Kisah om Jordan dari Porong dimulai dari suatu hari yang panas di perusahaan gula kami PG. Tulangan, dekat Sidoarjo. Kami anak-anak sedang berlibur dan tidak ingin bermain di luar seperti yang biasa kami lakukan, hari itu memang terlalu panas. Saya saat itu adalah seorang anak laki-laki berusia sekitar 13 tahun dan saya biasanya berjalan-jalan di desa-desa sekitar. Setiap hari, bersenjatakan ketapel dan beberapa peluru timah buatan sendiri di saku saya.
Yang saya maksud sebenarnya, adalah peluru timah asli, bukan yang dari batu, saya menggunakan peluru timah kecil yang saya buat sendiri. Semua yang terbuat dari timah saya simpan, misalnya tabung pasta gigi kosong, limbah timbal dari pabrik. Kadang saya mencuri as roda timah bekas yang ditumpuk di pinggir jalan pabrik gula kami, digunakan untuk roda troli.
Saya kemudian melelehkannya ke dalam panci bekas yang diberikan juru masak kepada saya. Menuangkannya melalui corong karton kecil ke dalam batang tipis daun katès. Ketika timah cair sudah menjadi dingin di dalam batang daun katès, saya cabut batangnya. Dengan pahat dan palu saya membuat bola-bola kecil berukuran sekitar 1,5 cm. Dengan itu saya bisa menembak burung atau bajing selama seharian.
Jadi saya benar-benar menggunakan hari yang hangat itu dengan banyak kegiatan. Ketika saya sedang bermain di sana, saya mendengar seseorang bersepeda di dalam taman kami menuju bangunan luar.
Sepeda itu bersuara berisik dan seorang pria Hindia bertubuh kecil berusia sekitar 60 tahun. Ia turun dari sepeda dan bertanya apakah disini rumah keluarga Brodie. “Ya…pak, saya anak pak Brodie, tapi ayah saya sudah pergi bekerja dan baru pulang sekitar jam 4 !” Saya menjelaskan kepada pria itu.
Laki-laki itu mirip orang Indonesia, tapi hidungnya mancung seperti elang, matanya agak sipit… jadi dia orang Indo, pikirku. “Ibuku ada di rumah, begitu pula nenekku, ikuti saja aku pak,” kataku pada pria itu. Dia tampak agak lusuh, tampak lelah, mengenakan kemeja putih dan celana putih dengan sepatu tenis putih usang. Kumisnya yang tidak terawat menutupi bibir atasnya. Kumis abu-abu tumbuh lebih panjang di atas kumis gelap dan dia memiliki kepala agak botak… berbicara bahasa Belanda yang buruk.
Aku memanggil ibu dan memperkenalkannya dengan pria yang mengaku sudah lama mengenal ayah sejak mereka masih kecil. “Oh, tidak apa-apa,” kata ibuku, agak kurang percaya. “Jalan saja ke beranda dan tunggu suamiku di sana sampai dia pulang, lalu aku akan suruh pembantu membawakanmu minuman.” Kata ibu dalam bahasa Belanda yang rapi. “Iya nyonya, terima kasih,” jawab laki-laki itu dan saya berjalan bersamanya menuju beranda di belakang halaman belakang rumah kami.
“Lho kamu gak pergi sekool (sekolah maksudnya) kok bisa… mbolos yaa? “Tidak, kita tidak bisa bolos sekolah begitu saja, ibuku juga tahu, tidak ada gunanya bolos pak. ” Jelasku lagi pada lelaki itu. “ Kamu sudah punya mesje (maksudnya cewek) . Waah aku dulu… cewekku gonta-ganti… hahaha!” pria itu memberitahuku. “Siapa namamu…panggil saja aku om Jordan ya?”
“Saya Ed dan nama kakak saya Les”… Les mendatangi kami dan bertemu om Jordan. Babu masuk membawa minuman dan sesaat dia meneguk limun dari gelas … “Waahh lesker, seger limunnya, coba tuang lagi untukku, ayo tuang, om haus, seharian ndak makan aku” dia memberitahu kami. Sejak inilah kami mengenal om Jordan dari Porong.
Ketika ayahku pulang sekitar jam empat, ibu menceritakan hal ini kepada ayah, ada pak Jordan. Ayah saya langsung berjalan ke beranda belakang, menjabat tangan om Jordan. Dan berkata: “Apa yang kamu lakukan di sini, apa yang kamu lakukan di sini, Jordan,” tanya ayah kepadanya.
“Ya, beginilah, saya tidak punya pekerjaan dan saya ingin pergi ke Ghollan. Saya berencana pergi ke sana, tetapi repot jika tidak punya uang, bolehkah saya meminjamnya dari kamu?” “Bagaimana kamu akan membayarku kembali jika kamu tidak bekerja?” ayah saya bertanya kepadanya. “Ya, memang merepotkan, jadi kamu tidak bisa meminjamiku uang?” “Tidak, itu tidak mungkin dan ngomong-ngomong menurutku kamu tidak ingin ke Belanda. Datang saja ke sini secara teratur, lalu kamu bisa makan dan minum di sini. Dan kamu mendapat “uang sangu” ketika pulang nanti. Tapi jangan meminjam uang kepadaku lagi, oke?” kata ayahku agak keras!
Kami merasa kasihan padanya, namun om Jordan datang mengunjungi kami secara teratur. Jarang berbicara dengan ayah, tetapi lebih banyak dengan kami. Om Jordan menjadi teman baik kami, mengajari kami menyanyi, bercanda, tinggal bersama kami sepanjang hari. Kadang juga tinggal untuk makan malam dan ketika dia pulang, ibu memberinya sejumlah uang jajan, ini terjadi selama hampir setahun.
Kehilangan
Setelah itu kami tidak pernah melihatnya lagi dan ayah kami mulai khawatir karena dia lama tidak muncul. Lalu kami bertiga, ayah, Les dan saya, pergi mengunjunginya di suatu tempat di Porong. Dia tinggal di sebuah rumah kecil di sebelah kali Porong. Ayah masuk ke rumahnya dan bertanya di mana sebenarnya Jordan. Istrinya, seorang wanita Jawa, memberi tahu ayah saya bahwa suaminya telah meninggal.
Merasa sedih, ayah memandang kami dan berkata: “Kamu dengar, om Jordan sudah tiada.” Sedih sekali, kami berjalan menuju Jeep ayah, masuk ke dalam mobil dan memandang ayah kami. Ia masih berbicara sebentar dengan istri om Jordan dan memberinya uang.
Ayah masuk ke dalam mobil dan menyuruh pak Rohmat pulang. Di dalam mobil, ayah bercerita bahwa ayahnya om Jordan adalah teman kakek, dulu di Kediri. Jadi dia mengenal ayah dengan sangat baik, tapi om Jordan sering bermain dadu, dia kecanduan dadu. Ayah memberi tahu kami… tapi kami akan terus menghidupi istrinya, tidak banyak tapi cukup untuk hidup, ayah bilang ke kami.
Sampai saat ini, ketika saya sedang berlibur di Jawa, dan saya berkendara dari Surabaya ke Malang. Saya masih melewati rumah om Jordan di Porong, tetapi kemudian menjadi sedih ketika mengenangnya. Tetapi saya mulai tersenyum ketika saya mulai menyanyikan lagu nakalnya lirih di dalam mobil. Om Jordan adalah guruku dalam lagu-lagu Hindia yang bagus dan jelas dinyanyikan… Aku masih sering menyanyikannya, dan terkadang aku masih membuat orang lain senang dengan lagu-lagu gila om Jordan yang bodoh…
Ed Brodie
Kisah ini ditulis oleh Ed Brodie (1945-2019) semasa hidupnya, beliau penyanyi Belanda yang pernah tinggal di PG. Tulangan, Sidoarjo.
Sumber: stichtingadinda.org
Postingan Terkait :