Frans van Mourik, Asisten Residen/Walikota Pasuruan, periode September 1941 – April 1942. oto sekitar tahun 1940.

Hilang Misterius

Frans van Mourik adalah Asisten Residen yang sekaligus menjabat sebagai Walikota Pasuruan, yang terakhir di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Baru sekitar bulan April 1940, Frans van Mourik ditempatkan sebagai AR di Ngawi, menggantikan AR sebelumnya, J. H. Haring, yang ditempatkan di Surabaya. Tidak lama di Ngawi, pada bulan September 1941, F. van Mourik dipindah ke Pasuruan. Jabatan terakhir yang dipegangnya hingga pendudukan Jepang.

Sebagaimana orang Eropa dewasa lainnya, beliau dimasukkan kedalam kamp tawanan Jepang. Dengan segala macam kekurangan dan penderitaan, dia masih mampu bertahan hidup, hingga penyerahan Jepang dan Indonesia merdeka. Namun nasib setelah itu berkata lain, dan beliau dikabarkan hilang!

Bertahun-tahun keberadaan beliau dilacak oleh putranya sendiri, Piet van Mourik. Yang menuliskannya dalam artikel di Majalah Moesson, edisi 15 Agustus 1994. Berikut ini kisahnya :

Ketika Jepang menginvasi Jawa pada bulan Maret 1942, Frans van Mourik adalah AR (Asisten Residen) yang juga bertindak sebagai Walikota Pasuruan. Berusia 43 tahun dan pada masa puncak karir dalam hidupnya.

Frans van Mourik, seorang tahanan politik di bawah pemerintahan Jepang selama tiga setengah tahun, menceritakan pengalamannya yang menyedihkan. Tidak diragukan lagi, ini telah menjadi sebuah “dokumen kemanusiaan”.

Mengenai karakternya, saya bisa merujuk pada apa yang dikatakan salah seorang pegawainya di Situbondo. Mantan pejabat administrasi dr. H. H. Dingemans, dalam bukunya “Bij Allah’s Buren”. Hanya menulis satu paragraf tentang dirinya: “Van Mourik, sang AR, bergaul dengan baik dengan orang-orang Madura yang berpikiran bisnis. Para administrator gula mungkin menyebutnya “beretika”. Namun dia – dan saya beruntung mengetahui hal ini – adalah seorang pejabat administrasi yang praktis dan solid. Sangat dihormati karena dorongan dan kreativitasnya, penuh dengan keinginan untuk melakukan observasi pribadi dan pengetahuan tentang negara dan masyarakatnya. Karena kesabarannya yang tak ada habisnya dalam mendidik dewan pejabat Indonesia, tak henti-hentinya terhadap orang-orang yang lemah dan korup, ia segera mendapat kepercayaan dari bupati yang lebih tua dan skeptis, yang terbiasa dengan asisten residen yang lebih tua dan berpenampilan lebih tenang.

Karena keluarga di Belanda tidak mengenal tempat kerja terakhirnya di Pasuruan, dan apa yang terjadi di sana akibat pendudukan Jerman. Bertahun-tahun kemudian, melalui “Majalah Moesson”, melacak pasangan Beudeker, yang selamat dari semua kesengsaraan dan menikmati kehidupan yang layak mereka dapatkan saat usia tua di Amsterdam. Misalnya, kami mengetahui secara langsung, bahwa Frans van Mourik seorang diri menangkap sejumlah orang yang menjarah toko-toko China. Di belakang pasukan Jepang yang maju. Selanjutnya, ia tetap mengemudi dengan panji merah-putih-biru di mobilnya. Karena angkatan laut Jepang mengizinkan pejabat administrasi untuk tetap menjabat untuk sementara waktu. Dan akhirnya, dia sangat puas dengan kenyataan bahwa ketika dia akhirnya ditangkap pada tanggal 22 Maret. Dia meninggalkan brankas yang benar-benar kosong, kecuali selembar prangko bergambar Ratu Wilhelmina. Karena dana terakhir telah dibagikan kepada istri-istri prajurit KNIL yang diinternir…

Frans van Mourik, seperti banyak orang lainnya, diangkut dengan truk terbuka ke penjara “pribumi” Bubutan di Surabaya. Pada bulan Februari 1943 ia dipindahkan ke Benteng Ngawi, nota bene “tempat kerjanya” yang terakhir. Pada bulan Agustus 1943 ke penjara “Eropa” di Sukamiskin, tidak jauh dari Bandung dan terakhir ke Cimahi, Kamp Baros 5. Di sana, di atas lahan seluas 180 kali 200 meter, 3000 tawanan perang menyelesaikan hukuman tiga setengah tahun sebagai interniran.

Dengan kekurangan segalanya; bahkan privasi paling dasar! Tidak ada perabotan apapun, tidak ada buku atau barang cetakan. Satu lampu 25 watt untuk 25 penghuni dan kurang lebih 1250 kalori makanan per hari. Tanpa pesan dari orang yang mereka cintai. Kesulitan dan penghinaan yang paling buruk, tetapi Frans van Mourik berhasil melewatinya. Ia dipukuli tiga kali oleh penjaga karena tidak membungkuk, mengakibatkan luka daging terbuka, tulang rusuk memar, dan ginjal berdarah. Karena kepemilikan beberapa peralatan buatan sendiri. Ia menghabiskan 24 jam tanpa makanan dan air di “kandang anjing”, sebuah kandang dari kawat. Untungnya, buku dan catatannya tidak pernah ditemukan. Berat badannya turun dari 78 menjadi 61 kilogram.

Era Kemerdekaan RI

Namun kemudian, tanpa disangka-sangka, datanglah “kebebasan” pada Agustus 1945. Dalam laporan yang ditulis dalam bahasa Inggris dari 20 Agustus (ulang tahun keempatnya di penjara) hingga 18 September 1945 (karena sensor). Terdiri dari tujuh halaman, ditulis sangat kecil karena kurangnya kertas. Dengan judul “Tahanan Politik di Bawah Jepang selama Tiga Setengah Tahun”, Frans van Mourik memberikan kisah yang menindas tentang pengalamannya. Hal ini tentu saja telah menjadi “dokumen kemanusiaan”, yang dengan senang hati saya sediakan.

Tanggal 31 Agustus 1945, hari ulang tahun Yang Mulia dirayakan secara khidmat dengan pidato yang mengesankan dari ketua Volksraad Jonkman. Pada tanggal 4 September, pesawat Sekutu pertama muncul, membawa pamflet oranye, dan pada tanggal 11 September, obat-obatan dijatuhkan. Hari itu pihak berwenang pertama datang untuk memeriksa kamp tersebut, termasuk Letnan Belanda Van Tuyl van Serooskerken. Dan selama ini mereka harus tinggal di kamp. Segera menjadi jelas bahwa tidak ada otoritas formal sama sekali. Dan tidak ada angkatan bersenjata yang dapat melindungi puluhan ribu orang ini. Dan kenapa tidak ada pesan sama sekali dari tanah air (Belanda)?

Desas-desus tentang deklarasi (Kemerdekaan) Republik Indonesia kini beredar luas, namun tidak ada yang bisa meramalkan konsekuensinya. Padahal pejabat administrasi Frans van Mourik pasti sudah tahu. Apa risiko rencana perjalanannya ke Surabaya pada 7 Oktober 1945, yang kemudian ditunda hingga 8 Oktober. Pasalnya, tanda kehidupan kedua yang diterima keluarga di Belanda darinya adalah surat pos udara tertanggal 5 Oktober. Dia menyebutkannya situasi politik tegang. Kata “bersiap” masih asing baginya, namun ia punya pendapat. “Hanya tindakan yang sabar dan tegas yang mungkin dapat mencegah hal terburuk”.

Dia melaporkan bahwa berat badannya sudah bertambah lima kilogram. Juga dokter mengizinkannya untuk kembali bekerja jika perlu. Dalam surat penting ini, ia mengumumkan alamatnya di Surabaya, Merkusstraat 11 bersama Ny. Renny de Neve, dan untuk telepon dan telegram Apotek Bellem, Bengawanlaan 56. Tanggal keberangkatan 8 Oktober 1945, kemudian dikonfirmasi oleh adik iparnya Emmy Maier. Yang menikah dengan kapten KNIL Mak van Horn dan yang membawanya ke stasiun di Bandung. Dia memohon padanya untuk tidak pergi, karena laporan dari dalam negeri telah mencapai proporsi yang mengkhawatirkan. Namun Frans yakin, sebagai petugas negara dan rakyatnya, ia merasa tidak berada dalam bahaya. Tugas telah memanggilnya dan dia pergi. Bersama hanya satu orang Eropa lainnya, yang namanya tidak pernah kami ketahui, mereka menuju Jogja. Dia tidak pernah sampai di Surabaya. Dan apa yang tidak diduga oleh siapa pun terjadi. Asisten Residen “beretika” Van Mourik, sahabat negara dan rakyat, segera dilaporkan hilang.

Ketidakpastian terjadi selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Kesulitan pada badan resmi semakin meningkat, terlihat dari daftar berikut:

  • 8 Maret 1946 : Kartu biru dari Palang Merah Hindia Belanda di Batavia Dengan pesan “bahwa segala penyelidikan akan dilanjutkan” (tidak ada tanda tangan).
  • 23 Maret 1946 : Surat dari Palang Merah yang sama (ditandatangani oleh Ny. H.C. van Zanten Jut). “Dengan pesan dari manajemen kamp Cimahi 5 bahwa AR Frans van Mourik berangkat ke Bengawanlaan 56 di Surabaya, dan dari sana pasti kabur ke Singapura.”
  • 3 Mei 1946 : Surat dari Palang Merah yang sama di Batavia, (ditandatangani F.J. van Mens). Yang menyatakan “bahwa menurut informasi yang mereka peroleh, tuan Van Mourik memang berangkat ke Surabaya, tetapi tidak sampai di sana.”
  • 19 Agustus 1946 : Dari Palang Merah di Surabaya (ditandatangani A. van Tuyl). Melaporkan “bahwa empat nama Van Mourik muncul dalam arsip mereka, termasuk satu F, lahir 20 Agustus 1898, berangkat ke Surabaya pada 8 Oktober 1945, selanjutnya alamat tidak diketahui.”

Tapi kemudian sesuatu yang istimewa terjadi dan semoga anda sekarang mengerti bahwa saya sedang menulis tentang ayah saya sendiri. Maka anda akan langsung mengetahui alasan saya berada di Nusantara sebagai pegawai OVW (relawan perang) mulai tahun 1945 dan seterusnya. Kebetulan Batalyon yang bertugas bersama saya saat itu adalah 1-3 R.I. (De Watermannen), berada di Cilacap, April 1948. Sekali lagi secara kebetulan saya bertemu dengan Letnan Satu Paulus dari Badan Intelijen. Yang teringat nama Van Mourik dari laporan-laporan baru-baru ini. Ternyata tanggal 24 Maret 1948 dan tentang pembunuhan dua orang Eropa pada tahun 1945.

Ini menggambarkan pembunuhan ayah saya secara rinci. Bahkan namanya, penampilannya dan nama pelakunya. Peristiwa itu terjadi di stasiun Patoman dekat Banjar. Terluka parah akibat tusukan dan meninggal malam itu di rumah sakit karena kehilangan banyak darah, didiagnosis oleh dr. Soewarto. Ia disebut-sebut dimakamkan di tanggul kereta api, namun belum ada kepastian mengenai hal itu. Sebelum saya meninggalkan negara kelahiran saya pada akhir tahun 1950. Dinas pemakaman di markas besar AG melakukan upaya lain untuk menemukan jenazahnya (Juni 1950), tetapi sia-sia.

Laporan Simpang Siur

Masih menjadi misteri bagaimana badan-badan resmi seharusnya berkomunikasi satu sama lain. Meskipun kita memahami keadaan sulit pascaperang, pesan-pesan tersebut salah atau tidak lengkap. Silakan baca sendiri apa saja pesan yang diterima di Belanda:

1. Dari Palang Merah Belanda tanggal 20 April 1948 : Menurut pak Pieters, mantan Asisten Residen di Banjarnegara, pada tahun 1945. Setelah Jepang menyerah di Banjar Patoman (Kabupaten Ciamis), orang-orang yang bertanggung jawab (!) dibunuh. Kasus yang terjadi adalah sebagai berikut : pada masa Bersiap tahun 1945, beberapa tawanan perang (?) Berdarah murni Belanda, harus diangkut dari kamp interniran di Cimahi ke Surabaya. Di Banjar Patoman, rombongan terlapor diusir dari kereta dan kemudian dibawa ke Kawedanan tempat terjadinya kejahatan keji tersebut.

2. Dari Menteri Wilayah Luar Negeri tanggal 28 April 1948 : Skema pensiun sementara “karena diasumsikan bahwa Tuan Van Mourik meninggal saat bertugas, dan mungkin dibawa dari kereta oleh ekstremis pada tanggal 8 Oktober 1945 (tidak ada tempat nama) dan telah hilang sejak saat itu.”

Pesan yang diterima dari Hindia (Belanda) :

3. Dari Badan Penyidikan Kematian (Departemen Kehakiman). 12 Mei 1948. Berita resmi pertama yang benar dari segi tempat dan waktu. Menyatakan bahwa kuburan belum dapat dijangkau, karena situasi tidak aman di wilayah tersebut.

4. Terakhir dari Catatan Sipil di Batavia pada tanggal 7 Juli 1948: Akta kematian yang disahkan oleh hakim pertanahan, Tuan L.M. Holdert.

Sebelum saya meninggalkan negara asal saya (Indonesia) selamanya pada tahun 1950. Saya melakukan upaya terakhir untuk menempatkan ayah saya pada makam kehormatan (ereveld), namun Kantor Makam Markas Besar melaporkan pada tanggal 9 Juni 1950 bahwa pekerjaan investigasi dari tanggal 1 hingga 5 Juni tidak membuahkan hasil. Sesampainya di Belanda, penolakan terus terjadi.

Makam Simbolis

Baru pada tahun 1980 saya memiliki keberanian untuk mengetuk pintu “Oorlogsgravenstichting” (yayasan pengelola makam korban perang). Kuburannya ditelusuri kembali; terletak 200 meter tenggara stasiun, lima meter dari rel kereta api di properti pribadi. Namun kuburan itu kosong. Menurut mantan warga setempat ibu Rati, yang tinggal di seberang kuburan. Jenazahnya digali antara tahun 1945 dan 1950 dan diangkut ke Bandung! Oleh karena itu, pemakaman kembali tidak memungkinkan lagi dan saya serta saudara laki-laki saya menyetujui “pemakaman simbolis” di pemakaman Pandu. Waktu menyembuhkan banyak luka dan kami menghibur diri dengan pemikiran. Bahwa pejabat pemerintah yang taat hukum ini, setidaknya beristirahat di bumi negara dan orang-orang yang ia cintai. Pada tahun 1981 dan 1987 saya sempat mengunjungi makam (kolektif) di Pandu itu.

Oorlogsgravenstichting layak mendapatkan kehormatan karena membuat semua makam ini terlihat bersih dan rapi.

Akhirnya, pada tahun 1981 saya mencoba menominasikan ayah saya untuk menerima salib peringatan perlawanan anumerta berdasarkan apa yang telah dijelaskan. Jawabannya sangat mencengangkan:

“Usulan yang anda ajukan sepenuhnya dalam bidang kemanusiaan dan tidak dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan nyata sesuai dengan Dekrit Kerajaan.”

Selama keputusan ini tidak bisa dicabut, ini akan menjadi halaman paling gelap dalam arsip Hindia (Belanda) saya.

Catatan Tambahan :

Iklan di koran yang memuat “panggilan’ untuk Frans van Mourik yang hilang. Sumber : Algemeen Indisch dagblad, 11-04-1947

Piet van Mourik telah mencari ayahnya (Frans van Mourik) sepanjang hidupnya, sangat terpukul dan melihatnya sebagai halaman tergelap dalam hidupnya. Dia meninggal pada tanggal 22 Maret 2006.

Dua buah iklan yang ditemukan (kemungkinan dibuat oleh Piet van Mourik) dalam usaha menemukan keberadaan ayahnya. Dimuat pada koran Algemeen Indisch dagblad, berupa “panggilan” (oproep), 11-04-1947 dan “mencari informasi” (inlichtingen verzocht), edisi 20-06-1947. Ditulis: Bagi yang dapat memberikan informasi mengenai bapak F. van Mourik, terakhir Asisten Residen Ngawi (seharusnya Asisten Residen Pasuruan). Dimohon untuk menghubungi Residen Priangan. Setelah Jepang menyerah pada tanggal 5 Oktober 1945. Van Mourik meninggalkan Bandung dengan kereta api menuju Surabaya dan kabarnya telah diturunkan dari kereta oleh para ekstremis dalam perjalanan ke Jawa Timur.

Makam kolektif dan “simbolis” Frans van Mourik dapat ditemukan di ereveld Pandu di Bandung.

Makam kolektif dan “simbolis” Frans van Mourik di ereveld Pandu, Bandung.

Postingan Terkait :

Tokoh Dibalik Kesuksesan NIMEF Di Kendalpayak Malang, Berakhir Tragis Di Kamp Interniran Jepang