Kisah Albury
Kota Albury di Australia menarik perhatian dunia, selama jalannya lomba penerbangan Centenary Internasional MacRobertson dari London ke Melbourne. Kisah pesawat DC-2 Belanda yang bernama “Uiver” dan peran penduduk Albury dalam penyelamatannya pada tahun 1934. Merupakan peristiwa menarik dan penting dalam sejarah kota tersebut.
Dibangun pada tahun 1933, Uiver adalah pesawat pertama dari 18 pesawat DC-2 yang dibeli oleh KLM. KLM (lengkapnya: Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) adalah Maskapai Kerajaan Belanda untuk transportasi penumpang. Pesawat itu adalah mesin terbang pertama dengan kemudi otomatis, dan salah satu dari sedikit pesawat dengan roda yang dapat ditarik masuk. Pesawat ini juga merupakan pesawat pertama yang memiliki bagian kokpit terpisah dan area persiapan makanan.
Karena ingin memanfaatkan peluang bisnis penerbangan dunia, KLM mengikutsertakan Uiver pada perlombaan udara London ke Melbourne tahun 1934. Acara ini dipandu oleh Sir MacPherson Robertson. Seorang jutawan “coklat” yang percaya bahwa ini adalah cara yang tepat untuk merayakan ulang tahun ke-100 kota Melbourne.
Pada tanggal 20 Oktober 1934, 20 pesawat peserta termasuk Uiver, lepas landas dari Mildenhall, Inggris. Untuk acara epik menempuh rute sepanjang 19.800 KM melintasi dunia ke Melbourne, Australia.
Uiver membawa empat awak, di bawah pimpinan Kapten K. D. Parmentier, dan tiga penumpang. Itu adalah satu-satunya peserta lomba dengan penumpang yang membayar ongkos.
Pesawat tersebut berkinerja baik dan hanya tertinggal beberapa jam dari pimpinan lomba, ketika meninggalkan Charleville, Queensland pada perjalanan terakhir menuju Melbourne. Namun badai kilat yang dahsyat memutus kontak peralatan radio dan membuat Uiver keluar jalur, tersesat tanpa harapan.
Petugas pemberi sinyal RAAF di Laverton berusaha sia-sia untuk menghubungi pesawat tersebut. Mereka memperingatkan semua kota di sepanjang rute, agar siap untuk membantu. Stasiun radio pemancar sinyal, kapal angkatan laut menyalakan lampu sorot, dan stasiun kereta api di sepanjang jalur Melbourne hingga Albury menyalakan sinyal lampu.
Insinyur listrik kota Albury, menggunakan seluruh sistem penerangan kota untuk menampilkan kata “ALBURY” dalam kode Morse. Tepat setelah tengah malam, pesawat terdengar mengitari kota.
Arthur Newnham dari stasiun radio ABC lokal 2CO menyiarkan seruan, agar pendengar membawa mobil mereka ke arena pacuan kuda Albury. Sehingga landasan dapat diterangi dengan lampu depan mobil.
Pada pukul 01.17, Uiver menjatuhkan dua suar parasut dan mendekati daratan. Ia menabrak beberapa kali di tengah arena pacuan kuda yang bergelombang, dan berhenti 100 yard dari pagar bagian dalam. Pesawat itu berhasil mendarat dengan aman.
Di seluruh dunia, jutaan orang berkumpul dengan rasa cemas di depan perangkat radio mereka, dan akhirnya menghela napas lega.
Namun dramanya belum berakhir. Saat fajar menyingsing, DC-2 seberat delapan ton terjebak di lumpur Albury yang tebal. Walikota Alderman Alf Waugh, mengumpulkan 300 orang untuk menggali dan menarik Uiver ke tempat yang lebih mapan.
Pagi harinya Uiver melanjutkan penerbangannya ke Melbourne, menempati posisi kedua dalam perlombaan besar dan memenangkan handicap. Penerbangan tersebut merupakan penerbangan penumpang komersial pertama antara Eropa dan Australia. Pendaratan darurat Uiver serta keberhasilan dalam perlombaan tersebut, berkontribusi pada perkembangan lalu lintas udara di Australia.
Apa yang pernah terjadi di Albury di tahun 1934, memberi inspirasi pada para petugas di bandara Singosari saat perang dunia II.
Bandara Singosari
Lapangan terbang atau bandara Singosari terletak pada ketinggian 1.726 kaki/526 meter. Dikenal juga dengan nama : Malang Aerodrome, Singosari Field atau Singosari Drome. Kira-kira empat mil ke arah barat laut adalah kota Singosari, dan kira-kira enam mil ke arah barat daya adalah kota Malang. Sebelum perang dan semasa perang Pasifik berlokasi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Selama Perang Dunia II, banyak laporan Angkatan Udara AS (USAAF) menyebut lokasi ini “Malang” saja, yang berarti bandara Singosari. Pasca kemerdekaan dikenal dengan nama : Pangkalan Udara Boegis (Boegis Air Base). Saat ini dikenal sebagai Bandara Abdul Rachman Saleh yang terletak di Malang, Provinsi Jawa Timur.
Konstruksi
Dibangun sebelum perang oleh Belanda sebagai lapangan terbang militer dengan dua landasan pacu paralel berukuran 4.000 kaki yang disamarkan untuk menghindari pengamatan dari udara. Disamarkan sebagai lapangan pertanian dengan rel jalan kereta api ditambah barikade untuk pesawat yang diparkir. Dua hanggar dibuat dan dicat kamuflase agar sesuai dengan vegetasi di sekitarnya.
Kisah menarik ala Albury
Belanda dan sekutunya pada Perang Dunia II, sama sekali tidak siap menghadapi kemajuan pesat tentara Jepang. Tidak ada yang menyangka bahwa Singapura akan jatuh dalam waktu 10 hari, dan dalam waktu singkat mereka menyerbu Hindia Belanda (NEI). Meskipun kemajuan pesat terjadi, Pemerintahan Belanda di pengasingan London tidak mengizinkan pejabat Belanda untuk mengungsi. Perintahnya adalah untuk berjuang sampai titik darah penghabisan.
Namun Gubernur Hindia Belanda di NEI, Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer, memahami sepenuhnya bahwa upaya ini akan sia-sia. Dia dengan hati-hati mulai merencanakan pemerintahan dalam pengasingan di Australia. Namun pada akhirnya, karena anggaran tersebut terlalu sedikit dan terlambat, maka ribuan orang Belanda berakhir di Kamp Jepang.
Bagian dari rencana evakuasi juga mencakup Perusahaan Penerbangan Kerajaan Hindia Belanda (KNILM), yang sebelumnya ditempatkan di bawah komando militer Belanda. Akhirnya, perintah diberikan pada tanggal 21 Februari 1942 (dua minggu sebelum penyerahan), agar KNILM mengevakuasi sisa pesawatnya ke Australia. Enam pesawat yang ditempatkan di bandara militer Andir yang hampir ditinggalkan, berdiri di sana tanpa perlindungan dari pemboman Jepang. Beberapa pesawat belum siap terbang, yang lainnya telah rusak akibat pertemuan sebelumnya dengan pesawat tempur Jepang.
Rencananya semua pesawat akan diterbangkan ke bandara Singosari, karena ini merupakan jarak terdekat ke Broome, Australia. Semua pesawat dilucuti kursinya, agar jumlah pengungsi yang diangkut KNILM bisa maksimal. Namun, saat pesawat tiba malam itu di Singosari, tidak ada kontak radio dan bandara gelap gulita. Sedikit kepanikan terjadi : apakah Jepang sudah menguasai bandara?
Tiba-tiba, lampu sinyal morse yang terlihat menunjukkan : G-e-e-n e-l-e-c-t-r-i-c-i-t-e-i-t – w-a-c-h-t-e-n. (Artinya=Tidak ada listrik – tunggu).
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Selama pemboman sebelumnya di bandara, pembangkit listrik dihantam bom dan mati, menyebabkan segala sesuatunya berjalan tanpa aliran listrik.
Akibat kejadian ini mengingatkan kembali pada peristiwa “Albury” pada tahun 1934. Kota di Australia di mana penduduknya pernah membantu pesawat “Uiver” milik KLM yang keluar jalur. Yaitu dengan menandai landasan pacu dengan lampu sorot mobil. Delapan tahun setelah kisah balapan udara di Melbourne, bandara Singosari terpaksa mengikuti cara yang sama. Dari kota tetangga Malang, pengemudi mobil direkrut untuk memarkir mobilnya di sepanjang landasan pacu dan menyalakan lampu depan. Pendaratan berjalan dengan baik, meski terdapat banyak kawah bekas bom. Komandan kemudian mematikan jalur, dan memanggil pesawat lain melalui radio, dia akan memandu mereka masuk. Semua pesawat akhirnya mendarat dengan selamat.
Pesawat segera diisi bahan bakar dan makanan yang diperoleh di Malang. Segera setelah tengah malam pesawat terakhir meninggalkan Singosari menuju Broome, yang berjarak 1553 KM. Penerbangan hanya memakan waktu 7 jam. Karena Darwin baru saja dibom beberapa hari sebelumnya, pesawat-pesawat tersebut segera mencoba mengisi bahan bakar dengan tujuan untuk terbang menuju Alice Springs. Kurangnya bahan bakar memaksa beberapa pesawat terbang ke Dalywaters dan Port Hedland, sebelum bisa melanjutkan penerbangan.
Misi Selama Perang Dunia II
Pada awal Perang Pasifik, Lapangan Udara Singosari digunakan oleh Angkatan Udara AS (USAAF) digunakan oleh pesawat pengebom berat. Barikade yang dipasang tidak cukup lebar untuk menampung 105 kaki lebar sayap B-17 (Boeing B-17 Flying Fortress). Mengharuskannya parkir disebar tanpa perlindungan di tempat terbuka.
Satuan Amerika yang berbasis di Singosari (Malang) :
19th BG, 28th BS (B-17 air echelon) Batchelor December 30, 194–March 4, 1942 Melbourne.
19th BG, 93rd BS (B-17) Batchelor January 1, 1942–March 1, 1942 tiba di Melbourne
19th BG, 30th BS (B-17, B-24, LB-30 air echelon) December 31, 1941–March 5, 1942 tiba di Melbourne
19th BG, Headquarters January 1942–March 2, 1942 tiba di Melbourne
5th Bomber Command (V BC), Headquarters Squadron Batchelor January 14, 1942–March 1, 1942 tiba di Broome
7th BG, 9th BS (B-17) Hickam January 13, 1942–January 19, 1942 Jogjakarta
7th BG, 11th BS (B-17) Hickam January 13, 1942–January 19, 1942 Jogjakarta
7th BG, 14th BS (B-17 air echelon) Batchelor December 31, 1941–March 1, 1942 tiba di Melbourne
7th BG, 22nd BS Hickam January 13, 1942–January 19, 1942 Jogjakarta
27th BG, 91st BS (A-24) Bangsal tiba pada February 18, 1942–March 10, 1942 berangkat ke Brisbane
- Pada tanggal 30 Desember 1941 pukul 08.00. Enam B-17D yang dipimpin oleh Mayor Walsh plus B-17C 40-2062 lepas landas dari Lapangan Batchelor dalam penerbangan ke selatan menuju Lapangan Terbang Singosari. Pada awal Januari 1942, sisa Grup Pengeboman ke-19 (BG ke-19) dan Grup Pengeboman ke-7 (BG ke-7) bergabung .
- Pada tanggal 2 Januari 1942 pukul 07.00. Tujuh pesawat B-17D yang dipimpin oleh Mayor Combs ditambah B-17C 40-2062 lepas landas dari Lanud Singosari dalam penerbangan menuju Lanud Samarinda untuk menjalankan misi. Karena cuaca buruk, misi dibatalkan dan semua kembali mendarat di Lanud Singosari.
- Misi pengeboman pertama Angkatan Udara AS (USAAF) dari Lapangan Udara Singosari dimulai pada tanggal 3 Januari 1942 pukul 08.00. Tujuh Flying Fortresses B-17D lepas landas dari Lapangan Udara Singosari dipimpin oleh pilot B-17D 40-3097 Combs dengan B-17D Pilot 40-3067 Lt. Kurts dalam penerbangan ke Lapangan Udara Samarinda di Kalimantan di mana mereka dipersenjatai dan mengisi bahan bakar. Pada tanggal 4 Januari 1942 para pembom lepas landas dari Lapangan Udara Samarinda untuk mengebom Jepang di Teluk Davao di lepas pantai Mindanao kemudian kembali mendarat di Samarinda pada pukul 14.30. Pada tanggal 5 Januari 1942 pada siang hari semua pesawat pengebom kembali ke Lapangan Udara Singosari.
- Misi pengeboman USAAF kedua dari Lapangan Udara Singosari dimulai pada tanggal 8 Januari 1941. Sembilan pesawat B-17 dipimpin oleh pilot B-17D 40-3097 Mayor Combs dalam penerbangan ke Lapangan Udara Kendari II di mana mereka mengisi bahan bakar dan dipersenjatai dengan bom. Pada tanggal 9 Januari 1941 setelah tengah malam lepas landas lagi dalam misi pengeboman terhadap Teluk Davao tetapi mengalami cuaca buruk dan B-17D 40-3078 dan B-17D 40-3079 membatalkan misi tersebut karena masalah mesin dan kemudian B-17D 40-3061 pilot Kapten Broadhurst co-pilot Kurtz dibatalkan. Lima lainnya mengebom dan kembali ke Lanud Kendari II pada siang hari. Pada tanggal 10 Januari 1942 pesawat B-17 kembali ke Lapangan Udara Singosari.
- Misi pengeboman USAAF ketiga dari Lanud Singosari dimulai pada 11 Januari 1942 pukul 05.55. Tujuh pesawat B-17 lepas landas dari Lanud Singosari dipimpin oleh pilot B-17D 40-3097 Combs dengan pilot B-17C 40-2062 Lt. Pilot B-17D 40-3064 Letnan Satu Bohnaker dan pilot B-17D 40-3067 Letnan Kurtz dalam misi pengeboman terhadap kapal angkut Jepang di lepas Pulau Tarakan. Namun karena cuaca buruk hanya tiga yang mencapai target namun gagal menimbulkan kerusakan apapun.
- Pada tanggal 14 Januari 1942 pukul 10.00. Tujuh B-17D yang dipimpin oleh B-17D 40-3061 Mayor Comb lepas landas dari Lapangan Udara Singosari dalam penerbangan ke Lapangan Udara Palembang di Sumatra di mana mereka mengisi bahan bakar dan dipersenjatai dengan bom. Pada tanggal 15 Januari 1942 pukul 08.00 lepas landas untuk misi pengeboman terhadap Lapangan Udara Sungei Patani di Malaya tetapi menghadapi cuaca buruk yang menyebabkan pilot B-17D 40-3078 Lt. Teats dan B-17D 40-3071 pilot Lt. Vandevanter dibatalkan. Lima lainnya melakukan pengeboman dan kembali ke Lanud Lhoknga lalu kembali ke Lanud Palembang . Pada tanggal 16 Januari 1942 pukul 14.00 semuanya kembali ke Lapangan Terbang Singosari.
- Pada tanggal 27 Januari 1942 Jenderal Lewis H. Brereton dibebastugaskan sebagai panglima USAFIA dan dikembalikan ke posisi semula sebagai komandan Angkatan Udara Timur Jauh (FEAF) dan pada hari yang sama meninggalkan Lapangan Udara Singosari. Pada tanggal 28 Januari 1942 mantan wakilnya, Mayor Jenderal Barnes tiba di Lapangan Terbang Singosari untuk mengambil alih komando.
- Pada bulan Februari 1942 , Komando Pengebom ke-5 (Komando Pengebom V) bermarkas di Malang dengan pesawat dan beroperasi di Lapangan Terbang Singosari. Pada tanggal 12 Februari 1942 dan 13 Februari 1942 P-40E Warhawk dari Skuadron Pengejar ke-17 (Sementara) melakukan patroli di Lapangan Udara Singosari untuk melindungi dari pesawat Jepang tetapi tidak ada yang ditemukan.
- Pada tanggal 18 Februari 1942 tengah hari P-40E Warhawk Tail 22 pilot Lt. 2nd Lt. Frank E. Adkins tersesat setelah mencegat G4M1 Betty dari Takao Kokutai di atas Surabaya kemudian dikejar dengan A6M2 Zero yang menembak tangki bahan bakar dan melumpuhkan senjatanya. Di atas Jawa Timur, ia mengikuti B-17 Flying Fortress untuk mendarat di landasan pacu yang sangat tersamar di Lapangan Terbang Singosari. Setelah parkir di dekat hanggar, Adkins menyadari dia tertembak dan kemudian kembali ke Lapangan Udara Ngoro .
- Pada tanggal 19 Februari 1942, masing-masing pesawat B-17 dan LB-30 dari Lapangan Udara Singosari dan Lapangan Udara Madioen lepas landas untuk misi pengeboman melawan pasukan invasi Jepang di lepas pantai Bali dengan sedikit hasil. Antara pukul 07.05 hingga 07.20 Pesawat Pengebom Selam A-24 dari Grup Pengeboman ke-27 (BG ke-27), Skuadron Pengebom ke-91 (BS ke-91) mendarat di Lapangan Udara Singosari untuk memuat bom Belanda, namun ada kendala dalam mengadaptasi bom Belanda 300 kg dan 50kg bom ke rak bom mereka dan ketika pengawalan P-40E Warhawks tertunda, misi pengeboman selam mereka dibatalkan. Pada hari berikutnya hanya dua A-24 yang lepas landas untuk menyerang kapal Jepang di lepas pantai Bali .
- Pada tanggal 20 Februari 1942 pagi, P-40E Warhawk yang dikemudikan oleh Paul Gambonini membatalkan misi ke Bali karena kerusakan baling-baling dan mendarat dengan selamat untuk perbaikan kemudian berangkat ke Lapangan Terbang Ngoro . Segera setelah itu, sembilan pesawat Zero A6M2 dari Tainan Kōkūtai tiba dan memberondong tiga pembom yang diparkir menghancurkan B-17E 41-2455 , B-17E 41-2484 dan B-17E 41-2488. Mereka juga merusak dua lainnya yang tidak dapat diperbaiki lagi B-17E 41-2478 dan B-17E 41-2498 .
- Pada tanggal 22 Februari 1942 pagi. P-40E Warhawk melakukan patroli di Lapangan Udara Singosari dalam dua penerbangan dan berpatroli di atas mendung. Di bawah, sebuah Zero memberondong landasan pacu dan hanggar No. 3 tetapi tidak menyebabkan kerusakan.
- Pada tanggal 23 Februari 1942. Dua belas P-40E Warhawk dari PS ke-17 mencegat 9 G4M1 Betty dari Takao Kokutai dikawal oleh A6M2 Zero menuju Lapangan Udara Singosari. Selama dog fight, P-40 berhasil menghancurkan pembom tersebut dan pilot P-40 James B. Morehead merusak dua Betty. Serangan pesawat tempur tersebut menyebabkan Betty melepaskan bomnya secara melebar dan meledak tanpa bahaya di area terbuka. Setelah itu, pilot P-40E Jim Morehead mendarat di Lapangan Terbang Singosari dimana personel BG ke-19 mengisi bahan bakar dan mempersenjatai kembali pesawat tempurnya lalu lepas landas kembali namun pertempuran telah berakhir.
- Pada tanggal 27 Februari 1942. Tiga A-24 dari 91 tiga servis terakhir lepas landas dari Lapangan Udara Singosari dan bergabung dengan dikawal oleh P-40 Warhawks dan Dutch Buffalos terbang ke utara menuju Pulau Bawean dan melihat kapal perang dan kapal angkut di Laut Jawa . Menargetkan transportasi, pesawat A-24 menukik mengebom dan kembali.
- Pada tanggal 28 Februari 1942. Dua pesawat pengebom B-17E 41-2478 dan B-17E 41-2498 dan B-17D 40-3061 yang rusak dibakar untuk mencegah penangkapan saat Sekutu meninggalkan Lapangan Terbang Singosari pada akhir kampanye di Jawa. Setelah itu, Kolonel Eugene Eubanks memberi tahu markas besar Belanda bahwa perintahnya hanya berlaku selama ia dapat mempertahankan kekuatan yang efektif dengan opsi untuk menghentikan operasi diserahkan kepada kebijaksanaannya dan bahwa ia berencana untuk menarik semua pesawat dan personel yang tersisa ke Lapangan Udara Broome.. Belanda berkeberatan dan mendesak Amerika tetap beroperasi dari Lapangan Terbang Singosari.
- Pada tanggal 1 Maret 1942. Sisa LB-30 dan lima B-17 lepas landas dari Lapangan Udara Singosari menerbangkan total sepuluh misi untuk mendukung Belanda. Pada pukul 14.00, markas besar Belanda memerintahkan seluruh pesawat AS yang tersisa ke Lanud Singosari dan penghancuran Lanud Madioen dan Lanud Jogjakarta . Karena tidak dapat mencapai markas besar Belanda dan setelah melakukan upaya maksimal dengan pasukan pembomnya, Kolonel Eubanks memerintahkan seluruh pesawat dan personel yang tersisa ke Lanud Broome meskipun Belanda yakin operasi dari Lanud Singosari masih dapat dipertahankan jika pembom tersebar luas.
- Pada awal bulan Maret 1942 diduduki oleh pasukan Jepang. Selama tahun 1943 hingga akhir Perang Pasifik, digunakan oleh pesawat Angkatan Udara Angkatan Darat Jepang (JAAF). Diduduki oleh Jepang sampai Jepang secara resmi menyerah pada bulan September 1945. Pada tanggal 18 September 1945 gerilyawan pro-kemerdekaan Indonesia menangkap beberapa Ki-84 Frank di lapangan terbang ini yang dilaporkan digunakan selama perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945–1949.
Serangan Jepang terhadap Bandara Singosari :
Pada tanggal 20 Februari 1942. Sekitar pukul 15.45, sembilan pesawat tempur terlihat di area di bawah lapisan awan, namun diasumsikan sebagai pesawat tempur sahabat dan tidak ada alarm serangan udara yang dibunyikan. Faktanya, mereka adalah sembilan pesawat Zero A6M2 dari Tainan Kokutai yang mulai menembaki B-17 Flying Fortresses yang diparkir.
Selama serangan mereka, B-17 ini hancur. Sembilan personel terluka di darat, dua di antaranya serius. Lima B-17 yang diparkir terbakar dan rusak termasuk tiga hancur: B-17E 41-2455 , B-17E 41-2484 , B-17E 41-2488 (pesawat ini) ditambah dua lainnya terbakar dan rusak tidak dapat diperbaiki: B -17E 41-2478 dan B-17E 41-2498.
Setelah itu, suku cadangnya diselamatkan dan ditinggalkan ketika Amerika meninggalkan lapangan terbang.
Unit Jepang yang berbasis di Malang :
Hiko Sentai Malang ke-59 (Oscar Ki-43-II) ? – Maret 1943 Babo
Misi Amerika menyerang Malang :
20 Desember 1943
(AF ke-5) B-24 menghantam Lapangan Terbang Malang.
17 Mei 1944
(FEAF) Pesawat AS memotret Lapangan Terbang Singosari.
Pada periode 20 Desember 1943 – 17 Mei 1944 Lapangan Udara Singosari diduduki Jepang, hingga Jepang resmi menyerah hingga awal September 1945.
Pasca Perang
Segera setelah penyerahan pasukan Jepang, Singosari diduduki oleh Indonesia dan digunakan sebagai pangkalan militer awal selama revolusi perang kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 18 September 1945, Angkatan Udara Indonesia awal menggunakan pesawat Jepang yang menyerah termasuk Yokosuka K5Y1 Willow dan jenis lainnya untuk pelatihan penerbangan dan operasi awal di Singosari.
Sumber : dutchaustralianculturalcentre.com.au dan pacificwrecks.com
Postingan Terkait :
Misteri Letak Kuil Shinto (Jinja) Chiang Nan, Malang