Teks: Ed Brodie

Omaku orang Jawa bernama Ginten, putri seorang petani Jawa kaya dari Sentul dekat Jombang. Menikah dengan Joseph Goewie, seorang petani tebu kulit putih, dan ibuku adalah putri satu-satunya. Ketika kami, kakak, adik dan saya belum lahir, oma dan opa saya tinggal di Jombang di PG. Ponen dan orang tua saya tinggal di Mojokerto di PG. Somobito. Jarak antara kedua perusahaan ini tidak terlalu jauh, maka orang tua saya pergi ke Jombang pada akhir pekan. Atau ke Kediri dimana orang tua ayah saya tinggal saat itu.

Setelah kakak laki-laki saya Les lahir, omaku tinggal bersama orang tua saya. Opa tinggal di perusahaan dan datang mengunjungi cucu pertamanya, menantu laki-laki, anak perempuan dan istrinya hampir setiap minggu. Perang pecah dan seluruh situasi berubah secara tiba-tiba! Ibu, Ayah dan kami diinternir sampai waktunya bersiap. Ayah secara terpisah di kamp laki-laki dan Ibu bersama anak-anak secara terpisah di kamp perempuan di Soekarame. Kemudian dipindahkan ke kamp Slemanan dan kemudian kembali ke kamp Minggiran – semuanya di Kediri. Oma kemudian pergi tinggal di Kediri dengan membawa besannya, agar lebih dekat dengan kami. Dia berusaha membantu dari luar kamp dengan sedikit uang yang tersisa.

Malang

Kemudian kami harus naik kereta barang dari Minggiran ke Batavia dan omaku ditinggal sendirian di Kediri. Dia menjadi kurus karena kesedihan. Dari Batavia naik kapal kembali ke Jawa Timur menuju Surabaya, tempat kami singgah sementara di kamp Laarman. Lokasinya di pinggir jalan yang sekarang disebut jalan Kaliasin. Setelah masa bersiap kami melanjutkan tinggal di Surabaya untuk sementara waktu di Dwars-Paradestraat, sekarang jalan Sriti. Ayah bekerja di PG. Somobito dan datang mengunjungi kami di Surabaya setiap Sabtu sore hingga Minggu malam. Ayah kemudian dipindahkan kembali ke Malang, ke PG. Kebon Agoeng.

Omaku dengan cepat menjadi akrab dengan Malang dan menikmati iklim, sayuran dan buah-buahan segar, singkatnya, dia mulai mencintai Malang. Dia menjadi lebih fanatik, memasak lebih enak, dan menjadi lebih ketat terhadap kami. Ada baiknya juga, karena kita menjadi lebih besar dan lebih menjengkelkan! Saat ini adik perempuan saya sudah berusia empat tahun dan adik laki-laki saya berusia dua tahun, jadi oma semakin sibuk.

Dunia yang Berbeda Total

Setelah dari PG. Kebon Agoeng kami menuju PG. Toelangan, tidak jauh dari Sidoardjo dan Surabaya. Kami bersekolah di Surabaya dan ibu menjadi lebih aktif. Parahnya lagi, beliau mendapat pekerjaan sebagai manajer mess pabrik dan pasanggrahan bagi para karyawan baru atau relawan, sehingga waktu ibu semakin sedikit untuk kami. Tapi jangan panik, oma ada di sana. Dia sudah mengatur segalanya!

Tahun-tahun berlalu dan pada bulan November 1964 kami bisa berangkat, ke Belanda, jauh dari Toelangan, jauh dari Indonesia selamanya. Selamanya? Dan bagaimana dengan oma? Haruskah dia tetap tinggal di Indonesia? Haruskah dia kembali ke desanya dan memulai dari awal lagi dengan keluarganya, yang juga sangat dia cintai? TIDAK!

Setelah banyak usaha dan pengaturan, oma tercinta kami ikut bersama kami ke Belanda. Dapatkah Anda membayangkan seorang oma tua Jawa yang sepenuhnya mengenakan kebaya di Belanda? Oh, sungguh menyenangkan memiliki seorang oma seperti itu di antara kami, di pesawat menuju Belanda.

Namun, bagaimana sebenarnya perasaan oma ketika memulai hidup baru di dunia yang benar-benar berbeda? Pada usia tujuh puluh tahun, perubahan ekstrem dalam budaya, iklim, dan adat istiadat? Tentu saja oma tidak menyukainya, tapi dia tidak memberitahu siapa pun, bahkan putri atau cucunya pun tidak. Tapi aku mengetahuinya, atau lebih tepatnya aku merasakannya. Aku banyak berbicara dengan omaku dan aku memperhatikan apa yang dia bicarakan. Aku melihat dari raut wajahnya, yang manis namun terlihat murung.

“Semua lain yaa, di sini di Belanda, selalu di dalam rumah saja, tapi yaa, di luar sangat dingin, ya nyo!”

“Musim panas akan tiba oma, lalu kita bisa berjalan-jalan di luar di bawah sinar matahari.”

Omaku dengan anak saya Davy Brodie (1972). Dave kini berusia 28 tahun (tahun 2000) dan belum melupakan Otie (oma buyut)!

Lagu Favorit Omaku

Tapi matahari itu tidak pernah ada untuk oma, matahari dengan suasana seperti di Malang atau Surabaya.

Saya masih ingat hadiah pertama kami untuk oma dari saya dan saudara laki-laki saya. Pemanas Alladin untuk kamarnya dan kemudian saya memberinya selimut listrik – betapa bahagianya wanita tua itu saat itu.

Tahun 1973 tanggal 13 Desember, oma Ginten meninggal dalam tidurnya, “kematian yang indah”, kata teman ayah dan ibu. Aku sering teringat kembali pada oma, terkadang aku masih bisa mendengar suaranya. Dia bernyanyi dengan sangat lembut, murni dan indah, pada hampir semua lagu gereja . Dia selalu menikmati saat aku menemaninya dengan bermain gitar. Dan ketika dia dimakamkan, rekan-rekan gerejanya menyanyikan lagu favoritnya dalam bahasa Indonesia untuknya, dan untuk sesaat saya merinding. Omaku pasti menyukainya!

Tahun manakah yang paling membahagiakan bagi oma? Bertahun-tahun dia di desa, atau setelahnya bersama kakek dan anak perempuannya serta anak-anaknya, atau bersama mereka yang tinggal di Belanda? Aku masih bertanya-tanya tentang hal itu dan aku tidak akan pernah mendapatkan jawabannya. Namun yang aku tahu pasti, adalah aku dan adik-kakakku sangat menyayangi oma Jawa kami tercinta!

Diterjemahkan dari majalah Moesson, terbitan 1 Januari 2000.

Postingan Terkait:

Kisah “Anak Gula” Pabrik Gula Tulangan Sidoarjo

Om Jordan dari Porong (1957)

404 Not Found

Not Found

The requested URL was not found on this server.

Additionally, a 404 Not Found error was encountered while trying to use an ErrorDocument to handle the request.