Pada akhir September 1958, kami pergi ke Belanda dengan “Waterman”, sebuah kapal militer. Beberapa bulan sebelumnya, sahabat saya Jury dan Kyra Jablotchkoff, telah dikirim lebih dulu ke Belanda. Orang tua dan dua adik perempuan mereka akan segera menyusul. Mereka menulis untuk memberi tahu saya, betapa fantastisnya waktu yang mereka miliki di kapal penumpang mewah Italia “Castel Felice”. Aku pikir itu bagus.

Sehari sebelum keberangkatan, kami menginap bersama kerabat di Jakarta. Semuanya berjalan begitu cepat dan tak terduga. Selama perjalanan mobil berjam-jam dari Bandung ke Jakarta, dan di pagi hari dalam perjalanan ke pelabuhan Priok, saya melihat pemandangan, pegunungan, pohon kelapa, orang-orang, cahaya matahari dengan sepuas-puasnya. Mungkin aku tidak akan pernah melihatnya lagi.

Kakak laki-laki ayah saya, “Abdul Azis”, adalah seorang dokter dan Menteri Kesehatan. Dia bisa masuk dengan leluasa dengan alasan memeriksa kapal yang sedang bertugas, sehingga ayah saya dan pengiringnya dapat naik untuk melihat kami. Sayangnya, pada hari keberangkatan kami, beliau sedang menangani anggaran kementriannya, jadi ayah saya hanya bisa mengucapkan selamat tinggal dari dermaga.

Pengumuman inspeksi itu membuat oma Hartman bersama putri dan keempat anaknya, mendapatkan kabin yang bagus dan kapten serta staf memperlakukan kami dengan hormat. Buket besar anggrek telah ditempatkan di kabin kami dengan kartu : “Untuk ibu Hartman, Manda dan anak-anak. Selamat jalan. Cinta, Azis dan Tati”.

Waterman ternyata bukan Castel Felice. Kapten mengeluh bahwa dia belum pernah memiliki “muatan” yang begitu buruk. Di atas kapal banyak orang kalangan miskin dari kampung-kampung, yang tidak terbiasa dengan gaya hidup Eropa. Dek harus disikat secara teratur karena anak kecil pipis dan buang air besar di atasnya, yang menurut orang tuanya dianggap normal.

Kapal itu berlayar di jalur air baru yang berkabut di pagi hari. Soalnya di Belanda itu dingin, jadi ibuku menyuruhku memakai twinset wool yang amat langka, karena tidak banyak yang bisa dibeli, dan dibeli dengan mahal di Bandung. Anak laki-laki kecil berkulit coklat berlari dari kanan ke kiri dan ke belakang dengan topi bivak menutupi telinga mereka. Ada banyak hal untuk dilihat.

Pada saat tiba disana, Palang Merah memberi saya mainan Cina dan saputangan dengan tulisan “Selamat Datang” bersulam salib di tepinya dengan warna merah. Niatnya baik, tapi kemudian saya merasa sangat sedih.

Pada siang hari cuaca menjadi lebih hangat dan ketika kami akhirnya berdiri di dermaga di antara barang-barang (bagasi) kami, saya hampir menyerah karena kepanasan. Saya berpakaian diantara peti dan koper. Belakangan kami tahu, itulah hari terpanas dalam tahun itu.

“RUMAH KONTRAK HUIS TER HEIDE”

Sebuah bus yang penuh dengan “orang yang pulang”, melaju dari satu rumah kontrakan ke yang lain untuk menurunkan muatannya. Di rumah kontrak di Mesdaglaan 12 di Huis ter Heide, kami ditempatkan di rumah dengan banyak jendela kaca. Ada meja besar dengan beberapa kursi dan tempat tidur lipat. Anak-anak tidur di loteng.

Rumah itu tidak memiliki pemanas dan beberapa tirai lusuh tidak menutup dengan benar. Itu tidak perlu, pikir pemilik rumah kontrak, karena toh tidak ada orang di hutan sekitar rumah. Tempat tidur lipat itu dilapisi kain kasar berwarna cokelat dengan sejumlah lubang, kurang lebih dijahit dengan benang putih besar. “Kami punya permadani dengan bunga matahari,” kata ibuku, hampir bersemangat.

CRM memasok rumah kontrak dengan semua jenis barang, seperti sprei dan handuk. Malam pertama, ibu saya jempol kakinya masuk di lubang di seprai atas dan hampir merobeknya menjadi dua. Pemilik kontrakan marah, tetapi tidak mau repot-repot memberi kami satu lembar dari CRM yang baru. Mereka simpan bersamanya di lemari; hanya seprai lama yang cukup baik diberikan ke kami.

Saat membersihkan teras di depan rumah kaca, saya mengangkat permadani, yang jatuh terurai seluruhnya menjadi benang zigzag ke lantai. Seharusnya aku tidak mengangkat permadani itu, kata pemilik rumah. Kami tidak mendapatkan lagi yang baru.

Karena bisa sangat dingin di bulan September, oma saya meminjam pemanas bulat dari kerabat. Pada saat-saat tertentu, wanita itu mengetuk pintu kami dengan berbagai alasan, hampir tidak memberi kami waktu untuk menyembunyikan pemanas panas di lemari, di antara mantel kami. Dia berdiri di sana dengan curiga, melihat sekeliling mencari-cari, tetapi tidak pernah bisa menangkap kami.

Seharusnya ada daftar menu di dapur yang menjadi hak setiap “tamu”‘. Daftar itu hanya muncul pada hari ketika inspektur CRM akan mengunjungi rumah kontrak tersebut. Bertentangan dengan apa yang sudah diresepkan, kami hanya mendapat bacon dengan sepotong daging tipis di atasnya. Kami tidak diperbolehkan memasak apa pun, hanya boleh memanaskan susu, yang harus kami tutupi dengan koran.

VCL pertama di Zeist adalah sekolah yang bagus dengan guru dan siswa yang baik. Saya bagaikan tempat wisata. Pengetahuan mereka tentang Indonesia ternyata sangat terbatas. Teman saya Kyra dan Juri juga memiliki pengalaman itu, yang berakhir di Hilversum bersama keluarga mereka. “Apakah harimau berjalan melewati kebunmu? Apakah kamu memakai sepatu? Kamu dari Indonesia, tetapi kenapa kamu berambut pirang?”, teman sekelas bertanya kepada mereka.

Pada siang hari Anda tidak diizinkan untuk tinggal di gedung sekolah, tidak peduli bagaimanapun buruknya cuaca. Seorang teman sekelas mengundang saya untuk minum teh di rumahnya. Ibunya membawa teko, cangkir, dan semangkuk kubus putih. Itu gula batu, saya tahu, karena saya pernah membacanya di Bandung. Dengan sembrono saya memasukkan dua butir ke dalam teh saya, di mana mereka terus mengapung.

Dua kepala membungkuk dengan penuh perhatian di atas cangkir. “Itu permen setelah makan malam”, aku mendengar teman sekelasku berkata. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa, saya mengeluarkan kubus itu dari teh dan meletakkannya di piring. “Itu untuk makan”, aku mendengarnya lagi. Jadi saya lakukan. Tidak ada lagi diskusi tentang itu dan kami melanjutkan agenda lain.

Di atas kapal kami telah mendengar, bahwa kami tidak diwajibkan untuk menerima pakaian bekas. Seorang pekerja sosial menjemput kami dan mengantar kami ke sebuah toko di Zeist. Seorang pramuniaga mengambil beberapa kemeja dan celana panjang yang layak dari laci, pekerja sosial memberi tahu kami secara singkat dan penjualan ditutup dengan tanda tangan di kuitansi.

Pramuniaga itu kemudian meletakkan kamisol halus, jupon, dan slip dengan renda di meja, dari mana supervisor kami akhirnya membuat pilihan. Tanpa harus membayar, terima kasih atas dukungannya.

“RUMAH KONTRAK PRINS MAURITS”

Ibuku telah menunjukkan semua jenis tempat yang ingin dia tinggali bersama kami, kecuali Den Haag. “Aku tidak akan tinggal di tempat sambal itu lagi,” katanya marah.

Jadi CRM (Kementerian Kebudayaan, Rekreasi dan Pekerjaan Sosial) mengirim kami dari Huis ter Heide ke Den Haag.

Ibu saya mengunjungi rumah kontrak Zeezicht di Scheveningen dengan seorang pekerja sosial. Sepertinya ada sesuatu dengannya, sampai seorang penduduk diam-diam menunjukkan kepadanya, bahwa seorang psikopat tinggal di sana, yang mengejar gadis-gadis muda. Dengan alasan dan menggunakan segala rayuannya, ibu saya bertanya apakah masih ada kamar di kontrakan lain.

Desember 1958 kami pergi ke rumah kontrakan di Prins Mauritslaan 39. Kami membunyikan bel pintu dan setelah beberapa saat pintu dibuka. Kami ragu-ragu memasuki lorong yang gelap dan pengap, menghindari sepeda di samping. Seorang wanita pendek, gemuk, berkulit gelap datang ke arah kami dan berteriak nyaring : “Menir Pisser, menir Pisser, ister besuk!”

“Aku tidak akan tinggal di sini,” kata omaku. Dia berbalik dengan tegas dan berjalan keluar. “Oma”, aku memanggil, “mau kemana?” Oma menggumamkan sesuatu sebentar, berbalik dan mengantar kami masuk.

Akomodasi kami untuk enam orang berada di bagian belakang kamar dan suite dengan rumah berjendela kaca kecil, di lantai pertama. Di tengah ruangan ada meja memanjang dengan beberapa kursi; sebuah meja kecil di salah satu sudut. Tuan Visser dengan bangga mendemonstrasikan tiga tempat tidur lipat : satu di dinding di kamar dan dua di kiri dan kanan. Di sebelah pintu ada wastafel. Beberapa barang kami dapat dengan mudah masuk ke dalam dua lemari built-in di sebelah pintu geser.

Belajar tidak begitu mudah di ruangan yang begitu ramai. Saya mendapat meja kecil, saudara laki-laki dan perempuan saya belajar sambil duduk di tempat tidur mereka atau di meja besar. Kursi dipinjam dari kamar lain untuk tamu. Saat anak-anak harus tidur, tirai antara kamar dan ruang kaca ditutup. Beberapa hari pertama saya dan saudara perempuan saya saling menendang sepanjang malam, karena kami tidak terbiasa berbagi tempat tidur satu sama lain. Oma dan ibuku begadang lebih lama. Dari balik tirai kami mendengarkan percakapan mereka yang teredam dan akhirnya tertidur.

Sebuah keluarga beranggotakan lima orang yang berisik ditampung di bagian depan kamar dan suite. Ayahnya, yang cepat marah dan bersuara nyaring, terutama terdengar melalui pintu pemisah yang tertutup, yang digembok dengan rantai. Dua dan tiga orang tinggal di kamar masing-masing di kiri dan kanan koridor.

Wanita yang menyambut kami memiliki ruang belakang di lantai dasar dan ternyata memiliki sembilan anak bersama suaminya. Keluarga lain juga tinggal di lantai dua dan loteng khusus untuk anak-anak. Meskipun kekurangan ruang ditempat kami, saya tidak diizinkan pergi ke sana. Sebanyak 52 orang tinggal dirumah kontrak itu.

Dapur untuk para penghuni berada di lantai dua. Di belakang dinding sisi kiri ada meja dengan dua kompor empat tungku. Sebelumnya, dua tong sampah raksasa, biasanya selalu terisi penuh. Bak mandi putih besar dengan kaki berdiri di dinding sisi kanan.

Ketika ibu dari bawah memandikan anak-anaknya, pintu akan dikunci dan tangga akan dipenuhi orang, dengan panci di tangan, mengobrol dengan sabar, menunggu pintu dibuka kembali.

Setiap hari makanan dibawa dalam rantang, panci alumunium yang ditumpuk. Penuh harapan kami mengangkat panci : “Lagi-lagi bitterlof, lagi-lagi puding macaroon dengan kulit”. Setelah makan malam semuanya dicuci di wastafel. Semua cucian juga dilakukan di sana.

Kami tidak memiliki lemari es, tetapi karena butuh membuat kami banyak akal. Jika Anda membuka jendela belakang, Anda dapat meletakkan beberapa botol susu dan soda di bagian sekitar satu meter di bawah tepi jendela. Di ikat tali kencang yang diikatkan pada kait besar di kiri dan kanan dinding. Saat angin bertiup kencang, kami segera mengangkut botol-botol itu ke dalam, karena takut botol-botol itu akan jatuh ke rumah kaca di bawah. Untungnya semuanya berjalan lancar.

Rumah kontrakan memiliki satu telepon, di kantor Tuan Visser. Ketika keluarga atau teman memanggil oma atau ibu saya, mereka mendengar suara tegas: “Dengan Prins Maurits!” Selalu menyenangkan bagi mereka jika dihubungi pangeran di telepon.

“RUMAH”

Ibu saya selalu memiliki pembantu di Indonesia, mengajar penuh waktu di akademi olahraga dan tidak tertarik memasak sama sekali. Sekarang situasinya telah berubah, dia memutuskan untuk mengambil kelas memasak. Dalam salah satu pelajaran, dia mendengar bahwa sebuah keluarga di 77 Van Aerssenstraat akan beremigrasi ke Kanada. Dia segera menghubungi mereka untuk mencari tahu siapa pemilik rumah tersebut.

Suatu malam di pertengahan tahun 1959, pemilik rumah datang menemui kami di rumah kontrakan, untuk melihat apakah kami benar-benar manusia. Rupanya kami disetujui, karena tak lama kemudian oma saya diberi tahu bahwa dia bisa menyewa lantai itu. Di rumah kontrakan, seorang dewasa menerima satu gulden dan seorang anak uang saku 50 sen per minggu. Untungnya, nenek saya telah mentransfer uang dari Indonesia ke Belanda selama bertahun-tahun, jadi menyewa bukanlah halangan baginya.

Untuk mencapai akomodasi baru kami di lantai pertama, Anda harus menaiki tangga yang sempit dan curam. Seutas tali tergantung melalui kotak surat. Lantainya terdiri dari dua kamar dan suite, satu kamar di depan dengan tambahan kecil, kamar lain dan lemari antara dapur dan toilet. Koridor sempit yang panjang mengarah dalam bentuk “U” dari dapur melewati kamar-kamar ke ruang belakang, tempat meja makan berada. Gudang batu bara besar berdiri di balkon belakang kecil.

Butuh waktu berbulan-bulan sebelum lantai direnovasi. Rob sering meminjam kunci untuk “melihat seberapa jauh mereka”. Kemudian kami mendengar bahwa dia kemudian berlari sambil berteriak dalam waktu yang lama melalui rumah kosong itu. Setelah selesai, dia mengunci pintu, kembali ke rumah kontrakan dan mengembalikan kuncinya kepada oma.

Hans ternyata menyukai Cineac, di mana dia tinggal sampai penjaga mengirimnya pulang. “Aku bisa tidur nyenyak di sana,” katanya kemudian.

“Kamu nonton apa?” tanya ibuku. Saudara laki-laki saya tidak dapat dipukul mundur dari para pekerja jalan di Statenlaan. Adikku terpesona melihat bagaimana seorang wanita kokoh di atas tangga membersihkan jendela. Orang kulit putih yang melakukan pekerjaan itu! Di Hindia Belanda, orang kulit putih dipanggul di atas penduduk asli sebagai hal yang biasa. Keluarga Indonesia saya menganggap hal itu tidak dapat dibenarkan. “Bule (orang kulit putih) muda memang seperti itu, yang baru dari datang dari Belanda, memiliki status yang lebih tinggi daripada orang Indonesia, meskipun dia memiliki usia yang terhormat atau asal yang baik.” Di Indonesia belakangan juga, orang kulit putih sering termasuk kelas atas penduduk.

Di Van Aerssenstraat itu ide yang manis, terutama karena keramahan yang dipancarkan oma saya. Untuk ulang tahun ke-18 saya, saya diizinkan mengadakan pesta besar, dengan rumah yang penuh dengan anak muda, yang pada satu titik dengan antusias menari La Bamba dari Chubby Checker. Untuk itu, Anda menjadi tuan rumah dengan tangan melingkari bahu satu sama lain dan menendang satu kaki ke depan dengan bebas. Lantai satu dan perabotannya menari-nari sedemikian rupa, sehingga Rob hanya memegang gramofon di tangannya.

Keesokan paginya Nenek menawarkan permintaan maaf yang tulus kepada tetangga kami yang mungkin terganggu. “Itu bukan masalah besar,” kata mereka, “kami hanya pindah saja ke ruangan lain.”

Bersambung Bagian V :

Sumber : www.haagseherinneri

#sejarahkabupatenprobolinggo#drsalehprobolinggo#salehprobolinggo#tokohprobolinggo#amandahartman#wendysaleh