Pegunungan Tengger telah menikmati ketenaran besar sejak dahulu kala. Pertama karena pemandangannya yang sangat mengesankan, “hanya sedikit tempat di Jawa yang sehebat daerah sekitar Tosari,” Prof. Veth bersaksi. Kedua, karena kekhasan penduduknya, yang telah lama ditempatkan dalam cahaya temaram. Kemudian, iklim yang luar biasa sejuk, dingin, dan kering mengerahkan daya tariknya bagi orang sakit dan wisatawan dari dataran rendah yang panas. Menuju ke rumah-rumah liburan dan sanatorium, yang secara bertahap telah dibangun di berbagai titik indah di pegunungan tinggi ini sejak akhir abad kedelapan belas.
Deskripsi ilmiah terperinci pertama tentang Tengger, ditulis oleh Junghuhn yang tak tertandingi. Setelah mengunjungi pegunungan tersebut sebelumnya, ia tinggal di sana selama tujuh hari pada tahun 1844, memetakan sistem pegunungan menurut kebiasaannya dan membuat segala macam pengamatan menarik, yang sebagian besar hanya dapat dikoreksi secara etnografis. Kendatipun hanya dengan kentang dingin berbumbu garam, yang mestinya membuat sengsara pengembara yang tak kenal lelah itu. Ia mempelajari daerah Tengger dari pasanggrahannya dengan amat teliti dan secara sistematis mencatat di atas kertas sekumpulan fakta menarik yang nyaris tak terhitung banyaknya, yang hingga kini masih menjadi dasar pengetahuan tentang pegunungan, walaupun ada lektur yang mengesankan mengenai hal itu (lihat Veths Java, III, 1008, 1009), yang masih akan terus bertambah.
Peta menunjukkan bahwa suku Tengger yang kurang lebih terisolasi, ditemukan di tenggara Pasuruan dan barat daya Probolinggo. Dari dataran, gunung-gunung tampak sebagai suatu kesatuan yang besar, menyebar luas di sepanjang cakrawala, menjulang tinggi seperti tanggul raksasa, berwarna gelap di balik pepohonan. Dari keempat titik mata angin, dari dataran dan dari punggung bukit perantara yang terhubung dengan gunung-gunung lain, punggung gunung berkelok-kelok menjulang menyatu, dipisahkan oleh lembah-lembah dan jurang-jurang yang terpotong tajam, dalam jarak beberapa jam, seakan-akan jauh ke dalam langit.
Perjalanan dari Pasuruan sungguh menyenangkan. Pertama dataran, dengan hamparan sawah dan ladang tebu, pohon kelapa, pohon ara dan pisang, suasana timur yang tenang di bawah sinar matahari. Kemudian pendakian dimulai melewati daerah perbukitan di kaki gunung, dengan berbagai macam pohon dan semak, hingga pemberhentian pertama tercapai, di Pasrepan, tempat kuda-kuda baru siap. Kuda-kuda itu mendaki sepanjang jalan pegunungan yang berkelok-kelok seperti Moselle dan semakin curam, melewati Hotel Seal yang menyenangkan menuju Puspo, tempat kereta ditukar dengan kuda tunggang. Di sini anda akan menemukan hotel aklimatisasi, yang terhubung ke sanatorium Dr. J. H. J. van Barmen ‘t Loo di Tosari.
Tepi barisan pegunungan secara zig-zag, orang akan melihat jajaran pegunungan yang semakin tinggi menjulang di hadapannya, ditutupi oleh tanaman hijau abadi, tanpa pohon kelapa yang khas dan, dengan beberapa pengecualian, batang pisang dengan daunnya yang berbentuk dayung. Di bawahnya, dataran berbintik-bintik hijau terhampar, terpisah jelas dari permukaan air berwarna hijau muda. Di sana-sini, seperti rumah mainan Neurenberger, muncul di ruang terbuka yang menghadap desa pegunungan. Secara perlahan kita dapat melihat flora tropis berubah menjadi subtropis dan tak lama kemudian muncul kasuari atau cemara, yang di tangan ahli geografi mistik Henri Borel pasti telah mengambil sumpah kesucian dan mencirikan lanskap tersebut sebagai lebih bernuansa Eropa.
Titik peristirahatan di jalur penulis artikel ini adalah Tosari dan lebih khusus lagi dusun Telogosari, yang termasuk di dalamnya. Tempat Dr. J. H. J. van Barmen ‘t Loo yang disebutkan di atas memegang tongkat Aesculapius dan meninggalkan mukjizat yang telah ia lakukan dengan tiga senjata : iklim, perawatan dan obat-obatan, jauh di belakang. Beberapa menit kemudian, istana wisata Hotel Tosari berdiri megah di punggung gunung hijau yang curam. Di sini orang berpikir bahwa ia akhirnya telah menaklukkan punggung gunung terakhir, tetapi ilusi ini segera lenyap saat ia melihat punggung gunung baru mengarah ke langit.
Tosari memiliki sebuah hotel, yang dulunya memiliki seorang dokter, dan sebuah sanatorium, yang terakhir di bawah arahan Dr. J. H. J. van Barmen ‘t Loo yang terkenal, yang telah menandatangani kontrak dengan pemerintah untuk penerimaan sejumlah pejabat pemerintah dan menerima subsidi untuk ini. Hanya orang sakit dan yang baru saja sembuh yang boleh masuk ke sanatorium. Banyak wisatawan lainnya yang mencari akomodasi di hotel.
Jalan dari Puspo terbagi menjadi dua di dekat Tosari; satu bagian mengarah ke Hotel Tosari, dan bagian lainnya – yang tidak kurang dari dua pall lebih pendek – menuju Sanatorium Tosari. Jalan pintas ini sangat penting bagi pasien yang diangkut dengan tandu. Klaim yang pernah kita dengar sebelumnya, bahwa jalan panjang menuju Hotel Tosari adalah jalan utama dan bahwa jalan curam menuju sanatorium dibangun untuk kepentingan lembaga ini, adalah tidak benar: jalan utama adalah jalan sepanjang sanatorium dan dirawat sebagai jalan umum. Pemerintah memutuskan sepenuhnya tanpa berkonsultasi dengan direktur medis sanatorium.
Baik sanatorium maupun hotel di Tosari secara bertahap berkembang. Kami mendengar bahwa hotel tersebut akan memiliki seorang dokter: sejauh menyangkut perawatan dan pengobatan, ia dapat mengambil contoh dari Dr. Van Barmen ‘t’ Loo, menurut temuannya yang biasanya dicatat pada setiap pasien.
Sebagai bukti bahwa agar orang tetap kerasan tinggal di Tosari, sebuah lapangan tembak kecil untuk senapan Flobert dan arena bowling akan dibangun di lereng galian dekat sanatorium, sehingga orang sakit tidak akan terganggu oleh permainan orang yang sedang dalam masa pemulihan.
Lembaga-lembaga untuk orang asing di dalam dan sekitar Tengger akan dijelaskan lebih rinci kemudian.
Untuk mencapai pusat Tengger, seseorang harus meneruskan perjalanan selama beberapa jam lagi. Dan tidak lama kemudian seseorang akan melihat ke bawah pada ketinggian enam ribu kaki yang ditinggalkannya, dan merasakan sesuatu seperti Icarus dalam dirinya.
Sungguh luar biasa betapa jarangnya gunung itu ditutupi hutan. Di sepanjang lereng yang paling curam terdapat area pertanian di mana-mana, yang mengingatkan kita pada “peta kadaster yang digantung“, beberapa — seperti yang ditanami jagung — berwarna hijau monoton; yang lain — ladang jati hijau: sebagian besar ditanami kubis, kentang, dan bawang — berbintik-bintik hitam. Rupanya populasi telah berkembang begitu pesat sehingga hutan asli tidak dapat dihindarkan; departemen kehutanan sibuk memperbaiki kerusakan ini. Secara bertahap kasuari dan akasia mengambil alih kerajaan; di antaranya semua jenis semak dan bunga bermekaran, yang membuat hati orang barat terbuka lebih lebar dan mengingatkannya pada pantai barat yang hangat. Orang juga menemukan buah persik dan anggur di sana – kami bahkan percaya bahwa budidaya buah terakhir ini telah dicoba dalam skala besar – sebagai bunga violet kayu, bunga dandelion, bunga mignonette, bunga Myosotis, blueberry, dan Brandnetel.
Sekitar satu setengah jam setelah meninggalkan Tosari, cakrawala pegunungan berakhir: Mungal Pass telah tercapai, demikian pula tepi atau dinding lingkar luar pegunungan. Pelancong dari Probolinggo mendekati tembok ini di Jurang Penganten; yang berasal dari Tumpang atau Malang dekat Ider-ider, di selatan.
Di mana Mungal Pass yang terkenal terbuka dan jalan setapak pegunungan berkelok-kelok menurun, sekitar dua puluh meter ke atas kita akan menemukan dataran tinggi yang dari sana kita tiba-tiba dapat melihat kedalaman…
Dinding cincin Tengger, tempat jajaran pegunungan yang memancar, membungkus dataran luas yang terbagi menjadi dua bagian oleh sistem pegunungan Bromo dan luasnya sekitar satu mil persegi geografis. Dataran ini merupakan kawah raksasa, yang selama beberapa kali letusan telah memunculkan kerucut-kerucut kawah baru: salah satunya adalah Bromo yang dahsyat, yang lainnya adalah Batok yang tidak berbahaya.
Siapa pun yang melihat ke bawah dari dinding cincin ke dataran kawah akan bergidik merasakannya. Mula-mula kita merasa seperti melihat danau beku di hadapan kita, dan sensasi yang timbul tidaklah tidak menyenangkan. Namun itu segera berlalu. Sebab dataran luas di antara deretan pegunungan terjal itu telah punah. Tidak ada yang bergerak di sana. Abu-abu dan terbentang luas, tanah datar terhampar di sana, tak bergerak, mati. Tidak ada satu pohon pun yang tumbuh; tidak ada burung yang terbang. Hanya di sana-sini terlihat beberapa helai rumput hutan, berwarna hijau lumut: selain itu tidak ada apa-apa, kecuali warna abu-abu seragam, dengan alur tidak teratur; gurun dengan ekspresi mematikan, yang dikutuk oleh para dewa.
“Pada cuaca kering, pasirnya berwarna kuning muda, dan ketika dipanaskan hingga tingkat tinggi oleh sinar matahari, pasirnya akan larut menjadi awan debu; Arus udara vertikal yang kemudian naik akan bertabrakan dengan arus udara horizontal yang bertiup dari arah angin tenggara, sehingga terjadilah gerakan berputar, melingkar atau spiral bersamanya; —lalu di belasan tempat pada waktu yang sama terlihat setan pasir bergerak cepat melintasi danau pasir, berputar; kemudian, seolah-olah, tepi dataran yang jauh, yang naik dan turun dalam gelombang, dan bahkan fenomena fatamorgana pun muncul dalam pandangan pengunjung, yang terkadang diselimuti awan debu, terkadang terbebas lagi darinya; —bukit pasir kecil terbentuk di sana-sini: pasir yang melayang menutupi bukit-bukit dan semua jejaknya terhapus. Jadi di sini, di dasar kawah ini, 6.500 kaki di atas permukaan laut, tetapi dalam skala yang lebih kecil, semua fenomena gurun Afrika terulang dengan tepat.
“Ketika empat tahun kemudian, tepatnya pada bulan Oktober 1818, dalam perjalananku dari Suez ke Kairo, aku sedang melintasi padang pasir. Aku melihat fenomena yang menakjubkan itu, fatamorgana yang tampak sepanjang hari, yang sering kali muncul di depan mataku di sepuluh atau dua belas tempat pada waktu yang sama. Hal ini dengan jelas mengingatkan saya pada kenangan akan Jawa, di mana saya melihat sebuah representasi kecil, lukisan miniatur, tentang padang pasir, dengan awan debu, di kawah gunung berapi yang tingginya tujuh setengah ribu kaki!”
Kita tidak dapat mengabaikan kutipan mencolok ini dari Java karya Jünghuhn, (III, 830,831): tidak ada tempat di mana karakter yang sangat aneh, hampir unik dari lautan pasir yang terkenal, Dasar — sebagaimana ia disebut — digambarkan dengan begitu jelas. Kawah yang telah punah seluas satu mil persegi berubah menjadi gurun pasir yang menjulang tinggi di udara, dikelilingi oleh dinding-dinding pegunungan yang bersudut—ini sendiri sudah lebih dari cukup untuk membuat Tengger terkenal.
Dari kerucut erupsi yang muncul di Laut Pasir Dasar, Bromo adalah yang paling menakjubkan. Turun dengan hati-hati di sepanjang jalan pegunungan yang berkelok-kelok dari Mungal Pass yang tingginya 800 kaki, kita akan mencapai gurun kawah: kemudian deretan jejak kuda menunjukkan jalan menuju Batok, yang mengingatkan kita pada gula roti atau payung yang dibentangkan; Tepat di sebelah Batok muncullah Bromo, dengan ketinggian 600 kaki, juga berbentuk kerucut. Tidak ada jejak vegetasi; Gunung tersebut tampak seperti massa lumpur hitam yang beralur, dengan jalan setapak yang cocok untuk berkuda berkelok-kelok hingga ketinggian yang cukup tinggi. Akhirnya, tepi kawah dapat dicapai melalui semacam tangga yang dipahat di gunung dan terlihat dari kejauhan melalui dua pagar putih. Dan orang dapat melihat ke bawah ke dalam kawah.
Ini adalah kolam atau corong yang hampir berbentuk lingkaran, lebarnya sekitar 1.800 kaki di bagian atas. Dinding bagian dalam cukup curam: di bawahnya kita dapat melihat dasar, di mana api bawah tanah bersinar dalam garis-garis lebar dan suara gemuruh yang menakutkan dapat terdengar. Kadang-kadang kolom uap keluar, lalu naik lurus ke atas dan terbawa ke atas kawah oleh angin sebagai satu gumpalan besar.
Pada beberapa waktu selama abad kesembilan belas, sebuah danau yang terbentuk dari air atmosfer ditemukan di kolam kawah, yang pasti sekitar 700 kaki lebih dalam dari dasar kawah yang terlihat sekarang. Pada tahun 1838, Junghuhn memperhatikannya; Namun, pada tahun 1844, tempat itu menghilang. Sketsa di bukunya membuat perubahan itu jelas. Menurut Dr. Blecker, danau itu ada lagi pada tahun 1848; Namun, saat ini hal tersebut tidak lagi diperhatikan. Dasarnya seperti tungku api yang datar dan menyala. Mengingat lautan pasir di sekitarnya adalah kawah Tengger yang sebenarnya, maka kawah Bromo harus dianggap sebagai cerobong asap.
Junghuhn membuktikan bahwa setelah tahun 1478, ketika suku Tengger sudah mendiami pegunungan tersebut, letusan Tengger yang dahsyat tidak mungkin terjadi, meskipun pada tahun 1842 dan 1845 letusan Bromo yang cukup dahsyat menebarkan ketakutan besar di daerah tersebut. Saat ini, peningkatan aktivitas vulkanik dapat diamati lagi.
Sulit untuk menentukan sejauh mana Bromo terhubung dengan gunung berapi lainnya, seperti Lamongan, yang terletak lebih dari enam belas pall jauhnya, atau dengan sumber di dekat Winongan, sebagaimana kepercayaan umum. Para ilmuwan bersikap skeptis dalam hal ini dan membiarkan peluang memainkan peranan utama; masyarakat dengan mata air di Winongan, di mana ayam dan bebek yang dikorbankan dikatakan ditemukan di Bromo, sama kredibelnya dengan cerita yang muncul tak lama setelah letusan Kelut tahun 1901, bahwa rakit pisang yang tenggelam di danau kawah gunung berapi ini terlihat lagi dari pantai selatan Jawa yang berbatu.
Cukup dapat dimengerti bahwa gemuruh Bromo dengan perapian kawahnya yang menyala-nyala menimbulkan rasa kagum di kalangan masyarakat Tengger yang percaya takhayul dan dengan demikian kurang lebih menjadi pusat percampuran keagamaan mereka.
Sejumlah puncak dan gugusan gunung tinggi menjulang di sekitar Bromo. Di sebelah selatan adalah Widodaren, juga di laut pasir; jauh di balik Tembok Tengger, di sebelah selatan, terdapat Semeru yang megah, gunung berapi tertinggi di Jawa, dengan asap yang masih mengepul dari puncaknya; Ke arah timur, Penanjaan melandai ke atas. Dari Mungal Pass, Lamongan juga dapat diamati. Secara keseluruhan, tidak kurang dari enam gunung berapi aktif dapat diamati dari Tengger saat cuaca cerah.
Pegunungan ini dihuni oleh orang-orang yang luar biasa dalam banyak hal; Suku Tengger dikatakan telah melestarikan bagian kepercayaan Hindu lama secara relatif utuh, setelah mereka melarikan diri ke daerah pegunungan yang sulit dijangkau untuk menghindari Islam pada tahun 1478. Kita segera mencatat bahwa pelarian ini adalah sebuah hikayat atau legenda, sementara kepercayaan mereka juga merupakan campuran aneh antara paganisme dan Siwaitisme, salah satu dari dua bentuk agama Hindu kuno. Dalam esai-esai berikut ini kita akan membahas tentang orang-orang Tengger, terutama berdasarkan esai yang sangat lengkap, meskipun di sana-sini tidak tepat, karya Dr. J. H. F. Kohlbrugge (Die Tenggeresen, dalam Kontribusi terhadap Bahasa, Geografi dan Etnologi Hindia Belanda, seri Vle, bagian ke-9) membahas hal ini secara rinci.
Suku Tengger
Bersama dengan suku Baduwi atau Badui yang tinggal di Banten di perbatasan kabupaten Parung Kujang dan Lebak, suku Tengger kurang lebih dapat dianggap sebagai penduduk kuno yang masih hidup. Mereka adalah satu-satunya orang Jawa yang menentang Islam dan melestarikan kepercayaan lama, meskipun dalam bentuk yang jauh dari utuh. Sementara suku Baduwi lebih merupakan penganut agama kafir, yang meskipun menyebut nama Allah dan Muhammad dalam kepercayaan mereka, namun tetap menyembah dewa pagan Batoro Tungga serta sejumlah roh alam, sesuatu dari agama Hindu lama masih hidup di antara suku Tengger, yaitu bentuk Siwaitisme, yang ada bersamaan dengan bentuk Wisnuisme. Nama-nama roh yang mereka sembah berasal dari agama Hindu: dewa tertinggi mereka adalah Batoro Guru, sang guru Siwa, yang mereka temukan di Semeru. Mereka menempatkan api pemurnian di Bromo: di sini jiwa orang yang meninggal dimurnikan oleh api. Seperti halnya suku Badui, mereka menyembah sejumlah besar roh, yang bersemayam di kawah gunung berapi, di puncak gunung, dekat air terjun, dan di dekat makam kuno.
Candi Hindu tidak ditemukan di Tengger. Dapat dikatakan bahwa paganisme lama yang dulunya umum di Jawa, masih hidup di kalangan masyarakat Tengger dengan sedikit campuran agama Hindu. Bromo, yang disembah dengan berbagai cara, merupakan pusat percampuran agama. Hal itu sangatlah wajar: masyarakat pegunungan yang naif pastilah merasakan ketakutan yang amat besar terhadap gunung berapi yang senantiasa aktif itu, dengan gemuruhnya yang dahsyat dan kepulan asap yang mengancam, sehingga mereka menganggap bahwa roh yang menguasai gunung itu memiliki kekuatan yang amat besar. Dia harus diusir dengan pengorbanan dan penghormatan. Lagipula, sebagaimana halnya semua bangsa yang belum berkembang, sifat agung itu memengaruhi pikiran mereka dan mereka melihat roh baik dan jahat di mana-mana, yang juga harus mereka perhitungkan. Hal ini dapat dilihat, seperti diketahui, di seluruh Jawa.
Bila seseorang membaca di buku-buku yang menyebutkan bahwa Suku Tengger adalah satu-satunya penganut Hindu yang tersisa di Jawa, maka orang tersebut akan membayangkan masyarakat pegunungan ini pergi ke kuil-kuil Hindu yang telah berusia berabad-abad, tempat para dewa dipanggil seperti pada zaman sebelum tahun 1478, ketika kerajaan kuno Mojopahit digulingkan oleh dorongan fanatik para pengikut Muhammad. Seperti tampak jelas dari uraian singkat di atas tentang kepercayaan masyarakat Tengger, konsepsi puitis ini berhadapan dengan kenyataan yang menyakitkan; pelarian mereka setelah runtuhnya Kerajaan Mojopahit ke wilayah Tengger yang sulit dijangkau dapat dianggap sebagai sebuah legenda. Bahkan pada masa berdirinya kerajaan ini, gunung-gunung di sekitar Bromo sudah dihuni dan pengorbanan dilakukan kepada gunung berapi ini;
Beberapa tahun yang lalu hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sebuah lempengan tembaga di dalam rumah masyarakat Tengger yang di dalamnya tertulis bahwa Pangeran Hyang Wekasing Suka membebaskan pajak bagi seluruh penduduk Desa Walandit, karena desa tersebut merupakan desa suci. karena penduduknya adalah pemuja gunung Bromo yang suci. Tanggal pada plat tersebut sesuai dengan tanggal 21 Juni 1405, jadi jauh sebelum masa invasi Muslim. Oleh karena itu, tidak masuk akal jika orang Tengger melarikan diri dari sana.
Dalam esainya yang disebutkan sebelumnya Die Tenggeresen (Kontribusi terhadap bahasa, tanah, dan etnografi India, seri Vle, bagian ke-9, hal. 91 dan seterusnya), Dr. J. F. H. Kohlbrugge menyarankan bahwa legenda pelarian tersebut harus dijelaskan sebagai berikut. Selama beberapa waktu setelah tahun 1818, para demang, kepala adat, yang kemungkinan besar tinggal di dekat Ngadiwono, menjabat sebagai kepala (administratif) masyarakat Tengger; Banyak sekali yang dikemukakan mengenai hal ini oleh J. Hageman dalam karyanya tahun 1871, Pegunungan Tengger dan Penduduknya, yang akan kami sebutkan lebih sering lagi. Tosari ditetapkan sebagai tempat tinggal para demang. Demang terakhir yang disebutkan adalah Ardidjojo; Setelah kematiannya gelar tersebut dihapuskan dan seorang wedono diangkat.
Saat ini keturunan para demang yang sangat dihormati tersebut masih hidup. Sudah menjadi kebiasaan di antara mereka bahwa ketika mereka sudah tua, mereka mengundurkan diri dari jabatan mereka, tetapi tetap menjadi dukun (pendeta besar) pertama sampai mereka meninggal. Demang terakhir, juga pendeta besar, Ardidjojo digantikan oleh seorang saudara laki-laki; ia memiliki dua orang putra, yang salah satunya sekarang tinggal sebagai dukun pertama di Tosari. Namanya adalah Wasiman, alias Pak Ratio, dan merupakan yang kelima dalam garis keturunan demang. Ia juga mengatakan kepada Dr. Kohlbrugge, bahwa ia adalah yang kedua puluh dalam garis keturunannya, yang harus kita pahami sebagai keturunan dalam derajat kedua puluh dari salah satu kepala suku Tengger pertama. Pada abad kesembilan belas ada keturunan para demang dalam lima derajat; dua puluh adalah empat kali lima; oleh karena itu Dr. Kohlbrugge menghitung bahwa garis keturunan pendeta besar saat ini berusia empat abad. Sekitar empat abad yang lalu kerajaan Mojopahit juga runtuh; dan menghubungkan semua fakta yang samar-samar ini, kesimpulkan Dr. Kohlbrugge yakin bahwa para kepala suku, yang kemudian menjadi demang dan sekarang keluarga pendeta kemungkinan besar merupakan keturunan salah satu pangeran Mojopahit yang melarikan diri dan dengan cara inilah legenda pelarian itu tercipta! Sungguh suatu sistem hipotesis yang cerdik; Sayangnya, tak satupun mampu menghadapi kenyataan. Oleh karena itu, marilah kita puji Dr. Kohlbrugge atas keterampilan kombinasnya dan melanjutkan untuk mengurutkan kembali.
Adat Istiadat
Bahwa adat istiadat, kebiasaan dan praktik masyarakat Tengger yang telah hidup terisolasi selama berabad-abad memiliki makna khusus, tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sementara itu, akhir-akhir ini, akibat kontak dengan orang Jawa yang tinggal di dekatnya, telah terjadi banyak perubahan dalam adat istiadat tersebut. Akibatnya, orang Tengger hanya berbeda dalam beberapa hal dengan tetangganya, dan seiring berjalannya waktu, mereka akan menjadi hampir sama dengan orang Tengger. Fenomena ini terlihat di mana-mana di era kita sekarang.
Meskipun demikian, penduduk Tengger masih memiliki cukup banyak kekhasan sehingga bisa disebut menarik. Seperti halnya orang Jawa sebelum adanya kontak dengan orang Eropa, mereka adalah orang-orang yang naif, nyaris tanpa sifat buruk. Mereka tidak mencuri, tidak membunuh, tidak berkelahi, dan tidak berzinah. Di masa mudanya mereka menganut motto: Il faut quejeunesse passé (Menikmati masa muda); Begitu mereka memasuki surga pernikahan, mereka menjadi contoh kesetiaan dalam pernikahan. Setidaknya hal ini dapat diamati pada masa lampau.
Panglima Pasuruan, Adriaan de Rijck, yang ditunjuk pada tahun 1772 dan dari sinilah laporan pertama tentang suku Tengger berasal, menulis pada tahun 1785 bahwa selama tiga belas tahun pemerintahannya, tidak pernah terjadi pembunuhan maupun pencurian. Mereka ramah seperti semua orang primitif dan mempercayai orang asing sepenuhnya; Kemudian, seiring pengalaman mengajarkan mereka, mereka menjadi agak lebih pendiam. Mereka sangat menghormati orang Eropa. Jika terjadi perselisihan, mereka memanggil dukun — kata ini tidak boleh diartikan sebagai dokter — dan menyerahkan keputusannya. Para pemuda menikah cukup terlambat, tidak sebelum usia dua puluh tahun; gadis-gadis yang tidak berusia sebelum enam belas tahun. Pemabuk dan perokok opium tidak dikenal.
Lukisan ini masih banyak diaplikasikan pada masyarakat Tengger masa kini, kendati mereka telah bercampur dengan masyarakat Jawa dan Madura. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa perceraian lebih umum terjadi saat ini dibandingkan di masa lalu. Pernikahan yang terlambat masih umum terjadi; Para orang tua pun sepenuhnya menuruti keinginan anaknya. Masyarakat Tengger mengolah sawahnya tanpa ternak; Selain itu, di lereng gunung yang curam mereka tidak dapat menggunakan hewan penarik. Junghuhn (Java, Ill, 808) dan Veth menceritakan tentang lonceng yang mengingatkan kita pada Pegunungan Alpen.
Suku Tengger tidak menanam padi: konon adat melarang mereka melakukannya. Bagaimanapun itu tidak mungkin karena wilayahnya tidak cukup tropis. Jagung merupakan makanan pokok. Seperti yang telah disebutkan di bagian pertama, budidaya sayuran Eropa bersifat umum. Junghuhn tidak menilai orang Tengger sebagai orang yang sangat simpatik. Ia menganggap mereka ras yang buruk rupa dan agak malas: “Segera setelah mereka menyelesaikan pekerjaan kecil mereka di ladang, mereka berbaring sepanjang hari di gubuk-gubuk mereka yang berasap di depan api unggun’; mereka tidak pernah meninggalkan rumah mereka sebelum jam 7 atau 7.30 pagi, tidak sebelum matahari menghangatkan pegunungan sampai batas tertentu.” Ini agak berlebihan atau dibesar-besarkan;
Suku Tengger tidak diperbolehkan bekerja lebih dari yang diperlukan, mereka tidak malas. Keburukannya tak perlu diperdebatkan: mereka lebih kompak dibanding orang Jawa, berwajah lebar, hidung pesek, mulut lebar, dan bibir tebal; Perkembangan sistem otot mereka patut diirikan, lebih dari perkembangan intelektual mereka yang nyaris nihil. Rumah-rumah masyarakat Tengger, setidaknya yang lama, masih memiliki karakter asli, namun terbuat dari papan kayu yang diikat erat satu sama lain dengan rotan; Di bagian dalam, dinding sering kali ditutupi bambu untuk menahan hawa dingin. Atapnya hampir seluruhnya terbuat dari alangalang.
Rumah-rumah Tengger asli dibedakan berdasarkan panjangnya yang kadang-kadang cukup panjang: pintu masuk selalu menghadap ke Bromo yang suci dan tertutup; pekerjaan dilakukan di sana yang bagian dalamnya terlalu gelap. Di sepanjang sisi memanjang orang akan menemukan bale-bale atau amben yang rendah dan lebar: koridor membentang di antara keduanya. Bangku-bangku tersebut diikuti oleh ruangan-ruangan kecil, atau lebih tepatnya, sekat-sekat telah ditempatkan di sana untuk menciptakan kamar-kamar kecil bagi para anggota keluarga yang sudah menikah. Satu kamar untuk tuan rumah dan istrinya; yang lainnya untuk anak perempuan yang sudah menikah. Di ruang antara ruangan orang dapat menemukan perapian, yang di sekitarnya juga terdapat bangku-bangku rendah.
Di pintu masuk terdapat “ruang depan“: di sinilah para tamu diterima saat ada pesta yang diadakan, yang cukup sering terjadi, karena, seperti orang Jawa, orang Tengger juga memiliki bakat gastronomi. Yang paling mencolok adalah tidak adanya ahli waris. Rumah -rumah dibangun bersusun satu di atas yang lain, pada teras-teras, dan karena lahan bangunan di daerah pegunungan terjal itu sempit, tempat tinggal-tempat tinggalnya berdekatan, dengan koridor-koridor yang disiangi dengan hati-hati di antaranya.
Mengenai adat istiadat, kami hanya akan menguraikan lebih rinci yang berlaku pada acara pernikahan. Khususnya di Ngadisari, menurut Dr. Kohlbrugge, mereka tetap berlaku. Dahulu, ikrar mempelai wanita berupa selembar daun sirih berhiaskan pernak-pernik yang diserahkan kepada mempelai wanita. Lalu ada pesta pertunangan yang sesungguhnya. Orangtua kedua pemuda itu menetapkan hari di mana pertunangan akan diumumkan kepada keluarga. Para kerabat mempelai pria berkumpul di rumahnya pada malam hari dan kemudian berprosesi menuju rumah mempelai wanita di mana keluarga mempelai wanita telah berkumpul. Ayah mempelai laki-laki kini menyampaikan keinginan anaknya; Ayah mempelai wanita memberikan persetujuannya dan mengumumkan hal ini kepada mereka yang hadir, kemudian mereka saling memberi ucapan selamat dan kedua mempelai merayakan hari pernikanan itu. Ayah mempelai wanita lalu mengadakan pesta, di mana kedua ayah makan dari satu hidangan, sebagai tanda adanya persetujuan penuh. Pada hari pernikahan, sang pengantin pria ditemani oleh sanak saudara dan sahabat-sahabatnya kembali ke rumah sang pengantin wanita. Dia dihiasi dengan bunga-bunga dan seluruh tubuhnya ditutupi dengan boreh-boreh; Di kepalanya ia mengenakan kuluk yang dihias, atau pelat emas atau tembaga yang indah. Ketika dia tiba di rumah pengantin wanita, dia harus menunggu di luar sementara pengawalnya masuk ke dalam. Lalu pengantin perempuan dibawa keluar; dia juga sudah mengenal boreh-boreh dan dihiasi dengan bunga-bunga; Dia juga mengenakan gelang dan kalung emas rangkap tiga. Setelah itu para calon pemuda diajak berkeliling desa; sebuah payung diletakkan di atas kepala mereka; Suasana pesta diekspresikan dalam musik instrumental dan vokal, dalam harmoni yang dipertanyakan. Pengantin wanita dan pria tidak berperilaku sebagaimana yang mereka lakukan di tempat lain di Jawa. Para tamu pesta kemudian kembali ke rumah pengantin wanita.
Kayu-kayu di pintu masuk, yang masih ditemukan di rumah-rumah besar, menyerupai sebuah altar, dihiasi dengan ranting-ranting dan bunga-bunga: ada sebuah rak di atasnya berisi pot-pot, kelapa, bunga-bunga, buah-buahan, bola-bola beras dan gula, persembahan kepada para dewa, yang diwakili oleh tiga boneka yang terbuat dari bunga. Saat ini, tidak banyak perhatian diberikan kepada para dewa, dan adat istiadat ini juga telah kehilangan banyak keasliannya. Saat jamuan makan berlangsung, dua orang “saksi nikah” terlibat dalam perbincangan panjang, yang mana, seperti yang diduga, mereka menjelaskan kewajiban bersama dari kedua mempelai, yang dijawab oleh kedua ayah mereka dengan nada monoton, “Ya.”
Di masa lalu orang juga senang bermain tandak; Sementara itu, waktu telah berubah; Saat ini, gadis-gadis penari dapat dilihat tampil di pesta-pesta di beberapa desa Tengger. Tarian tersebut kemudian dilanjutkan dengan doa panjang oleh pendeta, yang mana ia memercikkan air ke dalam bak dan seluruh tamu memegang sehelai daun bunga di tangan mereka. Setelah doa, pendeta membaptis kedua mempelai dengan air dari kendi tanah liat, “air penyucian“; setelah itu, ia juga mengurapi kerabat pasangan muda itu, dan kemudian mengucapkan beberapa doa lagi. Namun, upacara belum selesai dengan ini. Misalnya, sebuah bejana berisi dupa diletakkan di altar di samping piring berisi nasi dan buah-buahan, dan pendeta mulai memercikkan lagi, sementara wanita tertua di rombongan itu disentuh dengan nasi di berbagai bagian tubuhnya, di mana orang Tengger melihat sentuhan manusia oleh lima dewa yang berbeda, yaitu Brama, Wisnu Siwa, Batoro Mohodewo, dan Batoro Guru.
Dengan upacara terakhir ini, pernikahan pun diresmikan. Juga pada acara-acara penting lainnya, banyak upacara yang harus dilaksanakan di masa lalu; tetapi seperti yang telah dicatat, gesekan dengan orang Jawa dan Madura secara bertahap menyebabkan adat dan kebiasaan khas orang pegunungan yang telah kita uraikan berubah. membuat mereka lelah dan semakin berasimilasi dengan tetangga mereka. Mungkin dalam setengah abad pesona yang masih terpancar dari banyak adat istiadat Tengger yang bermakna akan hilang selamanya.
Suku Tengger dan Dunia Barat
Sebelum tahun 1785, dunia barat hampir tidak pernah mendengar tentang pegunungan Tengger atau gunung berapi bernama Bromo. Valentine mendengar bunyi lonceng dan ia menggambar sebuah gunung di peta Jawa miliknya tepat di sebelah selatan Pasuruan, yang menurutnya cocok diberi nama Brama. Pada tahun 1784, pendeta Batavia terpelajar Jan Hooyman, “petani gula, petani arak, petani nila, petani katjang pertama pada masanya,” Tulisan Hageman yang aneh – mendengar bahwa masih ada suku liar yang tinggal di Jawa Timur, yang telah mengorbankan manusia untuk para dewa tahun itu. Untuk mengetahui lebih lanjut, ia menulis kepada komandan Pasuruan, Adriaan de Rijck, yang menanggapi dengan baik surat menteri Jan Hooyman pada tanggal 26 Mei 1785. De Rijck melaporkan bahwa pengorbanan manusia adalah penemuan yang tidak masuk akal. Menjadi jelas baginya bahwa penduduk Gunung Brama (baca: Tengger) hanyalah “seperti orang islam umumnya”. Mereka disunat, menikah, dan dikuburkan “secara formal seperti orang-orang biasa, tetapi sangat liberal dalam beribadah. Mereka lebih tulus, tetapi lebih bodoh daripada penduduk pesisir. Selama tiga belas tahun tidak ada pembunuhan atau pencurian yang terdengar. Poligami dan “gelanterie” tidak dikenal oleh mereka. Namun, pada dasarnya mereka percaya takhayul.
Begitulah kehormatan yang diberikan untuk Adriaan van Rijck, yang pertama kali meniup kabut ketidakjelasan dan diikuti oleh banyak orang. Namun kita mencatat ini sekilas sebagai suatu keingintahuan: sekitar tahun 1860, di Amsterdamsche Navorscher, seorang doktor filsafat mengajukan pertanyaan apakah sebenarnya masih ada pegunungan di Jawa yang dihuni oleh penganut Pythagoras…
Pada tahun 1806, peneliti Inggris, Horsfield menjelaskan masalah ini, tetapi tidak terlalu jelas. Dia berbicara tentang kawah dan letusan, tetapi semuanya menunjukkan bahwa dia tidak melihat lautan pasir atau Bromo. Ketenaran belum menguasai negara pegunungan yang megah ini.
Dalam bukunya Java, Raffles hanya menyebutkan Tengger satu kali. Akan tetapi, bahkan pada masa pemerintahannya, gunung-gunung tersebut dikunjungi oleh banyak pelancong wisata, yang menganggapnya sangat indah berkat Tosari, sangat menghargai hawa dinginnya, tetapi tidak bosan-bosan menggambarkan gunung-gunung tersebut. Pasangrahan yang banyak tersebar di Pegunungan Tengger dan sekitarnya ini merupakan peninggalan zaman Inggris, namun pada sekitar tahun 1865 sebagian besar sudah dibongkar atau dijual, sehingga membuat jengkel banyak orang. (Daftarnya dapat ditemukan di Tengger dan Pegunungan Tengger karya J. Hageman, hal. 56.).
Pertama pada tahun 1820 dan kemudian pada tahun 1829, beberapa pelancong sesekali melaporkan di majalah pada masa itu, Javasche Courant, sesuatu tentang “Pegunungan Tengger.” Sejak tahun itu, aliran literatur mulai mengalir. Tuan H. J. Domis yang sangat dihormati, Residen Surabaya (sebelumnya Residen Pasuruan), memberikan catatan tentang Tengger, yang pertama kali dimasukkan dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en wetenschappen tahun 1837. Ia juga memberikan peta, yang dimaksudkan dengan baik. Pada tahun 1844, Residen lain mengikuti contoh tersebut – saat ini Residen hanya menulis catatan dan surat, yaitu J. D. van Herwerden, dalam Kontribusinya terhadap pengetahuan tentang Pegunungan Tengger dan penduduknya. Penulis mengunjungi wilayah tersebut beberapa kali dan menyaksikan letusan kecil pada tahun 1842, yang ia gambarkan dengan sangat baik. Tentang penduduk, ia mengatakan hal berikut dengan gayanya yang berani, antara lain: “Meskipun mereka saat ini sedang menunggu berpura-pura mengabdikan diri pada agama Islam, di pegunungannya dia tetap diam-diam menganut agama Hindu dan konsep pagan, Dewo (Tuhan) Wisnu (baca: Siwa) dan mengakui Dewo Bromo sebagai dewa tertinggi. Secara lahiriah mereka telah memeluk ajaran Islam, agar terlindungi dari segala ejekan dan praduga yang menghina, yang biasanya cenderung dibiarkan orang Jawa di dataran rendah terhadap orang Tengger, ketika mereka menganggapnya sebagai orang kafir.” Di sinilah letak penjelasan fenomena bahwa orang Tengger “ditemukan” begitu terlambat dan orang Tengger tidak lagi dikunjungi untuk melihat “kebun kubis” – seperti yang diinginkan Komisaris Jenderal Nederburgh, yang berada di Pasuruan pada tahun 1798, tetapi yang dinasihati oleh bupati yang lumpuh, yang ditugaskan di kabupaten, agar tidak naik ke sana, karena jalan itu “terlalu berbahaya” bagi tuan tanah yang mulia, kecuali untuk mengenal pegunungan dan penduduknya sendiri. Menurut Hageman, perjalanan ke dan dari pegunungan Tengger telah menjadi sangat umum, terutama sejak tahun 1825.
Akan tetapi, baru pada tahun 1845 dan 1846 kondisi geologi Tengger mulai diketahui lebih baik. Khususnya Junghuhn, sebagaimana telah ditunjukkan pada bagian pertama esai ini, telah dengan cermat meneliti, mendeskripsikan, dan memetakan pegunungan tersebut. Ia diikuti oleh Zollinger dengan Sumbangannya bagi pengetahuan tentang sistem pegunungan Jawa Timur dan oleh Dr. H. Blëeker, Fragmen-fragmen perjalanan melintasi Jawa (dalam Tijdschrift v.’NI’ tahun 1849). Pada tahun 1854, J. F. Teysmann pergi ke sana untuk melihat bunga-bunga, dan sekitar tahun 1860 sebuah deskripsi tentang kawah Bromo dan gunung berapi Tengger oleh pengelana Em. Stöhr, yang mengekspresikan dirinya dalam bahasa Italia dan Jerman dan membuat cukup banyak uang.
Di antara orang asing yang telah memberikan bantuan berjasa dalam deskripsi Tengger, perlu disebutkan orang Jerman Dr. E. A. Fritze, yang bersama Junghuhn, dan L. Burer, serta orang Italia, Vidua dan orang Inggris, J. Beete Jukes, yang melakukan pelayaran dengan kapal perang Inggris Fly.
Sementara itu aliran literatur terus berlanjut ; pada tahun 1874, F. C. Heynen memberikan deskripsi tentang dataran tinggi Tengger; tahun berikutnya Gids melaporkan perjalanan melalui Pegunungan Tengger dan Van Waey dari Semarang melaporkan tentang perayaan Bromo di Tijdschrift v. NI. Pada tahun 1885, J. Kreemer, yang terkenal dari Kendal Payak (Malang), menceritakan dalam Pengumuman Masyarakat Misionaris tentang apa yang telah ia lihat dan alami di Tengger dalam dua minggu; Pada tahun 1889 dan 1890, J. W. H. Cordes mengikuti contoh dalam De Indische Gids: Dan sekarang kita abaikan artikel-artikel di surat kabar dan Borels, dari sudut pandang deskripsi rakyat dan tempat, hampir merupakan mimpi yang gagal
Sementara itu pegunungan ini menjadi semakin terkenal, dan beberapa Gubernur Jenderal telah pergi ke sana untuk menghirup udara segarnya.
Pada tanggal 14 Oktober 1822, Gubernur Jenderal Van der Capellen ke Tengger dari Pasuruan berangkat ke Tosari, dan kembali dalam satu hari. Pada tanggal 20 Oktober berikutnya, Yang Mulia melakukan perjalanan serupa dari Probolinggo melalui Ngadasari (di sisi Timur Tengger) ke Bromo. Catatan tersebut dapat ditemukan di Javasche Courant tahun 1822, no. 43 dan 44. Catatan tersebut tidak memuat banyak hal yang menarik.
Pada tahun 1838, Gubernur Jenderal De Eerens datang untuk melihatnya. Sekitar dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1859 (dalam Tijdschrift v. NI), perjalanan itu dijelaskan oleh seorang rekan seperjalanan. Ia diikuti oleh Rochussèn, Pahud, Sloet dan Mijer, dan kemudian Pynacker Hordijk.
Pada bulan Mei 1900, Tosari mendapat kehormatan dikunjungi oleh gubernur saat itu, W. Rooseboom.
Dapat dimengerti bahwa pada awal abad kesembilan belas, pintu masuk ke kawah Tengger masih belum sempurna. Kami mengambil sketsa berikut dari deskripsi yang berasal dari tahun 1825 :
“Kami harus naik ke ketinggian tujuh ribu kaki di atas permukaan laut. Jalan itu naik turun gunung, dengan tingkat kecuraman yang mengerikan.”
Bayangkanlah sebuah jalan setapak yang hanya dilalui bila perlu saja, yang naik turun gunung, digali di banyak tempat dan biasanya terletak di lereng gunung, yang mana orang berjalan mengitarinya, atau lebih tepatnya menunggang kuda mengitarinya, seakan-akan menuju ke sebuah menara tanpa pegangan; sedemikian lebarnya sehingga seekor kuda dapat melewatinya dan penunggangnya harus menundukkan kakinya agar tidak berdiri di atas balok yang tingginya dua setengah kaki dan melihat kuda itu melaju menjauh dari bawahnya. Sering kali terjadi pada saya, yang bertubuh cukup tinggi, bahwa saya akan membenturkan kaki dan telapak kaki saya ketika turun dan melihat sanggurdi meluncur ke tumit saya, yang tentu saja lebih dari biasanya untuk dihindari pada perjalanan yang berbahaya seperti itu. Lagipula, jalanannya basah, tanahnya berwarna kopi berminyak, begitu licin sehingga setiap kali saya tergelincir, saya takut kuda itu akan melemparkan saya ke dalam jurang. Saya kerap kali bertanya-tanya pada binatang itu, ketika ia berbelok di tikungan tanpa batas. Aku masih membayangkan jalan yang berliku dan sempit itu, digali dari bebatuan, menanjak sangat curam, tidak ada satu pun sinar udara atau cahaya yang bisa melewatinya.”
Dan selanjutnya:
“Keesokan harinya jalannya bahkan lebih berbahaya, melewati Goeboeg Klakka. Seekor kuda lebarnya sekitar delapan inci; di kiri dan kanan jurang yang kedalamannya mencapai lima ribu kaki (penulis tentu saja melebih-lebihkan); pagi pagi; —udara pegunungan yang segar; pohon-pohon di lereng gunung seperti jarum; sungai pegunungan yang mengalir deras, yang menghantam ke kedalaman…
Dan sebagainya.
Sejak itu banyak hal telah berubah dan membaik, terutama dalam hal jalan. Sementara itu, jalan-jalan utama sudah dalam kondisi baik pada paruh pertama abad sebelumnya, seperti yang dikonfirmasi oleh berbagai catatan perjalanan. Akan tetapi, dengan rasa kurang senang, kita mengetahui bahwa hutan lebat yang pernah menutupi gunung-gunung di mana-mana telah tumbang karena hantaman kapak yang tak pernah henti.
Seseorang bernama Y. dari Bezoekie, yang mengunjungi suku Tengger pada tahun 1820 dan catatan perjalanannya dari Javasche Courant tanggal 24 Juni 1820 dicetak ulang dalam Indisch Magazijn tahun 1845, menggambarkan desa Ledo Ombo sebagai “sebagian besar dikelilingi oleh hutan lebat dan liar“. Domis mencatat pada tahun 1830: “Di pegunungan ini terdapat banyak lembah dan ketinggian, yang semua puncaknya ditutupi oleh pepohonan“; Van Herwerden menemukan sekitar tahun 1840 di sisi timur “jurang yang menurun curam, ditutupi pepohonan hingga ke kedalamannya“.
Junghuhn bersaksi: seluruh pegunungan ditutupi hutan (di zona bawah dengan hutan berdaun lebat, di zona atas dengan hutan cemara), yang, tergantung pada budidaya di berbagai wilayah, sebagian besar atau kecil telah ditebang. Seperti yang terlihat dari kutipan terakhir, permulaan yang sangat nyata telah dimulai pada awal abad kesembilan belas dengan penggundulan hutan untuk kepentingan perluasan lahan pertanian.
Letusan Bromo tidak memiliki tanggung jawab sedikit pun atas hal ini. Kita dapat menemukan letusan “gunung berapi” ini, sebagaimana biasa dikatakan seabad yang lalu, yang tercatat pada tahun 1767, 1775, 1804, 1815, 1825, 1829, 1842, dan 1843. Hanya empat tanggal terakhir yang dapat diterima sebagai tanggal yang benar secara historis: yang lainnya tidak dapat dipercaya, karena Van Herwerden dengan tegas menyatakan bahwa belum jelas baginya dari sumber mana data ini diambil, atau sejauh mana letusan-letusan sebelumnya ini, setidaknya (setidaknya) yang terjadi pada abad sebelumnya, dicirikan oleh kekerasan tertentu dan apakah gunung tersebut harus dianggap benar-benar diam selama interval yang cukup panjang antara satu letusan dan letusan berikutnya.
Dilaporkan tentang letusan tahun 1829 bahwa “abu dan batu yang terlempar jatuh seperti debu tebal di dataran rendah dan mengakibatkan kerusakan yang signifikan pada tanaman pangan di pegunungan Tengger dan Malang. Pada tahun 1835, sebagaimana telah kita catat, sebuah danau kebiruan terlihat di kedalaman kawah, yang pada satu titik menghilang, lalu muncul kembali, tetapi tidak terlihat lagi sejak pertengahan abad terakhir. Letusan tahun 1842 yang dikaitkan dengan runtuhnya dinding kawah Lamongan, tempat air bawah tanah konon mencari jalan keluar melalui cerobong Bromo, pastilah sangat dahsyat. Sementara itu, bukan hanya satu, tetapi beberapa letusan teramati. Van Herwerden tinggal di sana dengan damai sementara ia berdiri di tepi timur Laut Pasir, Cemoro Lawang, satu pall jauhnya. “Ketika malam tiba, pemandangan bertambah indah, karena batu-batu, yang terus menerus terlempar ke atas, dan yang, melalui asap tebal yang mengandung abu, hanya sebagian dapat diduduki pada siang hari, sekarang tampak bersinar, dan jumlahnya bertambah banyak saat kegelapan bertambah, sehingga ketika malam telah benar-benar tiba, kolom asap yang terus mengepul muncul sebagai satu massa yang bersinar, menerangi tidak hanya gunung itu sendiri, tetapi juga seluruh wilayah di sekitarnya dengan cahaya merah. Letusan-letusan itu terjadi berurutan begitu cepatnya sehingga dalam satu menit dapat dihitung tiga sampai empat letusan, dan batu-batu yang jatuh dari ketinggian seolah-olah setiap kali dipindahkan oleh batu-batu lain yang muncul sebelum mencapai gunung.
Van Herwerden, yang kami yakini sebagai satu-satunya orang Eropa yang mengamati Bromo dalam operasi penuh dan juga menggambarkannya, mencoba mendaki gunung, tetapi ia tidak berhasil cukup dekat dengan kolam api yang mendidih.
Teori tentang terbentuknya Tengger juga memiliki sejarahnya. Van Herwerden adalah orang pertama yang mengemukakan pandangannya: ia percaya bahwa Tengger dulunya adalah gunung berbentuk kerucut yang sangat besar, tetapi bagian atasnya (yaitu kerucut yang tidak terlalu besar, yang dimulai di atas tepi dinding Laut Pasir) telah runtuh dan dengan demikian memberikan pegunungan itu tampilannya saat ini. Selain itu, ia menganggap Bromo sendiri sebagai apa yang disebut kerucut letusan.
Junghuhn, sang ilmuwan, melihat dengan mata yang lebih tajam. Ia menyatakan Tengger sebagai kawah ketinggian, yang kemudian disetujui oleh Zollinger dan Bleeker. “Dinding kawah besar (sekarang Laut Pasir Dasar dan Rujak) tidak pernah lebih tinggi dari sekarang”, tulis Dr. Bleeker dalam Fragmenten eener reis over Java (Tijdschr. v. NI, 1849, hlm. 47 dst.), di mana ia membahas secara singkat sejarah dan teori tentang Tengger. “Ketika Tengger terbentuk, pengangkatannya disertai dengan letusan lava yang luar biasa. Massa lava pernah mengisi sebagian besar kawah pengangkatan dan mengalir ke bagian terendah dinding kawah, Cemoro Lawang, hingga ke dataran. Setelah periode ini Tengger menjadi lebih tenang. Lava sebagian tenggelam kembali ke kedalaman kawah, mungkin sekitar 2000 kaki di bawah tepi tertinggi dinding kawah atau hingga 1000 kaki di bawah dataran Laut Pasir (sekarang). Aksi vulkanik Kemudian, letusan kembali terjadi, tetapi dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah. Kemudian, kerucut-kerucut letusan muncul, pertama Widodaren, kemudian Batok, dan kemudian Bromo. Dengan demikian, perapian vulkanik tetap berhubungan dengan atmosfer. Material erupsi kadang kala berupa lava, trakit dan sejenisnya, kadang kala berupa batu apung dan puing, atau lumpur dan abu vulkanik. Zat-zat tersebut, yang secara bertahap menyusun kerucut erupsi, juga mengisi bagian dalam kawah pengangkatan dan menutupi, setidaknya abu yang dikeluarkan dan batu-batu kecil, lereng luar Tengger, dan bahkan dataran Malang, Pasuruan, dan Probolinggo.
Ketika tabung kawah Widodaren menjadi tidak aktif, aktivitas vulkanik bergeser ke luar secara berurutan ke kerucut erupsi yang lebih baru.
“Sekarang tinggal kawah Bromo saja. Yang ini melanjutkan pekerjaan yang dimulai oleh kawah letusan lainnya dan berlanjut hingga hari ini. Material letusan Bromo inilah yang membentuk lapisan atas medan lautan pasir dan mengubur kaki Gunung Batok di bawahnya. (Dengan kata lain, kawah Tengger yang awalnya sedalam 2.000 kaki, terisi hingga ketinggian sekitar 1.000 kaki akibat letusan Bromo). Bromo pulalah yang terutama telah melontarkan panas letusan ke lereng luar Tengger dan bukit-bukit berbentuk rusuk di ngarai kawah besar Ngadasari (di sisi timur) dan menjadikan persawahan Pasuruan dan Probolinggo begitu subur oleh abunya. Setiap letusan abu dari Bromo meningkatkan permukaan lautan pasir dan membuat kawah pengangkatan menjadi lebih dangkal. Semua letusan yang disebutkan dalam tradisi orang Tengger juga dikaitkan dengan Bromo.”
Bromo merupakan pusat sistem pegunungan besar, dan ke sana penduduk membawa sesaji mereka, penuh rasa hormat dan kagum, seolah-olah mereka adalah anak kecil.
Hotel dan Tempat Perawatan Kesehatan.

Losmen Tosari : Langganan bulanan; atau harian. Untuk satu orang f 150.— atau f 6.; anak-anak bayar setengahnya.
Iklan di atas ditemukan di surat kabar harian yang muncul di Oosthoek sekitar tahun 1870. Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu terdapat rumah penginapan di Tengger, Losmen Tosari. Rumah penginapan tua ini, yang selama ini menjadi satu-satunya di wilayah suku Tengger, pasti sudah pernah dikunjungi Junghuhn, meskipun ia tidak menyebutkannya dalam sketsa perjalanannya. Hageman menceritakan dalam bukunya Over den Tengger, mountains and population, bahwa pada jendela-jendela lama, yang berdiri di depan “hotel pegunungan” hingga tahun 1861, terukir tulisan berikut:
“5670 kaki. Junghuhn 1844.“
“5510 kaki. Jukes.” (*Beete Jukes melakukan pelayaran pada tahun 1844 dengan kapal perang Inggris Flyy dan kemudian mengunjungi Tengger)
Sementara itu, sebuah rumah pegunungan pasti telah dibangun di Tosari jauh lebih awal oleh komandan Pasuruan yang disebutkan sebelumnya, Adriaan van Rijck. Ini terjadi sekitar tahun 1780. Jadi Van Rijck patut dipuji karena “pencinta kehangatan tungku dan hidangan yang diasapi dapat menikmati kenikmatan udara dingin di Tosari di sebuah hotel papan dengan bantuan orang Eropa.“
Para pelacong biasa, yang tidak berada di bawah perlindungan komandan Van Rijck dan para penggantinya, yang disebut Residen, bagaimanapun juga bergantung pada para pasangrahan di pegunungan Tengger dan, dengan contoh Junghuhn di depan, yang harus puas dengan kentang dengan garam di Ledok Ombo, sangat diragukan apakah para pengembara dapat memperoleh keuntungan dari hidangan berasap dengan produk dari kebun sayur Tengger, yang telah memperoleh nama yang baik untuk “sayuran” mereka di Surabaya sekitar tahun 1800. Sementara itu, nama Tosari belum disebut-sebut sekitar waktu itu.
Menurut keterangan yang kami peroleh, pada tahun 1845, setahun setelah Junghuhn membuat pemetaan dan deskripsi Suku Tengger, pasanggrahan di Tosari diganti dengan “hotel papan” sebagaimana disebutkan oleh Hageman, yang kemudian menjadi dasar berdirinya Hotel Tosari saat ini.
Iklan yang dicetak di atas tampaknya memiliki pengaruh yang cukup besar: setidaknya sekitar tahun 1870, kunjungan ke Tosari meningkat. Penduduk kota membawa topi dan pakaian rapi. Orang Tengger merasa aneh—menurut seorang penulis pada masa itu—ketika ia melihat seorang wanita keluar dari Hotel Tosari, dengan jubah sutra menjuntai di tanah, “membiarkan kepala, leher, bahu, dan lengan bawahnya terbuka, untuk memperlihatkan bentuk tubuhnya yang montok kepada para wanita Tengger, dewi dan bidadari, yang mungkin terlihat atau mungkin juga tidak. Beginilah cara orang terkadang berpakaian di sini untuk berjalan-jalan, untuk memanfaatkan keindahan jalan setapak yang bagaikan sapu. “Ini adalah kebiasaan Eropa.“
Sementara itu, pengusaha perhotelan di Tengger masih saja melakukan bisnis yang tidak cemerlang. Perlu diketahui, sekitar tahun 1870, saat jalur kereta api dari Surabaya ke Pasuruan belum siap, belum ada masyarakat yang melakukan perjalanan dari Surabaya ke Tosari untuk berwisata. Hotel ini tidak dilengkapi untuk menampung banyak tamu. Teras depan yang kecil ditutup dan memiliki kompor, yang menurut semua penulis dapat mengeluarkan suara yang menyenangkan. Kemudian di ruang makan itu juga dipasang tungku api. Pendeta P. Heering, yang pada bulan Mei 1875 mengadakan perjalanan dari Pasuruan melalui Tengger dan melaporkannya dalam De Gids tahun 1875, menuturkan, ruang makan itu kelihatan nyaman, meskipun makanan yang dihidangkan di sana kurang sedap di lidah. “Selada ini sangat hijau dan keras sehingga saat pertama kali anda memakannya, anda akan merasakan seperti apa yang dirasakan Nebukadnezar saat ia tinggal bersama binatang buas di padang dan ia memakan rumput seperti lembu.”
Dan setelah ini bukan kutipan yang tidak berjasa) wit;
“Lidah terbaik sekalipun tidak dapat merasakan perbedaan antara selada rebus dan andewi rebus. Dan semua trik dapur tidak dapat mencegah wortel mengingatkan anda, melalui rasanya, pada mangkuk gula; bahwa kacang polong segar berbunyi nyaring di piring anda dan kacang hijau menyakiti langit-langit dan tenggorokan Anda dengan ujungnya yang tajam.” 1) Beete Jukes melakukan pelayaran pada tahun 1844 dengan kapal perang Inggris Fly dan kemudian mengunjungi Tengger,
Lambat laun hotel ini juga memperoleh reputasi yang lebih baik dalam hal gastronomi. Setelah beberapa kali berganti pemilik dan diberi persediaan air bersih oleh seorang tamu kaya yang bersyukur, hotel tersebut akhirnya jatuh ke tangan Tn. Molijn yang terkenal, yang jandanya kemudian meneruskan bisnis tersebut hingga ia menjadi cukup tua sehingga ia merasa perlu untuk menyerahkan bisnis tersebut kepada putranya, L. A. Molijn. Sementara itu, hotel kedua yang lebih kecil telah dibangun di Puspo, pada ketinggian lebih dari 1.800 kaki di sisi Pasuruan, ditujukan bagi pelancong yang menganggap Tosari terlalu dingin atau terlalu jauh.
Meskipun reputasi Hotel semakin baik. Pada tahun 1885, J. Kreemer dalam Empat Belas Hari di Pasuruan Tengger (Communications from the Dutch Missionary Society, XXIX) memberi julukan “sangat bagus“, dan J. W. H. Cordes menyebutkan pada tahun 1889 rumah penginapan “cukup lengkap” milik janda Molijn (Indische Gids 1889, hal. 2292). Bisnis, terutama selama musim hujan, tidak berjalan dengan baik sehingga tuan Molijn meminta subsidi dari pemerintah. Tentu saja, pemberian dukungan keuangan harus didahului dengan penyelidikan; dan pemerintah kemudian membentuk komisi medis yang terdiri dari Dr. Freijtag, Platteeuw, dan Kohlbrugge.
Dalam laporan yang disampaikan oleh bapak-bapak tersebut disarankan agar subsidi diberikan berdasarkan pemenuhan beberapa tuntutan berikut: di dekat Hotel Tosari, di Desa Telogosari yang terletak di dataran rendah dan lebih terlindung dari angin, perlu dibangun sebuah tempat penginapan yang dapat menampung 5 orang pejabat pemerintah dengan tarif yang lebih rendah; Seorang dokter harus dilibatkan di lembaga tersebut, demikian pula stasiun aklimatisasi di Puspo, demi kepentingan para pasien yang tidak dapat menoleransi perubahan tekanan udara dan suhu tanpa efek samping.
Maka Dr. J. H. F. Kohlbrugge dipanggil dan Sanatorium Tosari dibangun di sebelah hotel Tosari, sesuai dengan rencana yang dibuat oleh para insinyur. Itu dibangun berdasarkan hipotek. Ketika perusahaan tersebut, meskipun mendapat subsidi pemerintah, tetap menolak melakukan pemotongan, Tn. Molijn terpaksa menyingkirkan fasilitas tersebut. Hotel di Tosari dibeli oleh Tn. H. C. A. Voorhoeve, yang merupakan pemegang hipotek pertama: ia mengalihkannya ke perusahaan terbatas publik dan perusahaan ini telah menjalankan bisnis di Tosari sejak Maret 1898.
Bangunan di Telogosari didaftarkan atas nama Tn. Jansen, pemilik Hotel Marine di Surabaya. Tuan P. B. Watrin membeli hak-hak ini, dengan izin Tn. Molijn, dan kemudian mengajukan permohonan subsidi pemerintah, yang dikabulkan. Kemudian, tuan Watrin memindahkan tempat usaha tersebut kepada pemiliknya saat ini, Dr. J. H. J. Van Barmen ‘t Loo.
Setelah fakta-fakta yang tidak banyak ini, berikut penjelasan tentang berbagai tempat usaha dan hotel di Tengger.
LEMBAGA DI PUSPO
Dari kejauhan tampak seperti rumah pedesaan yang elegan, dengan fasad yang cukup panjang: atap dan marquise terbuat dari besi galvanis; di semua sisi, kecuali bagian depan, dikelilingi oleh tanaman hijau tropis. Dapat dicapai dari Pasuruan melalui Pasrepan dalam waktu sekitar tiga jam. Sudah di pertengahan abad lalu tempat cantik ini sudah sangat ramai. Di sana ditemukan sebuah rumah pedesaan yang indah, sebuah pasangrahan yang dihias tempat para Residen Pasuruan berturut-turut De Vogel, Varkevisser dan Steinmetz mencari perlindungan dan tempat Junghuhn, antara lain, diterima dengan ramah oleh yang pertama kali disebutkan pada tahun 1844. Semua “tuan-tuan besar” yang menyeberang atau ke Tengger, turun di sana dan menemukan kenyamanan dan ketenteraman. “Bangunan sederhana“, tulis seorang saksi mata dari tahun 1848, dari serpihan kayu, balok, dinding papan, dengan jendela kaca, atap lonceng dan simp, lantai batu – di sini di pegunungan ada istana, dekat. Hendaknya perlengkapan rumah tangga mencukupi, murni, dan menyenangkan bagi setiap bagian tubuh, pada setiap bagian hari.
“Bangunan tambahan untuk departemen dapur dan kepala rumah kaca, dibangun dari bahan yang sama.
“Di samping, di kedalaman, sepanjang jalan pegunungan yang kasar, turun ke pemandian asli air pegunungan murni; dan bersamanya ada kebun buah-buahan.
“Di depan rumah terdapat dataran tinggi kecil, dari sana dapat terlihat pemandangan daerah bawah Pasoeroean”.
Dan selanjutnya:
“Dan kemudian tuan tanah atau keluarga rumah tangga; sopan, ramah, suka menerima tamu, murah hati, dipaksakan …. Seseorang mendengar sentuhan piano yang ramah; suara lembut salah satu penghuni rumah.”
Pastilah suasana di rumah pedesaan Puspo terasa nyaman. Namun setelah tahun 1861, keadaan menjadi menyedihkan. “Seolah-olah telah terjadi pemboman di sini,” tulis seorang pengunjung pada tahun 1861. “Rangka atap klakka sebagian besar terendam air, cekung; lantainya basah, berjamur. Jendela hijau yang baru dicat, dengan kaca jendela besar dan espagnolette tembaga, sebagian tergantung, terbuka terhadap angin dan hujan; dan seterusnya.”
Sayangnya, pada tahun 1870 lokasi di mana rumah pedesaan yang nyaman itu pernah berdiri tidak dapat diidentifikasi lagi. “Pondok damai” di Tosari adalah satu-satunya tempat di mana seseorang dapat menghirup udara pegunungan Tengger yang penuh berkah dan menikmati hasil bumi yang “berasap” dari kebun sayur. Namun, hasilnya ternyata berbeda, seperti yang telah kita lihat. Tempat kecil yang menawan itu kembali menegaskan haknya dan mendapatkan rumah penginapan, dalam citra “hotel papan” Tosari. Hanya ada sedikit ruang dan kenyamanan yang kurang memuaskan. Hanya beberapa tahun terakhir, seperti di mana-mana di Tengger, telah membawa perluasan dan perbaikan. Kata bersayap “memenuhi tuntutan zaman”, yang diciptakan oleh seorang pengusaha hotel, terbang di punggung wisatawan yang semakin banyak ke sisi-sisin Tengger terus berlanjut dan menghasilkan keajaiban.
Saat ini di Puspo sebuah hotel kecil namun rapi dengan satu baris barang yang bagus–; kamar berubin dan ruang makan serta area duduk tersembunyi di tengahnya. Ini adalah stasiun sanatorium di Tosari dan menampung fasilitas yang sesuai; sakit sampai tidak ada lagi yang keberatan terhadap pemindahan mereka ke lantai atas. Anda dapat berjalan-jalan santai di area sekitarnya.
SANATORIUM –TOSARI
Untuk mencapainya, seseorang masih harus mendaki bukit selama beberapa jam dengan menunggang kuda, sepanjang jalan yang bagus, yang hanya menjadi sedikit terlalu curam di satu tempat: di sini rute asli harus dipersingkat karena kekurangan dana. Kita telah berbicara tentang alam yang kaya dengan penampilannya yang senantiasa berubah saat memasuki zona iklim yang lebih tinggi dan prospeknya yang mengesankan: variasi yang konstan dan udara yang semakin dingin dan murni membuat perjalanan menjadi tamasya yang menyenangkan. Saat Anda hampir sampai di Tosari, Anda akan tiba-tiba merasa seperti dibawa kembali dari surga pegunungan ke dataran… neraka, begitulah kira-kira tulisan kami: di sana, di persimpangan jalan, ada dua tanda, satu menunjuk ke sanatorium, yang dapat dicapai melalui jalan pendek namun curam, dan yang satu lagi bertuliskan kata-kata singkat: Lewat sini! ke hotel, di mana seseorang tiba melalui jalan yang kurang terawat.
Sanatorium Tosari terletak sedikit di bawah hotel di lereng. Ia bersembunyi di balik semak mawar, pohon pakis, dan akasia seperti rumah hiburan yang damai. Melalui lengkungan raksasa semak mawar yang menutupi pintu masuk, seseorang memasuki taman yang elegan dengan jalan setapak yang sempit dan hamparan bunga yang menawan, yang selain dipenuhi mawar yang rimbun, juga ditumbuhi bunga hortensia, geranium, dan begoma yang memberikan warna. Bangunan ini, yang dibangun berdasarkan rencana pemerintah, berisi 5 ruangan yang diperuntukkan bagi pejabat pemerintah; selanjutnya ruang makan, ruang tamu, kamar mandi, dan sebagainya. Akibat dari terus bertambahnya jumlah pengunjung, bangunan awal tersebut segera menjadi terlalu kecil: sebuah paviliun dengan empat ruangan, yang terbuka ke konservatori, dibangun di sebelah kiri; Empat ruangan juga ditambahkan di bagian belakang, menawarkan pemandangan panorama yang indah dengan Ardjoeno dan Welirang di latar belakang. Masih nampak kekurangan ruang: di sebelah kanan bangunan utama, lahan dinormalisasi dan lima ruangan lagi dilengkapi perabotan, yang paling indah di bangunan itu, karena mempunyai beranda depan dan belakang serta pemandangan indah di kedua sisi. Berdekatan dengan kelima ruangan ini terdapat ruang rekreasi besar, yang belum siap, tetapi menurut rencana direktur-dokter Dr. J. H. J. van Barmen ‘t Loo akan dibuat berpanel dengan gaya Belanda kuno, akan mempunyai balkon di atas jurang yang berdekatan di belakang dan konservatori tertutup di depan. Menghadap taman pejalan kaki yang juga belum siap. Di seberang jalan yang membentang di sepanjang sanatorium, beberapa vila yang menyenangkan telah dibangun: direktur tinggal di salah satunya; yang lainnya ditujukan untuk tamu yang sakit yang memerlukan istirahat maksimal.
Tergantung pada sifat penyakitnya, semua kamar dan paviliun tersedia untuk pejabat pemerintah dan perorangan.
Semua bangunan terbuat dari kayu pinus dan dilapisi besi galvanis, dindingnya dilapisi ganda untuk meredam suara.
Setelah deskripsi yang luas namun belum lengkap ini—di sebelah kiri bangunan tambahan baru sedang dibangun dan arena bowling sedang dibangun—kita meninggalkan direktur-dokter yang ceria dan tangan kanannya, Nona Moquette, untuk naik ke.
HOTEL TOSARI.
Pada bab pertama kami menyebut hotel ini sebagai istana wisata: ciri khas ini akan terlihat jelas oleh siapa saja yang melihat bangunannya, terutama pada bagian depannya, yang sangat menawan dan gagah memahkotai punggung gunung yang curam.
Setelah hotel Tuan Molijn diambil alih oleh perseroan terbatas publik tersebut, restorasi bangunan dan inventarisnya segera dimulai. Pada tahun 1900, sebuah dataran tinggi yang luas dibuat di depan hotel dengan menggali dan mengisi jurang. Bagian belakang bangunan adalah yang tertua dan juga yang paling tidak menarik. Di kedua sisi halaman yang bercahaya, orang akan menemukan sekitar 25 kamar tamu dengan beranda kecil: jika berjalan melewatinya, orang akan memasuki bangunan utama, yang berakhir di dua ruangan melintang yang indah yang memberikan kesan yang sangat menyenangkan: pertama-tama orang akan memasuki ruang makan yang luas, kemudian ruang rekreasi, yang berisi meja biliar dan meja baca dan dilengkapi perabotan yang penuh cita rasa. Di sini, seseorang akan merasa seolah-olah berada di salon yang cerah.
Di depan ruang rekreasi terdapat area duduk yang bagus, dari sana Anda turun ke dataran tinggi yang disebutkan di atas, yang ditata sebagai area jalan kaki dengan hamparan bunga dan gazebo yang ceria serta perbatasan di sebelah kiri dengan beberapa paviliun, chalet bagus yang selaras dengan taman.
Di atas piring kecil Rumah dokter tersebut berada di lantai dasar, yang sebagaimana diketahui saat ini kosong, tetapi akan segera berfungsi kembali. Pekerjaan saat ini sedang dilakukan untuk memperluas dataran tinggi ini dengan menggali dan menimbun kebun sayur yang berdekatan untuk membuat taman bertingkat. Rencananya akan dibangun sebuah paviliun dengan beberapa ruangan di dataran tinggi, ditujukan untuk orang sakit yang harus dipisahkan dari orang sehat dan memerlukan pengawasan langsung dari dokter.
Lebih jauh lagi, hotel tersebut, seperti halnya sanatorium, akan dilengkapi dengan lapangan tenis dan arena bowling, sehingga di kedua lembaga Tosari tersebut tidak akan ada yang diabaikan untuk memberikan pemulihan dan relaksasi yang sehat bagi mereka yang sakit. Administrator hotel adalah Tn. M. J. C. de la Rive Rox; agen di Pasuruan, Tn. Lubeck. Kepentingan lembaga Dr. Barmen ‘t Loo diurus di Pasoeroean oleh Nyonya Dencher.
Peta sketsa kami menunjukkan rute yang perlu Anda ambil untuk sampai ke «-»’ Air Spa Hotel Tengger
di desa lama Ngadiwono. Kami menyarankan siapa pun yang ingin melatih otot kakinya dengan mendaki gunung untuk melakukan perjalanan kaki dari Tosari ke Ngadiwono beberapa kali sehari: ia akan segera menjadi setara dengan pemburu chamois, meskipun hal itu lebih mudah baginya daripada yang terakhir berkat jalan yang sangat bagus.
Hotel Tengger, yang fondasinya diletakkan pada tahun 1884 oleh pemilik dan pengelola saat ini, J. Elfferich, terletak indah di dataran tinggi dan dikelilingi pegunungan. “Akomodasi yang paling menyenangkan dan menyehatkan di Tengger,” yang sepenuhnya terbuka karena terletak di dataran tinggi yang terdiri dari 25 bangunan, memberikan kesan yang mengejutkan: cahaya dan udara di mana-mana. Di sebelah bangunan utama, di tingkat yang sedikit lebih rendah, terdapat paviliun dan ruang rekreasi — dengan piano dan biliar — yang mengelilingi lapangan olahraga yang luas dan datar, di mana beberapa hamparan bunga hortensia dan azalea yang sangat indah memberikan variasi, tetapi selain itu ada banyak ruang untuk bermain tenis atau berlatih olahraga lainnya. Selain itu, seorang dokter, Tn. J. Schulein, bekerja di hotel tersebut, sama seperti di sanatorium Tosari. Perpustakaan dan lapangan tembak juga tersedia. Semua kamar dibangun dengan bagian depan menghadap ke utara; berkat pegunungan di sekitarnya, tidak ada masalah dengan angin timur-selatan dan barat. Di sekitarnya, terdapat jalur pejalan kaki horizontal yang cukup panjang: melalui medan yang tidak rata, seseorang dapat mencapai kebun kopi pemerintah di dekatnya.
Di lereng gunung di sisi timur, wisatawan akan terkejut melihat kawanan ternak sedang merumput, sebagian merupakan jenis ternak Belanda; Tn. Elfferich telah mengabdikan dirinya untuk pengembangbiakan dan dapat menunjukkan spesimen yang bagus. Ia juga menyiapkan mentega dengan kualitas yang sangat baik: meja sarapannya telah memperoleh reputasi tertentu, yang memang pantas: jarang sekali kami makan siang dengan cita rasa seperti di Air Health Resort milik Tn. Elfferich, 6050 kaki di atas permukaan laut.
Tuan Elfferich juga berhasil membudidayakan sayur-sayuran: kebun mawarnya, yang di dalamnya terdapat sekitar 600 varietas, hampir mengingatkan kita pada kebun terkenal Sjiras — yang sama terlindungnya dengan Ngadiwono. Dan siapa pun yang ingin melihat hutan purba di Tengger cukup pergi ke Klettak Pass, di sana alam memperlihatkan dirinya dalam kekayaan yang luar biasa.
Tengger Air Spa dapat dicapai dari Pasoeroean, Lawang, Malang, dan Probolinggo dalam waktu yang hampir sama, yakni enam hingga tujuh jam. Dari Pasoeroean rutenya melewati Pasrepan, Poespo dan Tosari; dari Lawang melalui Poerwodadi dan Nongkodjadar; dari Malang lewat Djabong dan Nongkodjadjar, dan dari Probolinggo lewat Soekapoera, Ngadisari dan Laut Pasir.
Dua ribu kaki di bawah Hotel Tenger Health Resort terletak PUSAT KESEHATAN NONGKODJADJAR.
Di pegunungan tinggi suhunya bervariasi antara -42 dan 70 derajat Fahrenheit, di sini suhu minimum dapat diasumsikan pada 55 derajat, sedangkan suhu maksimum hampir sama. Dr. J. H. V. Kohlbrugge-lah yang menarik perhatian pemilik, Tn. A. Weyrich, ke lokasi yang cocok sekitar 6 tahun yang lalu. Di masa lampau terdapat sebuah pasangerahan di Nongkodjadjar, sebagaimana kita temukan dalam buku Perjalanan Melintasi Pegunungan Tengger karya P. Heering (Gids, 1875, IIV. hal. 127). Dikatakan bahwa itu adalah bangunan yang luas, dibangun dari kayu, dengan enam ruangan dan dilengkapi perabotan lengkap. Letaknya di lahan terbuka, yang menawarkan pemandangan hutan dan pegunungan tanpa halangan di hampir semua sisi. “Tempat yang sangat indah,” Heering bersaksi, “di wilayah yang indah di mana panas tidak mengganggu di jam berapa pun sepanjang hari.”
Di dekat pasanggrahan yang sekarang berada di dataran tinggi terbuka, hotel masa kini dibangun: dibuka pada tahun 1898. Pada awalnya jumlah pengunjung masih sedikit, namun lama-kelamaan membaik berkat iklim yang menyenangkan dan perlakuan yang baik. Sehubungan dengan hal ini, hotel ini secara bertahap diperluas; dan pada awalnya penduduk sekitar sama sekali tidak tertarik dia bahkan menolak untuk memberikan jasanya, tapi segera menjadi jelas baginya bahwa pria kulit putih itu bermaksud baik padanya dan bahwa guldennya terdengar bagus bagi mereka,
Hotel saat ini memiliki 20 kamar tamu yang bagus: terdiri dari bangunan utama, galeri bagian dalam yang juga merupakan ruang rekreasi, dengan piano, meja baca, dll. Di sebelah kanan bangunan utama, terdapat paviliun kayu dan di sebelah kirinya terdapat paviliun yang terbuat dari batu apung; keseluruhannya memiliki galeri tertutup melingkar, di mana orang dapat “berjalan mondar-mandir” dalam cuaca hujan. Sebagai fitur khusus perlu dicatat bahwa air mandi () diangkat dari jurang oleh ram hidrolik. ( Kami telah mencatat sebelumnya bahwa di Tengger curah hujannya kecil dan karena itu airnya langka. Sulit untuk menentukan sejauh mana kekurangan air menjadi penyebab hal ini. Menurut teori terbaru pengaruhnya akan kecil. Orang kadang-kadang mencoba menjelaskan kelangkaan air di Tengger dengan adanya lapisan tanah dan abu yang tebal pada batuan trachyte asli, yang hasilnya adalah air hujan mengalir ke dataran dan di sana membentuk, antara lain, Blauwwater. Kami biarkan teori ini apa adanya. Penulis lain telah membuat pernyataan bahwa sumber-sumber di Teogger akan diblokir oleh material letusan Bromo.
Sementara itu, pengurangan curah hujan telah diamati secara empiris. Di masa lalu, terdapat banyak perusahaan kina di Tengger, namun sebagian terpaksa ditinggalkan karena iklim menjadi terlalu kering. Saat ini, hanya beberapa kebun kina yang tersisa di pegunungan.
Hotel ini berlokasi strategis, dekat dengan hutan. Di sini pun, hamparan bunga yang indah dengan bunga-bunga yang berkembang indah, terutama mawar dan dahlia, di sekitarnya dengan bukit-bukit hijau subur dan di kejauhan sepanjang langit tampak profil Gunung Kawi dan Ardjoeno. Dataran Pasoeroean dan Surabaya dengan permukaan laut terlihat di beberapa titik di sisi utara. Di daerah tersebut terdapat banyak sekali jalan bergelombang dan jalan setapak: kebun kopi yang telah disebutkan memamerkan kehijauan mengilapnya; pohon ek liar dan pohon mirip jeruk nipis merusak Eropa; air terjun setinggi sekitar 25 meter di dekatnya mengalirkan buih di tengah rimbunnya pepohonan hijau. Kebun kina di daerah tersebut dulunya dikelola oleh Tuan P. Ottolander, yang disebutkan oleh Tuan J. Kreemer dalam bukunya Empat Belas Hari di Tengger. Saat ini, perhatian lebih banyak diberikan pada budidaya sayuran; di sisi Tengger ini ditemukan pembibitan milik Tuan Vreede dan Mousset; yang terakhir berfokus secara khusus pada budidaya bunga. Contoh ini mendorong masyarakat untuk melakukan hal yang sama: mereka terutama bekerja pada kubis dan kentang.
Nongkodjadjar dapat dicapai dari Lawang: pertama dapat menempuh 3 kutub dengan kereta, ke Poerwodadi; kemudian seseorang harus menunggang kuda dan mencapai tempat tersebut setelah berkuda selama tiga jam.
Demi kelengkapan, kami juga ingin menyebutkan Hotel Saal sebagai penginapan lain di Tengger: dekat Poespo di lokasi yang indah, dan penginapan di Soekapoera di Proboliggoschen Tengger. (* Fotografer ternama di Surabaya, Bapak Kurdjian, yang tahun lalu memuaskan banyak orang dengan foto-fotonya tentang daerah-daerah di sekitar Kloet, tahun ini telah mengambil gambar hampir semua tempat indah di den Tengger, dan juga festival Bromo. Agaknya, Bapak Kurdjian akan memamerkan foto-foto itu di studionya.)
Di sini kami akhiri uraian kami tentang Tengger yang elok, kawasan pegunungan paling mengagumkan yang dapat ditunjukkan di muka bumi ini: di mana di sekitar kawah gunung berapi yang sangat besar dan tinggi dengan padang pasir dalam bentuk mini dan Bromo yang tangguh, selalu aktif, dan sakral, hiduplah masyarakat pegunungan yang telah melestarikan hakikat kehidupan Jawa kuno yang terkubur selama berabad-abad, hingga hari ini; di mana alam menunjukkan keindahan yang tak tertandingi, dan keanehan di saat yang sama; di mana gumpalan awan lebar menjuntai di atas punggung gunung yang berkelok-kelok, hingga sinar matahari menggulungnya dan menariknya ke langit — namun ke dalam dunia yang tidak nyata, kehidupan Barat modern telah menembusnya dengan hampir tanpa usaha: enam ribu kaki di atas pantai Jawa!
Penulis Artikel : M. VAN GEUNS.
Sumber : Serial Artikel dari Soerabaijasch handelsblad, 11-04-1902 s/d 12-05-1902
Disclaimer : Dengan sumber utama yang berbahasa Belanda, kendala utama adalah menterjemahkan dalam “bahasa” yang baik dan benar. Alat penterjemah utama adalah “Google Translate” atau penterjemah lain, dimana tidak bisa kita andalkan 100%. Tidak menutup kemungkinan terjadi transfer data/huruf yang salah, atau berbeda arti dari makna sebenarnya. Untuk hal-hal yang meragukan, silahkan merujuk kepada dokumen dan bahasa aslinya.
Postingan Terkait :
Tengger dan Suku Tengger (Kata Pengantar)