertemu dengan Joopie lagi.

Tanggal 6 Desember 1946, tidak ada lagi waktu yang terbuang. Keesokan paginya “Weltevreden” akan melaut. Ditemani Abidin Soedjono, di dalam taksi dalam perjalanan liar dari Amsterdam ke Rotterdam. Seiring dengan banyaknya penjaga yang harus dilewati, mereka berpura-pura sebagai penumpang yang terlambat. Sehingga tidak dilakukan pemeriksaan terhadap surat-surat yang belum dimiliki DD.

Tampaknya para penjaga Belanda itu berpendapat, bahwa adalah hal yang baik jika para “bruine verlofgangers”. Artinya “turis coklat” (istilah dari zaman kolonial) itu dipulangkan dari negara itu secepat mungkin. Satu hal lagi yang perlu dikhawatirkan bagi Belanda.

Di dermaga di Rotterdam, koper Joopie Radjiman digeledah untuk pertama kalinya. Ternyata telegram dari Amsterdam kepada pemimpin rombongan, Rachmat Kusumobroto, tidak sampai padanya. Setelah berusaha keras koper itu ditemukan, segera dibongkar dan surat-surat perjalanan Joopie dikeluarkan. Koper tersebut diberikan kepada Soedjono untuk dikembalikan ke Joopie di Amsterdam.

Sekarang pemeriksaan surat-surat di kapal dimulai. Ada lebih dari 600 penumpang, jadi penyelidikannya hanya dangkal saja. Apalagi kapal itu juga untuk mengangkut pasukan.

Radjiman Tua

Petugas pemeriksa telah menyelesaikan pekerjaan seharian dan kelelahan karena pekerjaan yang monoton. Saat giliran DD, ia mengenalkan dirinya sebagai Radjiman, seorang petani asal Klender (Jatinegara) yang tidak mengerti bahasa Belanda. Kusumobroto menjelaskan, Radjiman saat itu dipekerjakan oleh keluarga Inggris di Singapura dan kemudian dideportasi ke Belanda. Kusumobroto sebelumnya telah memperingatkan para penumpang WNI, untuk ikut serta dalam drama penyamaran tersebut. Agar tidak berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Belanda, kepada petani tua Klender, pak Radjiman.

Namun, masih ada ratusan keluarga Indo-Eropa (Hindia Belanda) lainnya di dalam kapal. Banyak dari mereka yang memandang curiga pada lelaki tua dengan rangsel kecilnya. Seorang nenek-nenek Hindia bahkan blak-blakan menyapa DD dengan suara lantang, dalam bahasa Belanda : “Hé, meneer Douwes Dekker, gaat U toch nog mee?” artinya kurang lebih : “Hai, tuan Douwes Dekker, apakah anda masih ikut ?”

DD mengabaikannya dan berkata : “Nyonya, bilang apa? Saya tidak mengerti”.

Beginilah perjalanan kapal menuju Tg. Priok. DD harus selalu waspada agar tidak membahayakan dirinya sendiri. Teman-temannya yang berasal dari Indonesia menasihati, untuk sesedikit mungkin naik ke dek dan tetap berada di kabin pada siang hari.

M. S. Weltevreden yang membawa penumpang gelap DD kembali ke Indonesia.

Setelah debarkasi di Tg. Priok, menjadi hal yang menegangkan bagi DD, untuk meninggalkan kapal tanpa terdeteksi. Ada anggota Polisi Militer Belanda di kapal, yang pertama-tama harus berbicara dengan orang Indo-Belanda. Mereka didesak untuk tidak membelot ke Republik. DD dan orang-orang Indonesia lainnya tetap berada di belakang dan berunding di antara mereka sendiri. Bagaimana cara DD dapat mencapai dermaga dengan membawa koper tanpa kesulitan.

Dengan dua koper di tangan, DD memanfaatkan kerumunan orang di dalamnya. Melompat ke dalam perahu bongkar muat yang membawanya dengan selamat ke dermaga. Di sini ia melihat para petugas bea cukai Republik bekerja di meja-meja kecil. Dengan penuh percaya diri, ia menghampiri pemuda pertama di belakang meja dan berbisik kepadanya, “Jangan hentikan saya. Saya DD dan menyelinap masuk.” Pejabat muda itu berbisik balik, “Selamat datang di tanah air. Tinggalkan koper-koper anda di sini. Segeralah ke belakang para wanita itu. Keretanya ada disana”. Hal inilah yang kemudian dilakukan DD. Pemuda itu kemudian mengantarkan kedua koper tersebut ke kereta.

Terjadi penundaan lagi di Stasiun Pasar Senen. Kereta tersebut diperiksa oleh anggota Polisi Militer Belanda, mencari Radjiman tua yang seharusnya tidak turun. Ada permintaan telepon dari Priok untuk mencarinya di kereta.

Seorang wanita Indonesia yang tegas menghentikan pimpinan Polisi Militer dengan kata-kata: “Siapa yang kamu cari, Radjiman? Dia masih di atas kapal. Saya sendiri melihatnya. Dia belum diperbolehkan turun dari kapal.”

Wanita itu menyelamatkan keadaan, dan kereta bisa melanjutkan perjalanan ke Mr. Cornelis (Jatinegara).

Ada banyak wanita Indonesia di “Weltevreden”, termasuk menantu saya Dora Sigar (menikah dengan Soemitro). Yang juga terlibat dalam drama bersama DD .

Kemudian kereta tiba di stasiun Kranji, perbatasan yang disebut garis demarkasi. Di sini Belanda digantikan oleh tentara Republik. Dari Kranji hingga Cirebon saya biarkan DD sendiri yang bicara.

“Kranji tidak terlalu buruk, namun justru di sinilah ketegangan terasa berat. Di dekat Kranji telah terjadi pertempuran sengit pada hari sebelumnya. Daerah itu tidak aman. Bukan untuk kami, tapi untuk tentara Belanda. Mereka meninggalkan kereta tanpa tergesa-gesa, tetapi juga tanpa menoleh ke belakang. Segera digantikan oleh para pemuda kami yang berani, yang ingin sekali saya rangkul satu per satu. Dalam kegembiraan yang tak tergoyahkan, melihat para pemuda yang tegap dan bersenjata. Dengan senapan di tangan, datang dan bertindak secara militer. Namun, saya harus menahan diri. Kemudian saya pergi ke Kranji, yang perlahan-lahan kami lewati setelah lebih dari satu jam tertunda.

Dan kemudian iring-iringan teman-teman mendatangi saya dari segala penjuru. Sorak-sorai terdengar, dan peluk ciuman penuh sukacita dan ucapan selamat, yang jarang sekali saya dapatkan dalam hidup saya.

Ini adalah petualangan saya, masih di tahun ke-68 dalam kehidupan saya. Satu-satunya kesetiaan pada cita-cita pembebasan tidak hanya mengikat ini, tetapi juga petualangan dan usaha seumur hidup.

Rupanya, pesan itu terbang dari satu stasiun ke stasiun lain di depan saya di sepanjang kabel telegraf. Di mana-mana, rekan-rekan senegaranya berada di peron dalam kerumunan. Di Cikampek, Napitoepulu yang malang, yang kemudian terbunuh, memelukku, matanya yang hitam dan indah bersinar karena kemenangan. Dimana orang Belanda menurut koran harian mereka, tidak bisa menyukainya.

Di Cirebon pada tengah malam, Residen Hamdani datang menjemput saya dari kereta api. Kami makan malam di Istana Residen, di mana nyonya Hamdani membalas pelukan saya. Dari sana juga, kedatangan saya diberitahukan ke Jogja.”

Sesampainya di Jogja, DD langsung menemui Presiden Sukarno di Istana Negara, tempat teman-teman lainnya sudah berkumpul. Hatta, Ki Hadjar, Dr. Radjiman, Arudji Kartawinata. Itu adalah pemandangan yang mengharukan. Sukarno memeluknya sambil berkata : “Selamat datang di rumah Nes”. (Sukarno selalu memanggilnya Nes, berasal dari Ernest. Mereka seperti sahabat di Bandung, saat DD menjadi pemimpin di Institut Ksatrian). DD dengan bercanda menjawab :

“Saya senang bahwa di usia tua saya, saya dapat berada di tengah-tengah kalian semua lagi untuk mempersembahkan jasa-jasa saya kepada Republik, jika perlu sebagai prajurit, karena saya adalah seorang penembak jitu.”

Suasana akrab pun terjadi. Tak lama kemudian istrinya datang menyusul, Ny. Harumi Wanasita. Mereka untuk sementara ditampung di Hotel Garuda (Grand Hotel Jogja pada zaman kolonial). DD dimasukkan dalam kabinet sebagai Menteri Negara dan menjabat sebagai sekretaris politik Perdana Menteri. Pada saat yang sama ia harus mengajar di AIP (Akademi Ilmu Politik) dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Karena saya juga anggota dewan ini, selain jabatan utama saya sebagai Direktur Bank Negara Indonesia. Saya sering berhubungan dengannya secara pribadi.

DD dan istrinya Ny. Harumi Wanasita

Tentu saja, dia tidak lagi mengenali saya sebagai pemuda yang menghadiri ceramahnya pada tahun 1913. Tentang “Een natie in de maak” (Bangsa yang sedang membangun), waktu itu saya masih berumur 19 tahun. Ketika bertemu lagi di Jogja, saya sudah berumur 53 tahun dan dia berumur 68 tahun. Pada masa itu, putri saya Soekartini, penanggung jawab Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris di Jogja. Sering datang dan berhubungan dengan Ny. Harumi Wanasita. Selama dua tahun terakhir DD di Jogjakarta merupakan masa yang sangat sulit bagi Republik. Kehidupan perekonomian terganggu akibat blokade Belanda. Kemudian terjadilah aksi militer Belanda yang pertama (disebut aksi polisi). Hal ini disusul dengan pemberontakan komunis di Madiun. Dan sebagai sentuhan terakhir, “Hadiah Natal” berupa aksi militer ke-2 pada tanggal 18(19) Desember 1948.

Catatan Tambahan :

  • Margono Djojohadikoesoemo, (16 Mei 1894 – 25 Juli 1978), adalah direktur utama pertama dari Bank Negara Indoneisa. juga merupakan orang tua dari begawan ekonomi Indonesia, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang juga berarti kakek dari Prabowo Subianto