Di tahun 1915, ramai diperdebatkan antara yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati (digantung). Dipicu oleh kasus Gramser Brinkman, terpidana yang lolos dari hukuman gantung, karena tali penggantungnya yang putus. Banyak yang bertanya-tanya, apakah dia akan lolos dari hukuman gantung berikutnya. Namun sebelum eksekusi yang kedua, dia dikabarkan mati gantung diri di penjara (De Preanger-bode, 24-09-1915).

Banyak pertanyaan seperti : bagaimana sebenarnya hukuman gantung dilaksanakan? Bagaimana perilaku terpidana di saat-saat terakhir? Benarkah orang-orang pribumi (Jawa) tetap tenang dan berjalan dengan langkah ringan atau santai, menuju tali jerat yang akan segera membunuhnya. Ada anggapan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak seburuk penjara seumur hidup, dengan kata lain hukumannya kurang memberikan efek jera.

Untuk mengetahui semua ini, mari kita lihat penjelasan dari eksekutornya sendiri, seorang “algojo”. Maka kami memulai wawancara kami dengan seorang algojo dari Jogja.

Ketika membaca kata algojo, wahai para pembaca, janganlah dibayangkan sosok yang kejam dan menyeramkan. Yang di singgasananya yang kejam, orang biasa membayangkan penderitaan para korbannya. Tetapi sesungguhnya sosok algojo ini orang Jawa yang bersih, dengan peci yang lebih bersih lagi, yang dihiasi dengan inisial kerajaan “H. B.“.

Para algojo di Jogja bukanlah orang-orang yang berada pada strata sosial rendah, melainkan para priyayi sejati, setidaknya untuk algojo utama. Sementara di tempat lain orang laki-laki biasa yang melakukan profesi tersebut, namun di sini justru sebaliknya. Dari kalangan pribumi Jawa yang bukan bangsawan, melalui penunjukannya sebagai kepala algojo, naik ke posisi priyayi yang diidam-idamkan dan diistimewakan.

Kami melihat masalah besar di sini. Jika seseorang ingin memberi orang-orang itu pekerjaan harian yang layak, bahkan tidak harus delapan jam kerja sehari. Maka ratusan penduduk pribumi kerajaan dapat digantung sesuai kebutuhan setiap bulannya.

Para algojo terdiri dari :

2 (dua) orang algojo utama, yang berdasarkan “posisi” nya sebagai priyayi, menyandang nama “Lurah Singonegoro” (Singo = singa). Selanjutnya 2 (dua) “Bekel Singonegoro” dan terakhir 7 (tujuh) “Jajar Singonegoro” atau pembantu. Jadi hanya “Lurah Singonegoro” yang merupakan priyayi.

Seperti banyak jabatan tinggi lainnya, prinsip turun temurun juga diterapkan secara ketat di antara para kepala algojo. Jabatan yang sangat didambakan dapat diwariskan dari ayah ke anak. Tak perlu ditanyakan lagi apakah ada peminat terhadap pekerjaan ini, yang mendatangkan penghasilan cukup lumayan dengan kerja (yang dianggap) minimal. Karena akhir-akhir ini tidak terlalu sibuk; tidak banyak yang bisa dilakukan oleh seorang algojo yang ambisius. Orang-orang yang sangat tua dalam profesi ini, mengingat dengan sedih hari-hari yang  lalu, ketika bekerja keras dengan tali gantungan. Kadang-kadang tiga kasus dalam satu hari.

Lagi pula bagi seorang algojo, walau tanpa pekerjaan apapun (tidak ada eksekusi mati), tetap menerima gaji.

Lurah Singonegoro biasanya menerima ƒ 3,50 per bulan ditambah tanah apanage 2 jung. Bekel Singonegoro mendapat ƒ 2,50 ditambah 1 jung, dan Jajar hanya menerima f 3,33.

Saat ini, setelah tanah apanage dihapuskan dan gaji dibayarkan dalam bentuk uang. Para lurah menerima sekitar f 16, bekel f 14, dan jajar hanya f 3,33.

Menurut adat lama, para algojo semuanya tinggal di satu kampung, yaitu di kampung Keparakan, paling selatan kota.

Meskipun situasi keuangan bapak-bapak ini sudah diatur dengan baik, mungkin akan ada beberapa yang ingin memiliki lebih banyak “pekerjaan”. Karena setiap eksekusi ada bonus tambahan. Algojo utama masing-masing menerima ƒ 2,50 per “kepala”, bekel f 1 dan jajar f 0,50. Jumlahnya memang tidak besar, tapi kalau agak sibuk, gajinya masih bisa bertambah cukup banyak. Kematian sesorang adalah bagaikan tambahan “roti” bagi orang lain.

Namun, di sinilah gaji berakhir. Saya sebelumnya telah banyak mendengar, tentang sejumlah uang yang luar biasa, yang masih dapat diperoleh seorang algojo. Dengan memotong tali bekas yang digunakan untuk menjatuhkan hukuman mati, menjadi potongan-potongan kecil. Dan menjual potongan tali tersebut seharga perak putih, kepada orang-orang yang percaya. Bahwa sepotong tali bekas orang yang digantung, bisa membawa keberuntungan, atau dapat berfungsi sebagai jimat melawan pengaruh jahat.

Namun, algojo mengatakan kepada kami, bahwa semua ini tidak masuk akal (setidaknya di Jogja). Ada lebih banyak jimat yang layak di sana, banyak yang lebih “pantes” daripada potongan tali algojo.

Jadi sambil berbincang, kami membahas proses eksekusi sebenarnya, yang ingin kami ketahui lebih banyak. Bagaimana cara kerjanya, apa yang harus dilakukan oleh para algojo, dan bagaimana “seorang manusia” itu cenderung berperilaku. Ketika dia berdiri sendiri, di mana dia akan segera terlempar dari sebuah pintu palka dengan memutar grendel. Ke dalam kegelapan yang tidak diketahui.

Kami masih ingat, bagaimana kami melihat 2 orang penduduk pribumi. Dihukum gantung bersebelahan di Meester Cornelis (Batavia) pada tahun 1897, tetapi kami hanya bisa melihat penampilan terakhirnya. Dan anda tanpa sadar terus berpegang teguh pada cerita-cerita lama. Cerita-cerita yang tidak masuk akal, tentang mereka yang dijatuhi hukuman mati. Yang bertindak begitu berani dan berjalan dengan langkah santai menuju ke panggung tiang gantungan. Seolah-olah sejarah tidak memperdulikan mereka sama sekali.

Ini semua salah — tetapi tentang ini kita lanjutkan nanti.

Dan kemudian “Lurah Singonegoro” memulai ceritanya, dari saat panggung kayu tiang gantungan, yang dinamakan “pancoko” didirikan.

Pancoko selalu berdiri di tengah-tengah dan agak utara dari dua pohon beringing berbentuk bulat di alun-alun. Pemasangan pancoko dilakukan pada malam sebelumnya, namun dilakukan oleh para kuli. Algojo tidak perlu membantu, mereka hanya ada di sana untuk pekerjaan yang lebih “baik”.

Mereka – para algojo – menghabiskan waktu sore dan malam di “bangsal pengurakan“. Semacam pos jaga, dekat pintu masuk utara alun-alun, di sebelah barat.

Alun-alun lor di Jogja, tempat eksekusi hukuman gantung dilaksanakan.
Pendopo Pangurakan di utara alun-alun lor Jogja tahun 2022. Dimana dulu disebut “bangsal Pengurakan” tempat para algojo “melek-melek” di malam sebelum eksekusi.

Disana para bapak-bapak duduk, dan mereka mengadakan slametan sederhana. Untuk memberikan kekuatan pada diri mereka sendiri, untuk pekerjaan yang akan datang. Suatu pesta makan malam yang terdiri dari orang-orang yang sopan dan berpikiran benar. Tidak begitu berpengaruh bagi perut umat Islam yang setia, tapi lebih pada perut jiwa. Jadi, tidak ada yang menandingi slametan. Itu adalah bagian yang tidak boleh dilewatkan, yang mencakup semua urusan jiwa.

Malam itu dihabiskan dengan terjaga, sebagaimana mestinya. Mereka tetap “melèk-melèk” seperti pada acara-acara khidmat lainnya, dan mempersingkat waktu dengan menghisap rokok. Sesekali berkomentar, tetapi kebanyakan hanya saling memandang, sebagai orang-orang yang saling memahami dan menghargai satu sama lain. Tidak membutuhkan bahasa untuk menunjukkan apa yang ada di pikiran mereka..

Akhirnya pagi tiba. Pada pukul 7 semua penguasa pribumi sudah hadir. Administrator pemerintahan, seluruh Nayoko, dan mereka yang harus berada di sana, bersama para pejabat Eropa.

Kemudian Lurah Singonegoro pergi bersama dua orang algojo ke penjara. Menuju sel pria yang kelak akan menjadi pemeran utama drama tersebut.

Lurah Singonegoro, menurut adat zaman dahulu, menyapa terpidana : “Pesakitan!”

Kulo!” katanya.

Apa kowe wis rèsik?” (Apakah kamu sudah bersih?) Itu adalah perintah Negara, atas nama Sri Paduka Kanjeng Sultan, agar kamu berpakaian sekarang.”

Dan kemudian para algojo mendandaninya. Tutup kepala putih, baju putih, dan celana panjang putih, semuanya dalam satu stel.

Terpidana selalu tunduk dengan sukarela, tidak pernah ada perlawanan. Orang Jawa selalu rela, meski harus mati. Dan bukankah Sultan yang memerintahkannya?

Namun meski tidak ada ekspresi keputus-asaan yang liar, yang melekat pada kehidupan dan berjuang dalam perlawanan yang dahsyat. Karena hidup adalah yang tertinggi, hampir selalu ada ekspresi kesedihan yang mendalam. Banyak yang menangis dan terisak-isak saat berganti pakaian. Dan kemudian mereka memohon :

“Ya, saya berhutang banyak kepada orang Negari. Aku memang orang jahat, tapi kasihanilah aku, aku masih ingin hidup.”

Maka mereka memohon kepada Lurah Singonegoro, dan otak mereka sulit menerima kenyataan. Bahwa Lurah yang sopan dan formal, yang begitu tenang dalam pekerjaannya, kini memang akan mengambil nyawa mereka. Dan mereka melihat sekeliling, seolah-olah sesuatu harus terjadi yang secara tiba-tiba akan mengakhiri mimpi buruk mengerikan itu.

Tapi apa yang bisa dilakukan Lurah? Dia melanjutkan pekerjaannya. Setelah berpakaian, tangan diikat. Begitulah tuan.

Dan algojo kemudian memegang tangan dan merentangkannya. Dengan bagian dalam saling bersentuhan, jari kelingking menempel pada tubuh bagian bawah, ibu jari ke depan.

Seutas tali tipis kemudian dililitkan pada ibu jari sehingga diikat menjadi satu. Kemudian, dengan tali tersendiri,mengikat kedua jari kelingking agar tangan tidak bisa terbuka.

Setelah selesai, mengambil tali panjang “lima elo” (1 elo = 0.688 m). Dan mengikat lagi di ibu jari, melewatkan ujung tali di antara kedua kaki ke belakang. Lalu dilingkarkan di badan dan lengan. Jadi dia terikat dengan baik. Selain itu tidak ada lagi soal perlawanan, sebagian besar dari mereka sudah sangat terpengaruh, kemauan sudah lumpuh, tenaga sudah hilang.

Malam sebelumnya mereka masih ceria. Ketika penghulu datang untuk merendahkan jiwa mereka yang berdosa kepada Gusti Allah. Mereka berdoa dengan khusyuk dan serius. Ada pula yang mandi sampai 7 (tujuh) kali pada malam itu, karena itulah “igama suci”.

Pada malam hari, makanan juga diperbolehkan senilai f 10. Dan orang-orang itu minum kopi dengan susu, limun, makan sesuatu yang manis dan menyalakan cerutu dengan pita lebar. Atau seseorang ingin melihat seorang gadis penari sekali lagi, yang kemudian dibawa masuk dan diperbolehkan untuk menampilkan dirinya sejenak.

Benarkah? Itu semua dalam urut-urutan yang baik, dan tentu saja seseorang dapat bersikap sopan dan penuh perhatian. Kepada seseorang yang tenggorokannya akan tercekik keesokan paginya.

Namun seperti yang telah disebutkan, keesokan paginya saat pengikatan dimulai, hampir semua orang kehilangan semangat. Kemudian seseorang melihat dalam mata batinnya, pancoko dengan tiang-tiang sampingnya terangkat seperti lengan, di atasnya terdapat palang, di atasnya…

Dan kemudian orang-orang itu, tentu tidak akan lagi berpikir tentang gadis penari, atau tentang limun, bahkan tentang cerutu dengan pita…

Dan ketika semua pengikatan sudah beres, mereka berjalan keluar, menuju ke pancoko, panggung tiang gantungan.

Mitos lainnya. Selalu terdengar bahwa setiap narapidana tetap berani dan kuat, dengan ketenangan Timur dan penghinaan terhadap kematian. Algojo kami memberi tahu, bahwa banyak orang harus didukung sedikit demi sedikit ketika mereka berjalan. Kematian yang mendekat telah menyentuh otak dengan ujung bayangan, yang akan segera membungkus segalanya dalam kain hitamnya.

Namun ada satu orang yang tetap tenang dan berani dalam perjalanan menuju pancoko, dan berjalan dengan rokok di mulutnya. Karena tangannya diikat, algojo membantunya memasukkan atau mengeluarkan rokok dari mulutnya.

Yang dilakukan oleh hampir semuanya, adalah berdoa dengan khusyuk sepanjang perjalanan. Kemudian terdengar suara terus menerus:

Gusti Allah! Senajan kulo dipun punduto pejah gesang, kulo mugi paringono iman padang.

Artinya kira-kira : “Gusti Allah, walaupun saya diambil ajalnya ketika masih hidup, saya semoga Engkau berikan iman yang jernih.”

Demikianlah doanya, panggung tiang gantungan tercapai. Namun sebelum dipanjat, pengumuman putusan harus didengar terlebih dahulu oleh penguasa yang bersangkutan, yaitu jaksa. Setelah pembacaan selesai, terpidana biasanya menjawab dengan “Inggih sendiko“, lalu dilanjutkan dengan tindakan terakhir.

Sedangkan Lurah Singonegoro sudah memasang pintu palka; paruhnya ada di belakangnya, dekat pegangan, yang grendelnya dapat diputar menjatuhkan pintu palka.

Pembantu lainnya berdiri di samping panggung, di lantai dasar, 3 orang di kiri dan 2 orang di kanan. Ini untuk membantu yang sering kali diperlukan, karena sebagian besar memerlukan bantuan untuk naik ke panggung. Bahkan salah satu dari mereka, harus digendong sepenuhnya ke atas oleh para jajar. Yang harus menjaganya agar tetap berdiri di atas pintu palka, di kedua sisi tubuh, hingga tali dipasang di leher.

Apabila terpidana sedang berdiri di atas pintu palka (disebut “pesatan”). Lurah Singonegoro memasangkan tali yang tidak boleh terlalu kencang pada lehernya. Dan simpulnya berada di bagian belakang leher, sehingga tali tersebut dapat ditarik ketika berada di belakang leher. Apabila korban jatuh, akan mengikat lebih erat, menyempitkan tenggorokan.

Dan Lurah Singonègoro melakukan semua ini, dengan ketangkasan yang sopan secara berurutan.

Ada narapidana yang mengatakan sesuatu kepada algojo di tiang gantungan.

Salah satu dari mereka bergumam dalam bahasa Jawa tinggi. Sebagai orang yang tahu sopan santun dan pernah mengenyam pendidikan – jadi tidak “kurang ajar” – kepada algojo :

Kulo badé matur dateng konco Lurah Singonegoro. Saguhipun anak rayat kulo sami boten nedo, boten saget nyambut damel, kulo nyumanggahaken dateng negari.”

Artinya, karena keluarganya tidak mempunyai makanan lagi karena kematiannya dan tidak mampu bekerja, maka dia menyerahkan keluarganya tersebut kepada negara.

Dan tentu saja Lurah Singonegoro membalasnya dengan sama sopannya : “Inggih”.

Yang lain, orang yang sama yang berperilaku begitu berani dalam perjalanan menuju panggung. Dan berjalan dengan rokok di mulutnya, bertanya kepada algojo, ketika tali sudah melingkari lehernya :

“Jika aku segera mati, maukah kamu memberikan jenazahku kepada keluargaku?” Tidak ada sedikit pun penyimpangan dalam nada suaranya.

Dan lagi sebagai balasannya : ”Inggih.”

Kemudian ditutup mukanya dengan kain, agar nantinya pada saat digantung tidak terlihat muka yang mengejang dan lidah yang menjulur.

Perintahnya sebagai berikut : “Hukum!

Jaksa yang berdiri di depan panggung mengatakan :

Doso-doso pekeniro déwé, meniro kakersaaken ngukum gantung pekeniro, dumugi sakpejah, trang dawuh timbalan dalem hingkang Sinuwun hing Ngajogjokarto Hadiningrat.

Atau singkatnya dan diterjemahkan secara longgar:

“ Salahmu sendirilah yang menyuruhku melaksanakan hukuman gantung sampai mati, atas perintah Kanjeng Sultan Jokjakarta Hadiningrat.”

Baru saja kata terakhir terucap, ketika Lurah Singonegoro berseru kepada orang yang berada di depan grendel :

P a a a s!” (dari kata: lepas!)

Petugas memutar pegangan grendelnya, “pesatan” (pintu palka) jatuh, dan korban terjatuh dengan bunyi gedebuk, hingga tali tertarik. Kedalaman jatuhnya tergantung pada ukuran tubuh terpidana, dan mungkin sekitar satu hasta.

Terkadang orang yang digantung hidup selama 20 menit lagi. Dalam satu kasus kami diberitahu waktu sekitar setengah jam…

Untuk amannya, dia dibiarkan tergantung di sana, di alun-alun selama beberapa jam.

Cerita populer, yang terus-menerus menyatakan bahwa ada satu atau lebih orang bertugas di bawah panggung. Yang segera setelah jatuhnya pintu palka, dengan kuat menarik kaki terpidana untuk mempercepat proses pencekikan. Itu adalah… omong kosong!

Dengan ini, rahasia dari Lurah Singonegoro telah berakhir.

Kesan kita terhadap hukuman mati berdasarkan cerita para algojo ini?

Hal ini tidak lain karena hukuman mati adalah hukuman yang mengerikan bagi hampir setiap penduduk pribumi. Para pembunuh, yang terbiasa menganggap enteng nyawa manusia dan sering melakukan kejahatan. Sangat ketakutan bahkan sebelum mereka tiba di tiang gantungan, sehingga mereka harus ditopang, bahkan terkadang digendong.

Pengecualian yang jarang terjadi adalah kasus yang kami sebutkan. Tentang pria yang menjaga sikap baik dan tetap normal dalam segala hal hingga diatas pintu palka.

Jadi, hukuman mati memang bertentangan dengan apa yang dikatakan beberapa orang. Merupakan hukuman yang memberikan efek jera… Jika orang banyak di sekitar tiang gantungan, bisa membayangkan apa yang ada dalam pikiran terpidana selama masa sulit itu.

Dan ini sangat diragukan.

Mereka yang dihukum mati tidak dapat menyampaikan pengalaman terakhir mereka kepada orang lain. Jadi hanya dapat diketahui sesaat sebelum terpidana itu dieksekusi. Hal ini dapat dibodohi oleh beberapa narapidana yang naik ke tiang gantungan. Sehingga banyak yang berpikir, bahwa hukuman mati tidak begitu buruk.

Kami tidak ingin ikut campur, dalam perdebatan antara pendukung dan penentang hukuman mati. Dan hanya mengatakan bahwa hukuman mati, memang lebih berat dari semua hukuman yang bisa dibayangkan. Setidaknya yang dikenal oleh sistem peradilan kita, dan oleh karena itu efektif sebagai alat pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan.

Dikutip dan diterjemahkan dari : Op Oude Paden, Zentgraaff, H.C., 1934 dan Bataviaasch Nieuwsblad, edisi 10 & 12 Juli 1915.

Catatan :

Ada 2 (dua) orang tokoh algojo yang dikenal di kraton Jogja. Yaitu Mertolulut dan Singonegoro. Mertolulut diyakini berasal dari kampung Mertolulutan. Sedangkan Singonegoro berasal dari kampung Keparakan. Berdasarkan artikel ini, diduga di era ini (1915), hanya Singonegoro yang bertugas, sedangkan Mertolulut mungkin sudah di non-aktifkan atau sudah “pensiun”. Sosok patung kedua tokoh algojo ini, hingga kini masih terawat dengan baik di lingkungan kraton Jogja.

Patung sosok algojo Mertolulut di lingkungan kraton Jogja. Foto koleksi : Albertus Suprayogi
Patung sosok algojo Singonegoro di lingkungan kraton Jogja. Foto koleksi : Albertus Suprayogi