“Mr. dr. R. Ng. Soebroto” lahir di Pasuruan, 21 Januari 1894. Termasuk dalam “Ahli Hukum” pribumi terkemuka, yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Setelah menyelesaikan Sekolah Hukum di Batavia, dan bertugas di pengadilan selama beberapa tahun, melanjutkan studinya di Belanda. Meraih gelar doktor di sana dan kemudian melanjutkan kariernya di tanah air.
Di awal karirnya, bapak Soebroto menjabat berbagai jabatan di bidang hukum, terakhir sebagai wakil ketua pengadilan di Jember. Pada tahun 1922 ia berangkat ke Belanda dengan tugas belajar, dan pada Juli 1924, ia mengambil gelar masternya dalam Hukum Belanda di Leiden.
Pada bulan September 1925, ia memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi berjudul “Indonesische Sawahverpanding“. Beberapa bulan kemudian, ia mengambil gelar “Master” dalam hukum Belanda dan Hindia. Sejak saat itu ia berhak menyandang nama dan gelar “Mr. dr. R. Ng. Soebroto“. Gelar “Mr.” pada zaman Belanda artinya bukan “Mister” apalagi “Meneer“, melainkan singkatan dari “Meester in de Rechten” atau diterjemahkan “Magister dalam Hukum“.

Kembali ke Hindia Belanda, pak Soebroto menjadi pejabat di Presiden Dewan Kehakiman di Surabaya. Saat itu ia juga bergabung dengan “Klub Studi” dengan “Dr. Soetomo“, bersama dengan tokoh-tokoh gerakan nasionalis lainnya. Kemudian juga bergabung dengan P. B. I. dan Parindra.

Dengan menerima kursi anggota dewan kota Surabaya, pada tahun 1927, Soebroto memusatkan perhatiannya pada bidang desentralisasi. Pada tahun 1929, tahun lahir pemerintahan propinsi Jawa Timur, sampai tahun 1937, jabatannya adalah sebagai “Deputi” atau “Wakil“, di Departemen Administrasi Dalam Negeri. Selama Gubernur Jawa Timur tidak hadir karena sakit di tahun 1937, pak Soebroto cukup lama bertindak sebagai ketua Dewan Propinsi. Pak Soebroto juga menjabat sebagai “Anggota Dewan” di Batavia.
Walikota Pribumi Pertama
Dengan besluit Gubernur Jenderal tanggal 11 Januari 1939, pak Soebroto diangkat menjadi “Walikota Madiun“. Ketika pengangkatan beliau ini menjadi kenyataan, semua surat kabar pribumi menyambut dengan gembira, atas tindakan pemerintah tersebut. Berita ini juga banyak dimuat koran di negeri Belanda. Penunjukan ini adalah penunjukan pertama orang dari kalangan pribumi, pada jabatan yang hanya dipegang oleh orang Belanda. Yang memberi peluang baru bagi warga pribumi, serta memperkecil perbedaan warna kulit dan ras.

Pada 17 Maret 1941, beliau diangkat sebagai Walikota di “Buitenzorg” (sekarang disebut Bogor). Di kota ini, beliau juga orang pribumi pertama yang pernah menjabat sebagai walikota.

Pada masa pendudukan Jepang, beliau tetap walikota Bogor, dibawah Residen Jepang “Eisaku Ichii”. Setelah proklamasi kemerdekaan, perannya belum diketahui. Kabarnya beliau meninggal karena sakit, di kamp interniran republik di Tawangmangu (Solo), sekitar tahun 1947.
Kehidupan pribadi :
Belum diketahui banyak tentang kehidupan pribadi pak Soebroto, terutama saat di Pasuruan. Tetapi yang jelas, beliau banyak bertugas di Jawa Timur. Istri pertamanya adalah putri dari bupati Pasuruan “R. M. A. A. Soegondo“, yang juga berarti berkerabat dengan “Trah Soegondo“, dari keluarga kraton “Mangkunegaran“. Istri pertama ini dikabarkan meninggal di Bandung pada 1923. Kemudian pak Soebroto menikah dengan putri “K. P. H. Hadiwidjojo“, bernama “R. A. Koos Adrinah Sri Soelistyawati, cucu dari “Susuhunan Pakubuwono“. Saat itu pesta pernikahan dilakukan dengan sangat megah di kraton Solo.

Dirangkum dari berbagai sumber di delpher.nl