Banyak yang belum tahu, bahwa sebenarnya dr. Mohamad Saleh berkerabat dekat dengan warga negara Belanda. Kisah ini diterjemahkan dan disadur dari cerita yang ditulis oleh cucu beliau sendiri, “Wendy Saleh”. Berjudul “Hoe ik in Nederland terechtkwam”, artinya “Bagaimana saya berakhir di Belanda”, yang ditulis sekitar tahun 2013. Karena cukup panjang, postingan ini saya bagi dalam beberapa bagian, berikut ini kisahnya :
“WIM HARTMAN”
“Freiherr Wilhelm Friedrich von Hartmann”, berasal dari Jerman Utara, berlayar ke Hindia (Belanda) pada pertengahan 1700-an. Kemungkinan besar berlayar langsung dari Belanda. Apakah dia jadi kambing hitam di keluarga? Karena berkelahi atau masalah wanita? Apakah dia dalam suatu bisnis atau sebagai anggota tentara? Apakah dia terlibat dalam perselisihan agama? Kami tidak tahu.
Salah satu keturunannya adalah kakek Belanda saya, “Wilhelm (Wim) Friedrich Hartman”. Ayah, kakek, kakek buyut, dst., memiliki nama depan yang sama, menikah dengan wanita kulit putih Eropa. Mereka belum pernah ke Belanda dan telah “berakar di Hindia”.
Dia kemudian menikah dengan “Aafje Dekker” (lahir 23.12.1899) dari Amsterdam, berusia enam belas tahun lebih muda darinya. Yang beremigrasi ke Hindia Belanda pada usia tiga belas tahun bersama orang tua, saudara laki-laki dan perempuannya. Karena Wim Hartman sudah meraup untung besar di usia muda dengan perusahaan filmnya, dia mampu berbulan madu selama enam bulan. Dia tidak tertarik dengan Eropa, lebih memilih ke Singapura dan India. Di India, pasangan itu bepergian dengan sirkus Australia dan juga juga naik kereta Gandhi untuk untuk beberapa lama.
11 Maret 1921, putri mereka “Amanda Martha Francisca Hartman” lahir. Dia berambut pirang dan memiliki mata biru cerah.
“MANDA DAN NIES”
Amanda Martha Francisca Hartman, atau “Manda”, begitu dia dipanggil, bertunangan dengan “Werner Schalk”. Seorang pedagang, ketika dia berusia delapan belas tahun. Keluarga Werner sudah lama tinggal di Hindia Belanda, tetapi tetap berkewarganegaraan Jerman. Setelah Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, semua orang Jerman diasingkan.
Pada tanggal 18 Januari 1941, 478 pria Jerman yang tidak berbahaya, termasuk Werner, dinaikkan bersama dan diangkut dengan sedikit makanan dan air . Dengan kapal pasukan Belanda “Van Imhoff” dari Sibolga (Sumatera) ke Bombay (India Britania). Keesokan harinya kapal tersebut dibom oleh pembom Jepang. Kapal itu tidak langsung tenggelam, tetapi rusak berat. Awak kapal Belanda pergi dengan sekoci, meninggalkan tawanan perang mereka di bawah geladak. Dilengkapi dengan sejumlah jarum suntik dan beberapa ampul morfin. Para tahanan berhasil membebaskan diri, tetapi hanya ada satu sekoci. Sebuah kapal Belanda berlayar di kawasan tersebut, namun tidak memberikan pertolongan, sehingga hampir semua tawanan perang tenggelam, termasuk Werner.
“Moehtar Saleh” (lahir 24.09.1917), putra dokter Indonesia dr. Mohamad Saleh (lahir 15.03.1888) dan Emma Naimah Moehsin (1883) dari Probolinggo. Seperti halnya Amanda Hartman, bersekolah di Akademi Olahraga di Surabaya. Moehtar, yang dipanggil “Nies”, karena penampilan dan karakternya yang “Manis” (sweet, cute). Dia menghibur Manda yang kehilangan tunangannya, dan lama kelamaan mereka menjadi sangat sayang dan saling mencintai satu sama lain.
Kado pertama yang Nies berikan kepada Manda adalah satu set pengait (jepit) kelambu berbentuk tanduk dengan fitting perak Jogja. Keluarga Hartman sudah lama tidur tanpa kelambu, tetapi pengaitnya disimpan dengan cermat. Pengait itu sekarang terpajang di etalase barang langka saya.
Selama berabad-abad, pria Belanda, biasanya dari kelas sosial yang lebih rendah, menikah dengan gadis Indonesia, biasanya juga dari latar belakang yang lebih rendah. Tetapi seorang gadis Belanda dari keluarga baik-baik – opa Hartman memiliki lima bioskop di Surabaya – ingin menikah dengan orang Indonesia, meskipun dia juga dari keluarga baik-baik, sangatlah tidak biasa. Mata-mata yang dikirim oleh keluarga untuk menyelidiki calon mertua, kembali dengan laporan yang menguntungkan. Manda dan Nies akhirnya menikah pada akhir tahun 1942. Karena semua mobil harus diperiksa oleh Jepang hari itu, kedua mempelai pergi ke masjid dengan becak, tempat pernikahan dilangsungkan. 5 Februari 1944 (2604 era Jepang), “Saya”, putri sulung mereka, pada pukul 11:11 waktu Nippon, lahir dibantu dokter Kopp di rumah sakit Darmo di Surabaya. Oma Hartman dan dua anaknya yang lain Elly dan Toes sudah diinternir. Elly merangkak di bawah kawat berduri kamp untuk melakukan kunjungan persalinan.
“MASA BERSIAP”
Pada tanggal 20 Mei 1908, “Boedi Oetomo” didirikan, gerakan nasionalis pertama di Hindia Belanda. Opa Saleh (embah eyang) adalah murid STOVIA (Sekolah Pelatihan Dokter India) di Batavia dan segera menjadi anggota dewan. Ia sendiri, istri dan anak – tujuh putra dan dua putri – adalah pejuang gigih kemerdekaan Indonesia.
Setelah dominasi Jepang di Hindia, “Masa Bersiap” dimulai, di mana orang Indonesia berjuang untuk kemerdekaannya dari Belanda. “Datanglah ke kami di Probolinggo bersama Manda dan Wendy”, embah eyang menasihati oma Hartman. “Kalau mereka disana (di Surabaya) benar-benar ingin mencelakaimu, aku tidak bisa membelamu. Tapi Probolinggo adalah kota kecil, dan kau bisa mengandalkanku sebagai dokter yang memiliki otoritas yang cukup untuk melindungimu. Nanti Nies bisa menjaga rumahmu di Surabaya.” Pada akhir tahun 1945 ayah saya membawa ibu mertuanya, putri dan istrinya yang sedang hamil ke “Prob”. Kemudian ia pulang ke rumah mertuanya, Reinierszboulevard 136, setelah perang Djalan Diponegoro 136 (Surabaya).
“PROBOLINGGO”
Rumah di Zeestraat (jalan laut) di Probolinggo, sebelah timur Surabaya, adalah vila “Tempo Doele” abad ke-19 yang mengesankan. Di sebelahnya ada paviliun yang luas, tempat embah eyang praktek dokternya.
Sebuah selokan (got) mengalir melalui taman depan yang luas, dari mana saya bisa memancing kepiting. Yang setelah mencabut kakinya, seperti yang saya lihat dilakukan oleh babu dengan udang. Saya menyatukannya dengan irisan belimbing yang sangat asam di dalam panci dan kompor kecil saya. Saya diajari bahwa saya hanya diperbolehkan berada di sebagian kecil taman depan. Aku mengintip diam-diam di seberang jalan, di mana orang sakit berkemah selama berhari-hari untuk dirawat oleh seorang tuan dokter. Jika saya berani berada di tengah antrian, “anak mas” (sayang) bisa terkena TBC atau penyakit menakutkan lainnya.
Halaman belakang bahkan lebih besar. Para pemuda menerima pelajaran mengendarai sepeda motor dan mengemudi. “Sekian detik dari pohon mangga ke pohon pisang dan sekian detik dari pohon mangga ke pohon belimbing”, kata ayahku.
Pagi-pagi sekali suara “cik-cik” dari cikar yang membawa padi melewati kamar tidur saya. Melati berbau harum dan saya berbaring dengan bahagia di tempat tidur bersama oma Hartman. Sampai sinar matahari pertama menembus daun jendela dan lubang ventilasi di dinding luar.
Di bagian paling belakang kebun ada lantai keramik, tempat padi diolah menjadi beras di bawah pengawasan ibu saya. Padi ditumbuk, ditumpuk di atas tampah besar yang rata, kemudian dilempar dengan tangan sehingga sekamnya terbawa angin. Beras kemudian ditimbang dalam timbangan besar berwarna merah dengan empat roda kuningan. Kemudian dimasukkan ke dalam karung goni dan disimpan di lumbung.
Suatu hari, saat bermain dengan sepupu saya, kaki saya terlindas salah satu roda timbangan yang berat. Aku kaget dan melolong kesakitan. Opa dokter tahu bagaimana menangani anak kecil. Dia mengangkatku ke meja perawatan yang sangat tinggi dan membalut kakiku dengan perban, lagi, dan lagi. Senang, saya melihat bola putih yang terus tumbuh di kaki saya dan langsung lupa menangis. “Kalau dia lapar,” kata embah eyang, “dia akan makan.” Dia terus mengatakan itu, hari demi hari. Saya tidak makan, hanya mengemil “putih putih” – krim kocok – dari kue yang telah diletakkan oleh pasien yang berterima kasih di atas meja besar dan panjang di tangga sebagai pembayaran. Saya menjadi lebih kurus, pucat dan lesu. Akhirnya diputuskan tante Mimi, kakak tertua ayahku, mengajakku ke kesejukan kota pegunungan Malang. Setelah dua bulan saya kembali gemuk, dengan pipi chubby kemerahan. Sejak itu saya terus makan.
Adik laki-laki saya lahir di Prob. Opa Saleh sudah benar-benar membersihkan ruang perawatan, membersihkan alat-alatnya dengan ekstra teliti, menata semuanya, mandi dan mengenakan pakaian bersih. “Sepertinya kamu sedang mengandung anak kerajaan”, kata istrinya menggoda. “Ketika aku harus melahirkan, kamu tidak bekerja sekeras yang kamu lakukan sekarang untuk cucumu!”
Orang tuaku mengira “Robert-Jan” nama yang bagus, tapi nama Belanda tabu karena Masa Bersiap. Karena sepupu Indonesia ada yang bernama “Yanto”, akhirnya dia dinamakan “Robyanto” ; kami memanggilnya Rob (lahir 19.02.1947). Kemudian, di Surabaya, proses yang sama diterapkan dan putra berikutnya diberi nama muslim “Hanafi” (lahir 07.12.1947); kami memanggilnya Hans. Anak perempuan di keluarga Indonesia saya diberi nama Jawa, Sansekerta atau Eropa, makanya saya dipanggil Wendy. Nama yang ditulis secara fonetis dari anak bungsu (lahir 31.03.1949). Seorang putri kulit putih berambut pirang, menyebabkan kebingungan di antara keluarga dan teman di Belanda. Merelyn pasti Merelin, tentu saja pikir mereka.
Rumah di Probolinggo itu menjadi titik temu gerilya melawan Belanda. Para pemuda (pejuang kemerdekaan) masuk dan keluar. Keluarga Belanda diperlakukan dengan sangat hormat. Para pemuda yang sering kali masih muda itu dengan penuh kasih sayang memanggil oma Hartman ‘mammie’. Meski kemudian banyak diantaranya menjadi seorang tokoh Indonesia yang terkenal, mereka tetap dan selalu memanggilnya ‘mammie’.
Namun, ketika ada pertemuan, oma dan ibu Belanda saya akan dengan sopan mundur ke kamar tidur mereka.
Ada ketukan hati-hati di pintu. Ibu saya membukanya. “Bolehkah saya melihat bayinya?” tanya “Sutan Shahrir”, yang kemudian menjadi perdana menteri pertama Indonesia. “Tentu saja Anda bisa”. Setiap kali dia berada di Prob, dia bertanya apakah dia bisa melihat Rob. Apakah dia merindukan keluarganya sendiri, atau apakah dia memiliki anak yang jarang dia temui?
Oma Saleh (embah putri) sangat bisa memaki-maki dan menghujat orang-orang Belanda (Hollanders). Ketika keluarga Belanda menunjukkan kepadanya bahwa mereka juga Belanda, dia mengalihkan perhatian dengan gerakan pergelangan tangan : “Sangat berbeda, kan?”
Suatu hari “Roeslan Abdulgani”, yang kemudian menduduki berbagai jabatan menteri di kabinet-kabinet Indonesia. Diinstruksikan oleh embah putri untuk mengambil beras dari lumbung di pekarangan untuk keluarga Belanda. Mereka mungkin dianggap seperti tanah yang busuk, tetapi mereka tetap harus diberi makan dengan baik.
Keseruan luar biasa di Probolinggo. Ketika Sukarno akan mengunjungi kota itu dan semua orang sangat gembira. Tante Mimi mengajari saya untuk berteriak “Merdeka!” (kebebasan) ; sangat mencemaskan oma Hartman dan ibuku. Tidak ada satu pun yang berkepentingan yang sempat membuat bendera besar merah putih Indonesia, yang akan dipajang dengan bangga. Itu kemudian dijahit dengan menggerutu oleh oma Belanda saya. “Kau tidak bisa mempermalukan keluarga Saleh, kan?”. Keluarga Hartman sangat mencintai keluarga Saleh dan begitu juga sebaliknya.
Ketika hari besar tiba, tante Mimi “meminjam” saya dan bergabung dengan massa yang bersemangat menuju stasiun. Kembali ke rumah, dia melaporkan dengan gembira atas kehormatan keluarga. Sukarno memegang lengan Wendy dan saya berkata : “Dan apa yang dikatakan Wendy? Wendy mengepalkan tangannya, mengangkat lengannya ke udara dan berteriak : Merdeka!”. Sorakan besar terdengar dari penonton. Oma Hartman dan ibuku tidak menghargai tindakanku.
Ayah saya masih menjaga rumah ibu mertuanya di Surabaya. Dia tidak bisa datang ke Probolinggo karena garis demarkasi antara Surabaya dan Probolinggo. Adik laki-laki ayah saya juga tinggal bersama keluarganya di embah eyang dan embah putri. Aku mencintai oom Ali (dr. Alibasah Saleh). Dia juga seorang dokter dan saya bisa mendengar mobilnya datang dari jauh, ketika dia kembali dari kunjungannya. Seperti anak anjing yang bersemangat, saya berlari ke gerbang dan berteriak gembira dalam bahasa Jawa: “Bapa-é Wendy tekô!” (Ayahnya Wendy pulang!). Saya tetap memanggilnya “bapa-é” sampai dia meninggal.
Pada tahun 1947, tiba-tiba tersebar desas-desus bahwa angkutan Palang Merah akan berangkat dari Malang ke Batavia. Dengan rambut pirang ditutup rapat dan berjongkok di bagian bawah mobil, oma Hartman, ibu saya, Rob dan saya dibawa oleh keluarga Indonesia ke Malang. Di mana kami diantar ke belakang pohon palem menjelang malam. Saat hari sudah gelap, kami berjalan ke tempat penampungan. Keesokan harinya saya diangkat ke truk yang sangat tinggi dengan celana monyet (pakaian bermain) saya dengan topi matahari. Dengan kereta goyang tertutup, duduk di atas bangku kayu yang diletakkan memanjang. Kami pergi ke Batavia di bawah penjagaan dengan berbagai perhentian.
Karena stres, ibu saya tidak memiliki ASI yang cukup untuk bayinya. Putus asa, dia pergi mencari sesuatu untuk dimakan di salah satu perhentian. Dia membunyikan bel pintu di sebuah biara, di mana pintunya dibuka dengan lembut setelah beberapa saat. Melalui celah di pintu dia melihat sebuah meja yang terisi penuh tempat para pendeta yang ceria duduk. Setelah dia mengajukan pertanyaan, dan setelah menunggu beberapa saat. Dia diberikan sebuah piring aluminium kecil dengan bubur, yang sebagian sudah dimakan.
Dari Batavia kami berlayar dengan perahu berpenutup kembali ke Surabaya. Akhirnya kembali bersama papa Nies.
“OOM MAMAN”
“Abdoelrachman Saleh” (Maman), kakak tertua ayah saya, bukan hanya seorang dokter dan pilot, tetapi juga seorang olahragawan, musisi, dan juru gambar yang berbakat. Dia juga menyukai lelucon praktis.
Saat bersiap, Maman pernah datang ke rumah orang tua, bercukur rapi, tapi dengan rambut liar (kuncrit) sampai ke pundak. Di lain waktu dia memiliki kepala botak berkilau dengan janggut liar yang besar. Orang tuanya tidak mau berbicara dengannya, sampai tukang cukur setempat mendandaninya. Namun di lain waktu Maman ke beranda belakang dengan menunggang kuda. Menakut-nakuti ibunya yang lumpuh yang terbaring di sana di atas kursi malas.
“Lambert Giebels” menulis dalam ”Soekarno, Nederlandsch onderdaan”. Pada tanggal 23 Agustus 1945, Sukarno memberikan pidato radio kepresidenannya yang pertama. Itu disiarkan di sebuah studio improvisasi yang didirikan oleh spesialis medis dan amatir radio Abdoelrachman Saleh di rumah sakit universitas – sebelah kamar mayat.” Julukan Maman adalah “Karbol”, diambil dari nama disinfektan berbau menyengat yang banyak digunakan di mana-mana.
29 Juli 1947, Abdoelrachman Saleh dan Agustinus Adisutjipto terbang dengan Dakota VT-CLA penuh obat-obatan dari Singapura ke Jogjakarta. Otoritas Inggris dan Belanda telah memberikan izin untuk penerbangan ini. Dekat Jogja pesawat ditembak jatuh oleh P-40 Kitty Hawk Belanda.
Umat Islam dan Nasrani, ditemani para istri mereka, berkabung bersama di sebuah mausoleum di Ngoto dekat Jogja. Tanggal 29 Juli kemudian dinyatakan sebagai Hari Angkatan Udara. Kadet Angkatan Udara, kemudian disebut sebagai “Karbol.” Prof. dr. Abdulrachman Saleh, ditetapkan sebagai seorang pahlawan nasional dan diabadikan namanya sebagai nama bandara di Malang.