Bumi Hangus Dalam Prakteknya.
Selama dua hari, pasukan Angkatan Darat dan brigade Marinir bekerja untuk membersihkan bentang jalan terakhir. Yaitu antara Surabaya dan Malang dan memulihkan ketertiban di kota keempat di Jawa. Sayangnya, tujuan yang terakhir ini hanya dapat dicapai sebagian. Karena yang mereka temukan adalah kekacauan, sebuah contoh kehancuran dan reruntuhan yang telah ditinggalkan. Perlu ditekankan bahwa hampir tidak ada penghancuran yang bersifat militer (strategis). Tetapi jelas ditujukan untuk menghancurkan dan merampok semua yang berbau Eropa. Bahkan, titik-titik yang memiliki nilai strategis hampir semuanya masih utuh. Lalu lintas dari dan ke Malang akan segera dapat dipulihkan. Tetapi “Kota Bunga” di masa lalu itu, sekarang sejauh menyangkut bagian Eropa-nya, adalah tinggal reruntuhan.
Penting juga untuk dijelaskan, bahwa kehancuran ini telah terjadi seminggu sebelumnya. Bahwa selama hari-hari terakhir ini telah terjadi periode tanpa pemerintahan sama sekali. Di mana para perampok  memiliki kebebasan, dan bahwa kehancuran yang diduga sebelumnya dilakukan oleh pasukan yang mundur. Tetapi ternyata di bawah kepemimpinan organisasi politik-ekstrimis K.R.I.S.(=Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) Yang menurut komunikasi dengan penduduk yang bisa dipercaya, masih terlibat dalam pertempuran dengan pasukan T.R.I. reguler.
Malang bisa dikatakan harus membayar mahal, karena tidak dilakukan intervensi setahun yang lalu. Kota ini mungkin bisa disebut sebagai “Rotterdam-nya India“.
Pendudukan Malang telah lama dinantikan. Seharusnya pada musim panas 1946, ketika brigade Marinir dengan sumber daya modernnya harus terus beroperasi di sekitar Surabaya. Hal itu ternyata hanya berita “angin lalu“. Ada pembicaraan tentang hal itu pada bulan Januari tahun ini, ketika jalan dari Surabaya ke selatan diperpanjang hingga ke Porong. Pada saat pendudukan daerah Mojokerto pada bulan Maret. Koresponden Amerika yang menyaksikan tindakan di sini tidak bisa percaya, bahwa Marinir tidak segera melangkah (menyerbu) ke Malang.
Dalam operasi militer yang sedang berlangsung, tujuan pertama brigade Marinir adalah pendudukan secara mendadak di Oosthoek Jawa. Di daerah Probolinggo, Jember dan Banyuwangi. Karena aksi kejutan ini, Oosthoek terhindar dari kehancuran seperti di daerah Malang. Pada saat yang sama dengan aksi yang luas ini, bagaimanapun sebuah gerakan oleh Marinir ke arah selatan juga terjadi. Namun, di luar tujuan yang telah ditetapkan, di kota kecil Purwosari, di persimpangan tiga jalan Surabaya-Pasuruan-Máláng. Marinir juga berhasil merebut Lawang, 17 km dari Malang, secara mengejutkan selama dua hari pertama. Perlu diingat bahwa sejak bulan Januari, pasukan Republik telah memblokir dan merusak jalan-jalan di daerah ini dengan segala cara yang memungkinkan. Sehingga gerak maju ke selatan jauh lebih berat daripada sebelumnya.
Gerakan maju ke selatan dilakukan dengan bantuan tank-tank berat Sherman milik Marinir dan traktor amfibi. Penggunaan yang terakhir ini untuk operasi darat sebenarnya merupakan hal baru. Yang bahkan hampir tidak pernah digunakan oleh Amerika dalam perang terakhir, terutama dalam jarak yang begitu jauh. Namun di daerah ini, menghadapi musuh yang hanya memiliki sedikit senjata berat, mereka menjadi sangat berguna. Mereka memberikan perlindungan penting bagi pasukan terhadap tembakan. Dengan persenjataan tiga mitrailleur, mereka sebenarnya adalah sarang senapan mesin yang bisa berpindah-pindah. Dapat diposisikan di titik-titik strategis di sekitar lokasi yang baru saja diduduki, memberikan keamanan yang cepat dan pasti. Di Lawang, kota kecil di perbukitan sebelah timur Arjuno, mereka mampu melakukan pekerjaan ini dengan sangat baik.
Mendengar berita pendudukan Lawang pada tanggal 22 Juli (1947), orang-orang di Malang rupanya “mata-klap” (mata gelap). Rakyat jelata yang dipimpin oleh para penghasut politik, mendapat kesempatan seperti yang terjadi di Surabaya pada musim gugur 1945. Namun kali ini bedanya, tidak ada orang Eropa yang tersisa di kota itu untuk dibunuh. Sehingga mereka harus puas dengan menghancurkan harta benda mereka. Menurut informasi yang kami terima, K.R.I.S. di Malang ini sebagian besar terdiri dari sekelompok orang Manado yang revolusioner. Yang telah berulang kali membuat dirinya dikenal melalui praktik-praktik penghasutan sebelum perang 1942.
Selama seminggu, mereka memiliki waktu untuk melakukan semua penghancuran yang mereka inginkan. Membiarkan rakyat jelata bebas menjarah apa yang tersisa di rumah-rumah dan toko-toko. Pemerintah republik di kota itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan melarikan diri. T.R.I. tampaknya pergi ke arah selatan, setelah mendengar berita pendudukan Lawang. Tetapi ketika menjadi jelas bahwa gerak maju pasukan Belanda belum berlanjut, mereka kembali. Dan dengan demikian terlibat dalam pertempuran dengan gerombolan-gerombolan bandit di Malang.
Setelah mengkonsolidasikan berbagai titik pendudukan di selatan Surabaya. Komandan Divisi A memberikan perintah pada tanggal 30 Juli (1947) untuk melanjutkan gerak maju dan menduduki Malang. Hal ini dilakukan oleh pasukan gabungan antara Angkatan Darat dan Marinir. Beberapa hari sebelumnya Marinir telah berada di Singosari, di tengah-tengah antara Malang dan Lawang. Membebaskan sekitar 500 warga China, yang telah diambil dari Lawang oleh T.R.I. dan dipenjarakan di sini dalam semacam kamp konsentrasi. Pada hari-hari intervensi ini, gerombolan ekstremis yang menduduki pintu masuk ke Malang, berhasil menghancurkan desa Singosari, di mana banyak pensiunan tinggal. Mereka juga meledakkan jembatan-jembatan yang terletak di jalan utama menuju Malang. Akibatnya, kemajuan selama 10 kilometer terakhir, secara alami disertai dengan banyak hambatan. Namun meskipun kota itu sekarang dapat dicapai dengan cepat, kota itu tidak dapat diselamatkan, seperti yang disebutkan di atas.
Rabu pagi itu pukul setengah delapan, Marinir dan tentara berdiri di pintu masuk kota Malang. Didahului oleh tank-tank dan traktor-traktor amfibi, mereka memasuki jalan-jalan. Perlawanan yang terjadi hanya sedikit dan terbatas pada penembak jitu yang tersebar di sana-sini dilengkapi dengan senapan mesin. Dapat dibungkam oleh pasukan kami dalam waktu singkat. Dan pada pukul sepuluh malam, bisa dibilang kota yang sudah sepi itu berada di tangan kami.
Kami telah mengatakan di awal, bahwa hampir semua hal (yang berbau) Eropa memberikan gambaran kehancuran. Bagi mereka yang mengenal Malang di masa lalu, kami akan memberikan beberapa catatan tambahan di sini. Kajoe Tangan, pusat perbelanjaan utama di Eropa, hancur lebur; bisnis-bisnis besar seperti Onderling Belang dan Toko Oemoem ludes terbakar. Di Coen Square (alun-alun bunder), balai kota, gedung sekolah H.B.S. dan Kediaman Kolonel, hancur total. Alun-Alun memberikan gambaran yang kurang lebih sama : Kantor Gubernur, Rumah Residen, bioskop modern yang besar, semuanya hancur menjadi abu. Satu-satunya yang selamat dari kehancuran adalah Katedral dan Gereja Protestan. Jalan raya Idjen juga mengalami banyak kehancuran. Hotel Splendid yang terkenal juga rusak parah, pembangkit listrik hancur, barak Marinir yang baru juga hilang. Api berkobar di stasiun, juga di gudang-gudang di seberangnya, tetapi emplacement kereta api dengan peronnya tampak utuh.
Hal yang sama juga dialami oleh para Suster Ursulinen di biara, yang memiliki sekolah di pintu masuk kota Malang dekat Blimbing. Mereka tidak diganggu sampai sehari sebelum pendudukan. Pada malam hari, seorang pria datang dan mengatakan bahwa bangunan itu akan dibakar. Para suster mundur ke belakang, di mana kapel dan biara berada; sementara itu, pelaku membakar gedung sekolah dengan bensin dan kemudian menghilang. Setelah malam yang menakutkan, di mana seluruh bangunan sekolah terbakar, mereka ditemukan tanpa cedera oleh pasukan kami di pagi hari.
Dalam perjalanan keliling kota, kami berbicara dengan tuan Hubenet, mantan Ass. Residen Malang, yang baru saja kembali ke Surabaya dari cuti di Belanda beberapa hari sebelumnya dan berkesempatan memasuki kota bersama Kolonel V. D. Meulen, Komandan Brigade X. Kesan pertamanya, seperti yang mungkin dimiliki oleh orang awam ketika memasuki sebuah kota yang hancur adalah : “Kota ini tidak terlalu buruk“. Di akhir perjalanan, ia bercerita kepada kami : “Ternyata jauh lebih buruk dari yang saya kira“.
Menyusul banyaknya laporan mengenai ekses yang dilakukan oleh kaum Republik terhadap warga China di tempat-tempat lain, ada alasan untuk menyebutkan bahwa menurut data awal, komunitas China yang besar di Malang hampir tidak terluka. Kami juga tidak menemukan banyak kehancuran khusus di kawasan China. Di Kajoe Tangan, kami bertemu dengan seorang pria Prancis, yang memiliki sebuah toko pangkas rambut di sana. Dia berkata, “Saya satu-satunya orang laki-laki Eropa di Malang“.
Begitulah Malang, “Kota Kembang“, pada akhir masa pemerintahan teror. Ketika kami meninggalkan kota, kepulan asap hitam dari pabrik kulit yang terbakar membumbung tinggi sebagai tanda takdirnya.
Diterjemahkan dari tulisan : Mayor D. Koekebakker
Sumber :
www.archieven.nl – Buku harian dengan kliping koran dari Letnan Dua (KNIL) P.E. van Mourik ditugaskan di Batalyon 1 Resimen Infantri 3 (1-3 RI) sebagai bagian dari Brigade V, termasuk pada saat Aksi Polisi Pertama. Periode : 6 Desember 1946 – 31 Maret 1948.