Junghuhn, atau Franz Wilhelm Junghuhn (26 Oktober 1809 – 24 April 1864)  adalah sosok yang menarik. Ia adalah seorang dokter, tetapi minatnya yang besar adalah pada botani dan geologi serta beberapa subyek lain seperti klimatologi, dll. Ia adalah orang Jerman sejak lahir. Setelah masa mudanya yang penuh petualangan dan pemberontakan, ia berakhir di tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) melalui penjara dan Legiun Asing. Setelah tinggal beberapa hari di depo Harderwijk, ia dikirim ke Jawa sebagai petugas medis, di mana ia langsung terpikat oleh alam tropis. Dia menyibukkan diri dengan mempelajarinya, sering kali mengorbankan tugasnya, yang kadang-kadang diabaikannya. Ia memberi kesan yang luar biasa kepada semua orang yang ditemuinya, termasuk dengan beberapa orang Gubernur Jenderal. Ia diangkat menjadi anggota Komisi Fisika, yang membuatnya bisa melakukan perjalanan jauh dan dalam ke seantero Jawa.

Pengetahuannya tentang alam dan cintanya terhadap alam sungguh mengesankan. Kepekaannya terhadap alam juga terkait erat dengan filsafat hidupnya. Dalam alam dan fenomena-fenomenanya, ia melihat “Wahyu Tuhan yang terus-menerus”. Kenikmatan yang ia alami dalam merenungkan alam baginya sama dengan “Kekeluargaan, simpati yang menyatukan SEMUA makhluk hidup“. Filsafat hidupnya bersifat religius dan etnik. Perasaan Junghuhn tertuju pada hal-hal yang agung dan menakjubkan, pada hakikat alam yang mistis dan bahkan kadang-kadang pada kekejaman dan keganasannya.

Dia meninggal karena abses hati di rumahnya di pegunungan, dikelilingi oleh istrinya, putranya dan temannya, Dokter Groneman. Ketika ia tahu saatnya telah tiba, ia meminta Groneman untuk membuka jendela lebar-lebar: “Saya ingin mengucapkan selamat tinggal kepada gunung-gunung tercinta saya, saya ingin menghirup udara pegunungan sekali lagi”.

Konon semua gunung di Jawa sudah didaki oleh Junghuhn. Nampaknya seperti hal yang tidak mungkin dilakukan, namun dapat kita pelajari lebih lanjut dari catatan-catatan yang ditulisnya. Berikut ini terjemahan salah satu catatannya saat dari Malang mendaki ke Gunung Semeru.

SKETSA KESEMBILAN.
GUNUNG BERAPI 39 : SEMERU.
Termasuk Gambar Semeru 1 sampai 10.

“Naik, naik!”

“Dengan melompat dan berlari!”

“Di mana udaranya begitu ringan, di mana mataharinya begitu cerah,”

“Hanya kambing gunung yang melompat, hanya elang yang bersarang”

“Di mana kerumunan orang berguling ke arahku,”

“Di mana guntur bergemuruh jauh di bawah.”

(Collin.)

Majangtengah, 24 September 1844.

Hari sebelumnya saya habiskan di Pasanggrahan-Brantas, dekat Malang, merapikan sketsa-sketsa dan gambar-gambar saya, dan berkesempatan berkenalan dengan tuan Dickelman (Asisten Residen Malang), yang sesuai dengan permintaan Residen Pasuruan, memberikan bantuan semaksimal mungkin untuk rencana-rencana saya. Atas nasihatnya, aku memutuskan untuk mendaki Semeru (* Nama ini berasal dari Meru, Maha Meru, gunung suci umat Hindu) melalui sisi barat daya, di mana berkat kebaikan hati pejabat ini, persiapan telah dilakukan untuk mencapainya dengan menebang pohon dan membuka jalan melalui hutan yang menutupi kaki Semeru hingga ke ujung; perjalanan saya menjadi mudah dilakukan.

Pasanggrahan terletak pada bukit yang menanjak landai di tepi kiri Kali-Brantas, yang secara bertahap menanjak ke utara. Pada ketinggian yang sama, di sebelah tenggara, juga di tepi kiri sungai, pada jarak satu tembakan panah darinya, terletak sebuah rumah persegi dengan dua lantai, yang berwarna kuning oker dengan garis-garis hitam membuatnya menonjol bahkan dari kejauhan; tak lain dan tak bukan adalah barak atau Benteng, yang garnisunnya, terdiri dari seorang letnan dan dua puluh prajurit yang sebagian besar pribumi, sudah cukup untuk menjaga kedamaian 80.000 penduduk kabupaten ini.

Di seberang sungai, ke arah selatan dari sini, membentang deretan gubuk bambu tempat ini, yang disebut Desa-Malang; Tersembunyi di bawah kanopi pohon kelapa dan pohon buah-buahan lainnya, hanya beberapa hunian batu Eropa satu lantai yang ditemukan di antara semuanya. Antara Passanggrahan dan Benteng jalan besar dari Pasuruan menurun dari utara; menghubungkan kedua tepian Kali Brantas dengan jembatan kayu, kemudian mengarah ke selatan menuju Alun-alun yang dapat dianggap sebagai pusat kota Malang yang sebenarnya. Sebab di dekat tempat ini terdapat rumah Asisten Residen (di sebelah selatan) dan rumah Bupati (di sebelah timur), sedangkan rumah-rumah Jawa dan Eropa yang lebih kecil, di sekitar yang terakhir, letaknya paling dekat.

Dengan berjalan kaki, seseorang dapat mencapai tempat ini, dari Pasanggrahan, dalam waktu setengah jam; memiliki kualitas dan bentuk yang sama dengan Alun-alun lainnya yang terdapat di seluruh Pulau Jawa, di depan rumah kepala suku pribumi; terdiri dari halaman rumput berbentuk persegi dan datar, dibatasi oleh pohon Wëringin dan biasanya dinaungi di bagian tengah oleh satu atau dua pohon yang sangat tua dari spesies yang sama; batang pohon-pohon tersebut dikelilingi oleh rumah bangsawan rendah atau pagar, dan dirawat dengan perawatan yang mendekati penghormatan.

Siapa yang tidak mengenal si Alun-alun yang indah ini! yang memang benar, ukurannya mengecil dari diameter 1000 kaki, untuk tempat tinggal para Bupati di desa-desa utama, menjadi 100 kaki di desa-desa terkecil, tetapi tampilannya selalu tetap sama. Kita mesti membayangkan dedaunan yang lebat dan rindang, yang menjuntai ke bawah dari tajuk pohon Weringin yang membulat, di samping warna hijau muda daun pisang yang tinggi, yang menyembul di atas dinding atau pagar tanaman, dan tajuk kipas pohon kelapa yang berwarna hijau kekuningan dan cemerlang, yang menjulang di atas tajuk dedaunan yang hijau tua, untuk memperoleh gambaran desa Jawa tersebut. Tersembunyi di bawah bayang-bayang yang hampir abadi, di sana-sini, di antara batang-batang pohon buah, warna coklat kekuningan dari gubuk-gubuk itu menarik perhatian.

Kali Brantas yang kami kenal di dekat Kediri sebagai sungai sehalus cermin yang mengalir dengan damai di sana, mengalir di dekat Malang, bergumam di atas batu-batu besar vulkanik; Di sini lebarnya kira-kira sama dengan Cidani, dekat Buitenzorg. Sungai ini mengalir ke bawah dari celah antara Sungai Kawi dan Sungai Arjuno, di bagian hulunya menampung semua sungai yang mengalir dari sisi utara Sungai Kawi maupun dari sisi selatan Sungai Arjuno, lalu berbelok ke arah selatan-barat daya di dekat Desa Malang yang bermuara di sisi timur. ke arah ini, yakni seluruh bagian tengah bentang alam menurun, yang diapit oleh Pegunungan Kawi dan Arjuno di sebelah barat dan Pegunungan Tengger serta Pegunungan Semeru di sebelah timur, membentuk dataran lembah yang luas;

Puncaknya yang paling tinggi terletak di sebelah utara negeri Malang, yaitu pada pertemuan kaki pegunungan di kedua sisinya, yaitu pegunungan Arjuno dan Tengger yang membentang datar. Di sana, di kaki timur-tenggara Arjuno, pada ketinggian 1665 kaki, terletak desa Lawang, dengan reruntuhan Singosari. Dari sini daerah itu menurun, ke arah yang sama dengan persimpangan jalan besar dari Pasuruan, dengan lereng yang landai dan berangsur-angsur ke selatan, atau ke selatan-barat daya, 260 kaki lebih rendah, ke Malang, yang mana, di dekat Pasanggrahan-Brantas, terletak 1400 kaki di atas permukaan laut; dari tempat ini sampai kaki pegunungan selatan, yang membentang dalam arah melintang dan tiba-tiba mengubah jalur selatan Kali-Brantas ke arah barat, lereng lanskap yang sama berlanjut ke arah selatan.

Pada bagian tengah alirannya ini kita telah mengenal sungai ini dan menyaksikan bagaimana ia mengalir ke arah barat, kemudian di dataran Kediri, ke utara dan akhirnya berbelok lagi ke timur, di mana ia bermuara ke laut, sehingga mengalir mengelilingi gugusan gunung berapi Arjuno, Kawi, Këlut dan Anjasmoro, ia menggambarkan sebuah persegi, yang menyempit di sudut-sudutnya, sedangkan alirannya dan sumber-sumbernya hampir berada di bawah meridian yang sama dan berdekatan. Ini merupakan satu-satunya contoh yang dimiliki Jawa berupa sungai besar yang mengalir kembali ke sumbernya dalam bentuk aliran melingkar.

Dengan demikian, daerah tengah Malang merupakan dataran lembah yang menurun dari utara ke selatan, atau lebih tepatnya dari utara-timur laut ke selatan-barat daya, suatu ruang terbuka di antara gunung-gunung berapi yang terletak di sebelah timur dan gunung-gunung berapi yang terletak di sebelah barat, suatu lintasan bagi angin selatan yang makin lama makin kuat dan bertiup di sini sama konstannya dan kencangnya seperti di Kediri dan Madiun. Ini adalah dua contoh pertama dari ruang terbuka selatan-ke-utara antara gunung berapi di kedua sisinya. —Malang merupakan dataran tertinggi dari ketiga dataran yang disebutkan; dia mengalami kemunduran ke arah selatan; di dua lainnya aliran sungainya menuju ke utara; — termasuk dalam zona hangat sedang dari ketinggian 1200 hingga 1660 kaki; Dua lainnya, di sisi lain, memiliki zona panas 190 hingga 300 kaki, namun di ketiga wilayah tersebut, selama musim kemarau, angin selatan yang kencang bertiup.

Tempat indah tempat kita menginap sekarang ini tidak terletak di bagian tengah lembah yang sebenarnya, yang sebagian besarnya merupakan dataran rendah yang ditutupi oleh hamparan sawah, kebun-kebun desa, perkebunan tembakau dan lebih tinggi lagi, di kaki gunung, dengan perkebunan kopi, tetapi lebih ke arah pegunungan perbatasan barat, ke arah sisi Sungai Kawi. Dilihat dari sini, Kawi, puncak tengah, menjulang di barat 7 hingga 10° utara; Arjuno di utara 8 hingga 11° barat; Semeru di timur 26,5° selatan; Pegunungan Selatan juga sangat rendah di wilayah ini sehingga tepiannya hampir tidak terlihat; daerah pedalaman antara Arjuno dan Tënggër juga tampak dekat oleh mata.

Istilah dataran (dataran lembah) hanya berlaku untuk Malang jika kita mempertimbangkan seluruh bentang alamnya sebagai satu kesatuan; karena di samping kemiringan umum yang nampak ke arah selatan-barat daya, yang menyebabkan tidak berbentuk dataran datar atau hampir datar seperti di Kediri dan Madiun, permukaannya pun tidak di semua tempat sama tingginya, tetapi sebagian di antaranya diselingi oleh ngarai sungai yang dalam, sebagian lagi berbukit, dan silih berganti menurun dan kadang menanjak. Di sebelah tenggara Pasanggrahan, pada jarak sekitar 3 pal, terlihat dataran tinggi yang cukup luas, yang memanjang dari kaki Tënggër jauh ke sisi Malang, yakni di sebelah barat, lalu tiba-tiba turun dalam bentuk teras ke dataran sesungguhnya, yang terletak beberapa ratus kaki lebih rendah. Menurut laporan yang diterima, flat ini tidak terkena percikan air dan karenanya tidak berpenghuni; itu adalah ujung lebar aliran lava.

Iklim Malang dapat dibandingkan dengan iklim Cianjur dan, meskipun angin selatan, yang biasanya bertiup di sore hari dan terus bertiup hingga larut malam, namun iklimnya menyehatkan dan menyenangkan; suhu rata-rata di sini 1,5 hingga 2° R. lebih rendah daripada suhu di pesisir pantai; air sungainya jernih sekali, cahayanya murni dan tidak ada nyamuk di sana. Selain itu, ternak sapi dan daging serta sayur-sayuran yang baik ditanam di Batu. Keistimewaan alam ini dipadukan dengan jalan raya dan jalan bebas hambatan yang sangat baik dan terawat dengan baik, yang melintasi daerah ini ke hampir semua arah, dan Pasanggrahan yang tertata dengan sangat baik, di mana, berkat perawatan para kepala distrik, orang dapat menemukan meja yang terisi penuh dengan kompensasi yang pantas. Banyaknya pelancong yang mengunjungi lanskap ini baik dari Surabaya maupun Pasuruan, baik untuk bersantai dan bersenang-senang maupun dengan tujuan mengunjungi reruntuhan candi di Singosari dan Pakis, karenanya tidak mengherankan.

Setelah mengirim pembawa barometer beserta instrumen lainnya, juga ransel saya, terlebih dahulu pada malam hari, saya berangkat dari Malang (Ditulis di Majangtengah, 24 September 1844) pagi ini dan menempuh jarak dari sana ke tempat ini dengan menunggang kuda dalam waktu 4,5 jam (dari pukul 6.00 sampai 10.30). Di perbatasan setiap distrik saya mengganti kuda yang sudah siap untuk tujuan itu; Sesuai dengan petunjuk Asisten Residen, saya ditemani oleh para kepala distrik, yang menurut adat, tidak pernah bepergian lebih jauh dari batas persahabatan ketat mereka dengan kuda yang mereka sediakan.

Betapapun pergantian kuda membantu perjalanan agar cepat berlanjut, hal itu juga mempunyai sisi yang tidak menyenangkan bagi pelancong; kadang-kadang ia meninggalkan seekor kuda yang terlatih baik, yang berlari kencang dengan mudah, untuk menunggangi seekor binatang yang pemalu dan murung, yang melompat ke samping di dekat batang pohon ek yang terbakar. Karena seorang kepala suku Jawa tidak pernah melakukan perjalanan tanpa ditemani oleh para bawahannya, yang pada gilirannya akan ditemani oleh para bawahannya pula, dalam perjalanan ini saya dikelilingi oleh segerombolan pengikut berkuda.

Sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di Karesidenan Pasuruan, dua orang laki-laki berkuda di depan kami, mengenakan baju merah dan hijau, masing-masing bersenjata tombak yang sangat panjang, yang jika dibandingkan dengan tombak Don Quixote akan menjadi seperti jarum biasa. Dengan tombak-tombak ini, — yang dipegang tegak, anggun, dan kaku, — di hadapan kami, dengan tubuhku yang kecil di atasnya, dan segerombolan bawahan dalam pakaian beraneka warna dan serba teratur di belakangku, segera setelah kami memacu kuda-kuda kami dengan kencang, terlihat seperti Cossack dan awan debu beterbangan di sekeliling kami, seakan-akan ada musuh yang berlari di tanah lapang.

Banyak penduduk desa yang tidak pandai berkuda, terjatuh ke tanah, yang membuat penduduk desa lainnya geli, yang akan menertawakannya bahkan jika lehernya patah. Ketika di Roma, lakukanlah sesuai keinginan Roma; tidaklah bijaksana untuk menolak kehormatan ini, karena ada keuntungan lain dan nyata yang diperoleh darinya; Orang Jawa, yakni orang yang hanya melihat penampilan, senantiasa menyesuaikan besarnya dukungan dan bantuan yang diberikannya kepada seorang pengembara, sebanding dengan penghargaan yang diterimanya dari penguasa setempat.

Jalan lebar dan terawat baik itu membentang dari tepi Kali-Brantas, yang dilalui ke arah timur dekat Malang, umumnya dalam arah selatan-tenggara, melalui daerah yang benar-benar mulus, permukaannya hampir tidak memiliki ketidakrataan lain selain dasar beberapa aliran sungai yang memotongnya dalam arah utara-selatan. Ini adalah, selain Brantas, Kali-Ambrong, yang berhulu di Pegunungan Tênggër dan mengalir melalui dataran yang masih agak dibudidayakan, terutama ditanami tembakau; semakin jauh kami maju dari tepian sungai ini ke arah selatan-tenggara, tanah yang awalnya gembur, lempung, dan kaya humus berubah menjadi tanah berpasir halus dan semakin sedikit ladang pertanian yang kami temui. Pada awalnya kami melewati sisa kecil hutan asli; kemudian jumlah hutan kecil yang kami lewati makin sering diselingi dengan hutan belantara Glagah;

Pada pukul 10 kami mengarungi sungai ketiga dan terbesar, Kali-Lësti, yang mengalir melalui ngarai yang cukup dalam yang ditumbuhi pepohonan hutan, dan segera tiba di Majangtëngah. (Ketinggian tempat ini di atas permukaan laut 1300 kaki.) Nama ini diberikan untuk sebuah Pasanggrahan kecil, dibangun dari bambu, dan dua dusun kecil, yang keduanya hanya terdiri dari beberapa gubuk, yang satu di antaranya adalah yang paling terpencil, terletak di utara, di seberang sungai, yang lain di selatan Pasanggrahan dan sekitarnya.

Ke arah Malang ini adalah desa terakhir; ia terletak sendirian di dataran yang ditutupi hutan, yang landai ke selatan. Hanya pada sisi baratnya saja masih terdapat areal persawahan terbuka yang telah berubah fungsi menjadi Sawah; di sebelah utara dan selatannya gundul hutannya, sedangkan di sebelah timurnya hanya dipisahkan oleh jurang Kali Pamutang, terbentang hutan lebat yang menutupi kaki Sungai Semeru sampai ke tepi selatan, dan sampai sekarang masih menjadi pembatas yang tidak dapat dilewati antara penduduk Malang di sebelah sini dengan penduduk Lumajang di seberang atau sebelah timur Sungai Semeru.

Di sini, seseorang harus berhadapan bukan saja dengan hutan belantara yang rapat dan terjalin erat, tetapi, menurut laporan orang Jawa, hutan-hutan ini meliputi suatu medan yang jauh dari dataran, melainkan terdiri atas banyak punggung bukit dan benteng-benteng curam yang berurutan, di antaranya terdapat jurang-jurang dalam yang memanjang hingga ke pantai selatan. Kemungkinan besar itu adalah aliran lava atau puing-puing lava dari Semeru, yang dulunya saling mengalir di sini, namun keganasannya yang mengerikan tersembunyi dari pandangan karena ditutupi hutan, yang juga menutupi semua ketidakteraturan tanah.

Hanya tiga ketidakteraturan utama yang tampak di mata pengamat, yang ditempatkan di Pasanggrahan:

1. Sekitar 1 pal di selatan desa, terdapat sebuah punggung hutan yang panjang namun rendah yang membentang dari timur ke barat, disebut Gunung-Këndëng, yang mungkin terdiri dari rusuk lava tua Sëmeru; hingga kaki ke-4 punggung bukit ini, dataran menurun dengan lereng yang landai namun rata;

2. Sekitar 1/2 pal ke arah barat dari sini, dan agak lebih rendah, sebuah bukit kecil berbentuk setengah bola, yang menjulang sepenuhnya terisolasi di dataran;

3. Di sebelah utara, dekat tempat ini, terdapat bukit berbentuk kerucut, Gunung-Pical Pitik, yang juga menjulang dari dataran datar yang ditutupi hutan.

Saya tinggal di sini sepanjang hari, melintasi seluruh daerah dan memberi waktu kepada orang Jawa untuk membuat beberapa persiapan pendakian Semeru. Aku kirimkan dulu apa yang kuanggap perlu, dan mengetahui dari kepala desa bahwa Wëdono (kepala distrik) sudah mulai memberi semangat kepada orang Jawa, yang akan menebang pagar di hutan dan membuat gundukan tanah untuk kami, agar lebih tekun dengan kehadirannya.

Menjelang sore, awan yang menutupi sebagian besar gunung dari pandangan dengan lapisan abu-abunya mulai turun. Puncak Semeru pun terlihat dan tampak paling jelas oleh mata karena bentuknya yang kerucut dan teratur (Semeru, Gambar 3).

Diterangi oleh sinar terakhir matahari sore, ia bersinar dalam cahaya kuning kemerahan, dan mahkotanya, terangkat tinggi di atas awan, memandang ke bawah dengan keagungan; puncaknya dari titik a sampai c terletak di utara 64,5 sampai 66,25° timur; sudut yang dibentuknya dengan cakrawala Majangtëngah adalah 7,5° dan kemiringan kerucut di bagian atasnya, diambil dari sini, adalah 30°; dari Malang, namun pada jarak yang lebih jauh, hanya 29°; tepi lerengnya halus dan lurus.

Sementara malam gelap. Saat lanskap semakin tertutup, sejumlah burung tahunan (spesies Buceros) terbang di atas kepala kami; mereka bergegas ke pegunungan, tempat mereka bersarang di pohon-pohon tinggi. Di mana-mana hutan bergema dengan teriakan burung merak, dan paduan suara serangga yang tak terhitung jumlahnya melantunkan lagu mereka jauh dan luas; seluruh udara bergetar dengan suara-suara, namun nada-nada yang lebih ramah, atau suara yang mengingatkan pada aktivitas manusia, tidak terdengar oleh telinga di hutan belantara ini, di mana gonggongan anjing pun hampir tidak mengkhianati bahwa di tengah-tengah kehidupan bebas ribuan hewan dari berbagai jenis, ada pula beberapa orang yang hidup menyendiri.

Bivak Widodarèn, tanggal 23 September 1844.

Pada pukul 6 pagi kami berangkat dengan menunggang kuda dari Majangtengah, dan melanjutkan perjalanan terutama ke arah timur-timur laut melalui hutan asli yang sangat luas yang menutupi tanah datar di sekitar kaki Semeru; Semak belukar hutan itu akan benar-benar tak dapat kami lewati, jika orang Jawa tidak terlebih dulu membuka jalan melaluinya. Hanya di sekitar Majangtengah kami menjumpai satu ruang terbuka di hutan tersebut, yaitu padang Alang yang tertutup di semua sisi, yang mengingatkan saya dengan jelas akan Sumatra Utara, yang banyak terdapat banyak padang Alang yang serupa. Cuacanya sangat mendung dan langit tertutup awan seluruhnya; angin tenggara yang bertiup lembut, menggerakkan awan-awan di depannya, menyebabkan, betapapun kecilnya kekuatan yang ditiupnya, suara berisik yang terus-menerus dan tidak menyenangkan di puncak-puncak pohon hutan yang tinggi.

Tak lama kemudian, hujan lembut dan deras mulai turun, membasahi tanah yang kaya humus dan perlahan membasahi kami seluruhnya.

Dalam cuaca yang suram dan penuh hujan itu, kami meneruskan perjalanan kami menembus hutan, kadang-kadang dengan menunggang kuda, kadang-kadang dengan berjalan kaki, mengarungi lumpur lembek setinggi mata kaki di tempat-tempat yang paling sulit. Kawanan lintah dan nyamuk yang melompat sangat menyiksa kami, jumlah mereka mungkin bertambah banyak akibat ditebangnya semak belukar dan pepohonan yang setengah membusuk di jalan yang baru dibuat.

Bau hutan yang pengap dan apek menyengat menusuk syaraf penciuman kami, namun di saat yang sama memperingatkan kami agar tidak tinggal lebih lama di bagian dalam hutan yang lembab dan penuh racun ini, yang di atas tanahnya yang lunak dan lembek terdapat banyak sekali tumbuhan yang membusuk. Di banyak tempat, tajuk pohon yang tinggi begitu rapat sehingga tidak ada seberkas sinar matahari pun yang dapat menembusnya, ataupun embusan angin yang dapat menyegarkan udara tercemar di bawahnya. Kami melewati delapan sungai kecil, yang semuanya mengalir ke arah selatan atau ke arah tenggara, yakni sesuai arah lintasan kami, di sebelah kanan kami:

1. Kali-Pamutang, yang mengalir melalui ngarai yang cukup dalam di dekat desa;

2. dan 3. dua aliran sungai kecil yang tidak penting;

4. Kali Batang; Dari sini jalan itu terbentang, melewati tanah bergelombang yang luas dan tidak rata, kadang naik dan kadang turun;

5. Kali-Gadung yang kecil;

6. Kali-Prengapus, yang dasar sungainya dipenuhi batu-batu kecil, kami capai dalam waktu 8,5 jam; dari sini tanahnya naik, memang benar, dengan sedikit kemiringan, namun tetap saja naik terus;

7. Kali Sono Sekar;

8. Sungai terakhir dan terbesar dari sungai-sungai ini, disebut Kali-Manjing, tempat kami tiba pada pukul 10.

Dari sungai ini lereng mulai menanjak lebih curam, dan hutan pada saat yang sama tampak sangat berbeda. Agak lebih rendah lagi kami telah menemukan spesies bambu raksasa, spesies yang sama yang tumbuh di lereng barat Kawi; Dia terutama ditemukan di sekitar Kali-Manjing. Tangkai yang paling berat dan paling tua dari tandan berbentuk batang raksasa mereka berdiameter 3/4 kaki, dan menjulang sangat ramping, hanya sedikit bengkok di bagian atas, hingga tingginya mencapai 60 atau 70 kaki.

Tampaknya batang-batang tua itu akan segera membusuk; patah karena beratnya sendiri, tergeletak; di sini mereka terbentang ke segala arah di lantai hutan, sementara yang lain, tergantung di cabang-cabang pohon di sekitarnya, tetap setengah berdiri; Permukaan tanah menjadi tidak teratur dan kusut, tetapi lapisan humus, terutama akibat pembusukan batang bambu tersebut, menjadi semakin tebal. Banyak yang masih mempertahankan bentuk silindernya yang sempurna, tetapi telah membusuk sedemikian rupa sehingga hancur total hanya dengan pukulan sekecil apa pun dengan tongkat.

Hutan bambu tinggi yang menakjubkan serupa juga tumbuh di tepi kanan Kali-Manjing; di mana jalan itu melintasinya, punggung bukit ini menukik vertikal ke bawah sedalam empat puluh hingga lima puluh kaki, dan menjulang, karena pagar bambunya, tampaknya tiga kali lebih tinggi dari ketinggian sebenarnya; tepi kiri sungai mengalir ke atas dengan kemiringan yang lebih landai. Dasar di antara kedua dinding tersebut lebarnya 25 hingga 30 kaki, dan dibentuk oleh permukaan aliran lava yang tersapu halus, ditutupi dengan bongkahan batu, yang di celah-celahnya terdapat pasir kasar berwarna abu-abu kehitaman.

Di dekat dan di bawah tempat aliran sungai berpotongan dengan jalan, dasar lava turun secara tiba-tiba, paling tidak hingga kedalaman 60 kaki, mungkin lebih rendah lagi, mungkin 100 kaki; Ia membentuk dinding yang benar-benar vertikal, melintang menurun, yang di atasnya aliran sungai terjun dengan lompatan yang indah. Sisi-sisi dasar banjir di tempat ini juga saling mendekat, dan terbentuk, baik karena ini, maupun akibat penurunan tiba-tiba dasar banjir itu sendiri, — sementara, di sisi lain, tepinya (di sisi) tetap memiliki ketinggian yang sama, — ngarai batu gelap yang sempit, sedalam sedikitnya 150 kaki, yang dasarnya tidak pernah diterangi oleh sinar matahari, seluruhnya tertutup oleh air berbusa; tampaknya lebarnya hanya lima belas kaki, sedangkan bukaan atas retakan itu, yang tepinya, seolah-olah untuk menambah kegelapan kedalamannya, ditutupi dengan hutan rindang, lebarnya sekitar lima puluh kaki.

Di tempat sungai meninggalkan dasar atasnya untuk mengalir deras ke celah yang gelap, ia telah melubangi alur-berputar yang sempit, saluran kecil, selebar 5 kaki, tetapi sedalam 20 kaki, di tepinya; Pada sisi-sisinya batu itu tersapu halus seluruhnya dan terbagi-bagi menjadi potongan-potongan tak beraturan oleh retakan. Di sinilah tempat terbaik untuk memotong potongan-potongan kecil batuan yang menonjol, untuk mendapatkan spesimennya. Batu ini (Bat. n°_ 45} terdiri dari lava trachyte yang aneh, dengan massa dasar abu-abu, mengilap, semi-vitrifikasi, di mana banyak butiran feldspar besar dan bulat muncul seolah-olah diremas; tidak ada hornblende atau zat lain yang ditemukan di dalamnya.

Sesampainya di sini, menurut laporan orang Jawa, kami telah sampai pada sungai terakhir yang harus kami seberangi dalam perjalanan, kami mengisi sejumlah pipa bambu dengan air dan kemudian bergegas meninggalkan dasar sungai yang sangat romantis ini; telinga kami di sini menjadi tuli oleh suara gemericik air, oleh bunyi derit tak henti-hentinya batang-batang bambu yang bergesekan satu sama lain, juga oleh kicauan aneh burung-burung kecil, yang ada di sini dalam kawanan utuh di dalam hutan.

Melanjutkan perjalanan menanjak, kami segera tiba di dasar sungai kering, yang disebut Kali Sat oleh orang Jawa, yang memanjang ke bawah di antara dinding-dinding curam setinggi 25 hingga 50 kaki, sebagai tanah berpasir yang cukup padat dan halus dengan lebar sekitar 40 hingga 50 kaki. Pasirnya berwarna kehitaman, dan kemungkinan besar terbentuk dari pecahan lava, yang terdiri dari obsidian atau mengandung sejumlah besar hornblende. Permukaan pasir yang halus dan cukup keras menjadi saksi bisu aksi air yang telah terjadi, mungkin mengalir menuruni bukit di atas dasar ini setelah hujan.

Jalan setapak kami lurus melewati dasar sungai ini hingga ke tepi kirinya. Kecuraman lereng itu kini bertambah dan bertambah. Kami mulai menjumpai pohon ek di sini, di antaranya akhirnya ditemukan pohon Casuarina, juga Bambu, yang masih ditemukan dalam beberapa kelompok; Suara cadel yang aneh dari pohon Casuarina di sini menusuk telinga, bersamaan dengan bunyi derit dan siulan batang Bambu ketika mereka digerakkan satu sama lain oleh angin; kemudian Acer javanicum (mihi) juga muncul di hutan ini; kami menemukan pakis pohon, dan banyak Lycopodia, selain pakis yang lebih kecil, di antaranya di sana-sini tumbuh Begonia robusta, yang menutupi tanah.

Catatan selanjutnya. Acer javanicum mihi. Foil kertas hanya saraf pennini telur akuminatis , dasar bundaran bilangan bulat mata tertutup subtus nervosis retikulato caesio albis , floribus racemoso-paniculatis , sub- corymbosis , alis orang samaria besar bus divergen

Pertama kali ditemukan oleh saya, pada tahun 1838, di Pegunungan Dieng dan dimasukkan ke dalam genusnya. (Lihat Monatsberichle über die Verhandlungen der Gesellschaft für Erdkunde zu Berlin, 3ter Jahrgang, Mei, 1841—1842.) Ahli botani Blume (Ps. Rumphius), dari Leiden, kemudian juga mendeskripsikan pohon itu sebagai Acer dan mendahului penugasannya pada genus tersebut 25 tahun (lihat Rumphia t. III. hal. 193, Leiden, 1847);

Selama waktu itu ia menyimpan cabang-cabang pohon jenis itu di herbariumnya, dan juga menanam pohon itu di taman di Buitenzorg, tetapi dengan nama Laurus (caesia atau alba), karena ia tidak mengenalinya sebagai cabang-cabang pohon Acer, karena pohon itu tidak berbuah. Namun dia bilang ta pl. dengan cintanya yang biasa terhadap kebenaran: “Saya mengambil buah sayap (yang jatuh), pada waktu itu (tahun 1822), dari bawah pohon; “Mereka memang begitu, jika saya ingat dengan benar.” (— ! mengapa dia tidak menganggap bukti seberat itu cukup penting untuk melestarikannya? —) Panjangnya setengah kulit rusa dan bersayap tumpul. Yang paling mengherankan ialah bahwa ia telah menggambarkan dan menguraikan cabang-cabang yang berbunga (lct 167, gbr. 1), sedangkan semua spesimen di herbarium nasional yang membantunya dalam penggambarannya itu sama sekali mandul dan tidak berbunga satu pun (sehingga ia tidak menganggap bunga itu cukup penting untuk diawetkan).

Akhirnya kami tiba di sebuah punggung bukit pasir yang sempit, yang hanya kadang-kadang meluas menjadi tanah berumput datar yang luasnya kecil, tempat tumbuh suburnya Sanicula, Balsamina, Ranunculus, tetapi terutama spesies Plantago, dan yang kemudian ditumbuhi lagi dengan beberapa Casuarina yang tinggi, tumbuh menanjak lebih curam; Astronia spectabilis dan terutama banyak Araliaces yang menyerupai pohon muncul di hadapan kami, bersama dengan semak Hypericum javanicum, Lonicera, spesies Rubus dan Berberis horrida (1), yang muncul secara bertahap, dan merupakan banyak bukti dari ketinggian yang lebih tinggi yang telah kami capai; mereka mengantar kami ke suatu tempat yang agak luas, berumput di tepi tebing, yang oleh orang Jawa disebut Gunung-Wïdodaren dan yang, karena adanya gubuk-gubuk yang didirikan di sana, diperuntukkan sebagai bivak kami.

Saya sampai di tempat ini dalam waktu 2,5 jam; Ketinggian pohon Casuarina yang bergelantungan bersama Usnees, menjulang hingga ketinggian 100 kaki, dan di bawahnya ditemukan banyak pohon yang batangnya setebal empat kaki, cukup membuktikan bahwa kami masih jauh dari batas teratas hutan. Saya ingin melanjutkan perjalanan sejauh ini hari ini, di mana saya lebih suka berkemah daripada di sini; Hal itu memang akan jauh lebih efisien, tetapi hal itu tidak menyenangkan hati Pak Wedono yang sambil minum kopi, telah duduk dengan sangat nyaman di gubuknya, sementara orang-orang Jawa itu masih sibuk mendirikan gubuk yang diperuntukkan bagi saya.

(1) Mihi. Lihat Majalah. untuk Neèrl. India. VU. P. 184, dll.

Dengan penuh kesedihan saya mendapati diri saya terpaksa tunduk pada kelambanan orang Jawa yang tak terpahami, meskipun faktanya, atas permintaan saya, pemerintah daerah Malang yang sangat baik hati telah dengan tegas memerintahkan mereka untuk meninggalkan tempat yang telah ditetapkan sebagai bivak kami di batas atas hutan. Namun, ketaatan mereka lebih lemah dibandingkan prasangka mereka; kemauan mereka sendirilah yang membuat mereka memilih tempat ini dan tidak ada alasan lain selain karena mereka sudah pernah berkemah di sana sebelumnya, dan oleh karena itu, menurut prinsip konservatif mereka yang ketat, tempat ini harus tetap seperti itu selamanya! Pembaca dapat memaafkan keluhan ini! Dengan demikian, para pelancong di Eropa akan diberikan sedikitnya gambaran samar tentang kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi seorang pelancong di Pegunungan Jawa, di mana ketidakpedulian penduduk asli yang melampaui segala imajinasi dipadukan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadirkan oleh medan, dan yang, sebagai rintangan yang terus-menerus, menggagalkan pelaksanaan banyak usaha yang direncanakan dengan baik.

Pagi ini kami telah mengamati letusan pertama Semeru; pada jam 5 sore terjadi letusan lagi; kami mendengar suara gemuruh yang keras, mengalihkan pandangan kami ke puncak gunung, dan melihat di sudut kanannya, yang terletak di timur laut dari sini, sebuah kolom uap, yang jika dilihat oleh matahari sore, bersinar dengan warna kekuningan; Di sini kami melihat batu-batu berjatuhan, yang menggelinding menuruni bukit dalam beberapa lompatan. Selama matahari masih ada di langit, kerucut Gunung Semeru yang telanjang tampak di atas hutan dalam cahaya kemerahan, hampir berkilau, yang berubah dengan sangat cepat menjadi abu-abu kusam dan redup, begitu gunung itu tak lagi terkena sinar matahari dan berubah menjadi bayangan. Sudah pada ketinggian 5.000 kaki, lapisan tipis abu-abu keputihan dari abu-abu segar yang jatuh, yang hampir tampak seperti tepung dan tampaknya terdiri dari tanah liat murni, terlihat di setiap daun, cabang, dan batang pohon.

Malam telah tiba, dan bulan muncul di langit cerah di sebelah timur di atas Semeru, ketika pada pukul 7 letusan ketiga terjadi. Mula-mula terlihat kilatan api, seperti pilar api, muncul dari kawah, diikuti oleh pilar uap, yang sisi kanannya disinari terang oleh bulan, sementara bayangan gelap menutupi sisi yang berlawanan. Kolom ini berkembang dengan cepat; ia larut dan melayang tinggi di udara, seperti awan kumulus, di atas kepala kami ke arah barat, menuangkan hujan pasir lembut ke atas kami; pada saat yang sama; beberapa titik api menggelinding dari bibir kawah, dan masih terlihat; cahaya terang bersinar, yang seperti batu-batu pada hari itu, menghantam lereng.

Api kemudian padam, dan hanya gumpalan uap berwarna putih yang lebar menghiasi tepi kawah selama beberapa detik, hingga akhirnya menghilang dan semuanya kembali pada kesunyian malam. Seluruh fenomena itu berlangsung kurang dari 3/4 menit. Untuk beberapa waktu, awan letusan yang didorong oleh angin timur dan merupakan satu-satunya di langit biru itu dapat diikuti oleh mata. Sebagaimana yang diceritakan kepada saya oleh orang Jawa, letusan-letusan tersebut paling sering terjadi pada musim hujan, sehingga kadang-kadang dalam satu hari terjadi hingga dua puluh kali.

Aku kini telah menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk pendakian gunung, keesokan paginya, dan, guna memastikan keadaanku, aku telah menuliskan nama setiap Kuli dan menugaskannya bertanggung jawab atas bagian barang bawaan yang diberikan kepadanya, yang mana bagian itu sangat ringan bagi masing-masing dari mereka. (*Seperti yang akan segera kita lihat, sayangnya, semua ini tidak banyak membantu saya). Lima orang diantaranya membawa pipa bambu berisi air; lima orang lainnya akan mengangkut kayu bakar, juga beberapa dahan pohon yang panjang, yang akan ditancapkan ke tanah, untuk menggelar tikar tempat atap gubuk itu dibuat; Lima orang lainnya, selain seorang pembantu, akan dipekerjakan untuk membawa peralatan, sejumlah pakaian, selimut wol, dan bahan makanan siap saji. Ketinggian tempat ini di atas permukaan laut 6418 kaki.

Majangtengah, 27 September 1844.

Pagi yang cerah (26 September) diikuti malam yang sama cerahnya, di mana tidak ada ledakan yang terdengar. Cuaca yang cerah membuat kami semakin bersemangat untuk bepergian dan mendorong kami untuk segera membongkar bivak kami. Aku biarkan kelima belas Kuli itu maju seorang demi seorang dan mengikuti mereka, ditemani pembantuku dan beberapa kepala suku Jawa yang pangkatnya lebih rendah. Sang Wëdono, dengan dalih bahwa ia terlalu lemah untuk mengikuti kami (“Koerang koewat“), tetap tinggal di pada waktu senggangnya di gubuknya.

Tulang rusuk memanjang Widodarèn, tempat kami berada, makin lama makin menyempit; semakin menanjak tajam, ia segera berakhir di sebuah punggung bukit berpasir yang sempit, yang dibatasi di sisi kanan dan kiri oleh jurang yang terkikis dalam oleh pasir. Awalnya ditutupi dengan semak-semak yang cukup lebat seperti Antennaria javanica, Berberis horrida, Viburnum, Dodonaea dan spesies Rubus, Agapetes vulgaris dan microphylla, Inga montana, Sciadophyllum palmatum dan Casuarina yang terus menyusut, secara bertahap menjadi semakin gundul, sementara jejak-jejak keruntuhan dan penurunan pasir baru dapat diamati di kedua sisi. Itu seluruhnya terdiri dari pasir yang ditumpuk satu di atas yang lain; punggung bukitnya miring tajam seperti dasar dua ngarai di kedua sisinya; di sana terjadi kekacauan batang-batang pohon yang sebagian patah saling hanyut, yang ditutupi pasir, yang secara bersamaan telah terlepas dari punggung tulang rusuk benih dan ikut tumbang.

Akibat keruntuhan di sisi-sisi tersebut, punggung bukit di banyak tempat, yang lebarnya mencapai 100 kaki, menjadi sangat sempit sehingga lebarnya di antara jurang-jurang yang tegak lurus hanya sekitar satu kaki, sehingga dibutuhkan keseimbangan yang baik agar dapat melewati bagian-bagian yang sempit ini dengan baik. Di tempat yang sama, yang seperti semua tempat lain di sekitarnya, terdiri dari pasir lepas dan ringan, di mana hampir tidak ada jejak vegetasi yang dapat diamati, dan yang, karenanya, tidak dapat ditopang oleh akar apa pun, saya melihat 15 kuli saya, alih-alih maju satu di belakang yang lain, semuanya berdiri berdekatan, dan menunggu pria di depan, yang harus memanjat bagian yang menjorok sekitar 10 kaki lebih tinggi;

Saya khawatir setiap saat bahwa punggungan pasir, yang pada kedua sisinya menurun hampir vertikal sedalam sepuluh kaki, dan kemudian turun pada sudut miring ke dasar jurang, akan runtuh karena beban yang tidak biasa, dan bahwa kelima belas teman baik saya akan berguling turun dengan semua barang bawaan mereka. Namun, surga melindungi mereka dan untungnya menyelamatkan mereka dari bahaya. Tempat-tempat seperti itu, jembatan surga Islam sejati, sering ditemukan dan bergantian dengan bagian punggung bukit yang lain, yang lebih lebar, di mana risiko keruntuhan lebih kecil, karena pasirnya lebih koheren karena akar yang ada di dalamnya. Ada banyak tempat yang tidak mungkin kita lewati tanpa bantuan semak yang tumbuh di sana.

Zona pegunungan antara Widodaren dan batas atas hutan, bagaimanapun, adalah satu-satunya di mana, karena mudahnya runtuhnya rusuk-rusuk pasir yang terkumpul longgar, yang contoh-contoh barunya terlihat di mana-mana, ada bahaya nyata bagi pelancong; ini berhenti begitu batas hutan tercapai dan orang melihat kerucut pasir sesungguhnya di hadapannya, yang permukaannya cukup datar dan belum terbagi menjadi punggung bukit dengan celah melingkar; Di zona ini untuk pertama kalinya lereng mulai terbagi menjadi beberapa rusuk, karena pasirnya terus terkikis semakin dalam oleh makin banyaknya aliran air hujan, dan terkikis di antara rusuk-rusuk tersebut.

Pada pukul 7.00 terjadi letusan baru, yang keempat yang telah kita amati, terjadi dari Semeru; itu tidak ada bedanya dengan ledakan-ledakan sebelumnya. Pada pukul 7.45 kami tiba di batas atas hutan, tempat saya menggantungkan barometer saya di salah satu cabang pohon Casuarina, yang sudah berdiri sendiri di tengah pasir, dan tumbuh sekitar 200 atau 300 kaki lebih tinggi di atas gunung daripada tempat hutan lebat terakhir berada, tempat kuli-kuli saya, yang telah saya datangi sebelumnya, perlahan-lahan muncul. Bagian bawah kerucut pasir di dekat perbatasan hutan, dari tempat punggungan pasir yang sempit kehilangan bentuk punggungan yang menjorok lebar, dan lerengnya berubah menjadi permukaan yang memanjang secara seragam, hingga sekitar 500 kaki lebih tinggi, merupakan bagian yang paling sulit dan berat untuk didaki, karena kehalusan dan mobilitas pasirnya.

Di sana seseorang tenggelam hingga mata kaki di dalam pasir, dan setiap kali ia melangkah maju, ia akan meluncur mundur sedikit. Hal inilah yang barangkali membuat banyak calon pendaki Semeru mengurungkan niatnya, karena mengira bagian kerucut gunung lainnya juga dalam kondisi serupa. Akan tetapi, hal ini tidaklah demikian. Jika seseorang tidak gentar menghadapi kesulitan-kesulitan yang ditemuinya di awal, dan telah memanjat bagian kerucut yang lebih rendah, yang tingginya 500 kaki, ia akan segera memperoleh pijakan seperti kisi-kisi dan ia akan merasakan bahwa pasirnya terus-menerus bercampur dengan pecahan-pecahan batu, yang mana semakin tinggi seseorang memanjat, akan menjadi semakin besar dan terus-menerus memberikan kaki yang beristirahat atau memanjat posisi yang lebih kokoh dan aman.

Jauh dari garis lurus yang membentang pada ketinggian yang sama di sekeliling kerucut gunung, batas hutan memiliki bentuk yang putus-putus dan runcing di mana-mana; sejumlah jalur tunggal, ditutupi pepohonan dan terpisah dari hutan, kadang-kadang membentang seperti gigi runcing, dibatasi di kedua sisi oleh tanah berpasir kering, sekitar 5 hingga 500 kaki lebih tinggi di kerucut.

Jelaslah, bahwa penyebabnya, yang mengakibatkan batas hutan di Semeru muncul dengan cara seperti itu, seolah bergerigi, tidak begitu banyak timbul dari kualitas tanahnya, — karena di tanah berpasir pun, tumbuhan akan tumbuh di sabuk bumi yang paling subur ini, jika saja tanahnya diberi waktu istirahat, — tetapi hal ini harus dicari lebih jauh dalam penggenangan tanah berpasir yang tak henti-hentinya oleh tinja baru dari kawah gunung berapi, yang, sejauh tinja tersebut menggelinding ke bawah, menghambat perkembangan tumbuhan dan, dengan menghancurkan kembali benih-benih yang baru muncul, menjaga batas hutan pada ketinggian (tertentu) yang di atasnya aksi zat-zat yang dikeluarkan itu meluas.

Sayangnya puncak Semeru tidak ditutupi hutan. Karena tidak ada puncak gunung lain di Pulau Jawa yang mencapai ketinggian di mana Semeru biasanya berada, dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk tanaman baru akan berkembang di wilayah yang terletak di antara hutan dan garis salju, di sini tingginya sekitar 14.000 kaki. akan tetap dirindukan di antara ciptaan, yaitu ketika Semeru berhenti menjadi gunung berapi yang aktif dan mulai menutupi dirinya dengan tutupan tumbuhan. (*Apa yang dikatakan oleh Horsfield (Verh. v. Bat. Genootsch., hal. VIII), yaitu bahwa Semeru menjulang di atas batas vegetasi, tampaknya merupakan suatu kesalahan)

Saya telah selesai melakukan pengamatan dan menemukan diri saya kembali dikelilingi oleh kuli saya, yang, dengan dalih bahwa mereka sekarang sedang berkendara, setelah menempuh perjalanan hanya selama 1 3/4 jam! mereka lelah, menjatuhkan diri ke tanah di sekelilingku. Angin timur yang dingin (6.5° R / 8° C.) bertiup melewati beberapa pohon Cemara yang kerdil, di dekat tempat kami beristirahat, yang tumbuh pada ketinggian 8740 kaki (*Apabila tidak disebutkan hal lain, maka ketinggian yang disebutkan harus selalu dipahami sebagai: di atas permukaan laut).

Saya menyemangati para kuli dan cukup beruntung bisa membuat mereka bergerak lagi. Sebagai tindakan pencegahan, saya mengantar mereka semua ke atas gunung sebelum saya, dan hendak mengikuti mereka (saat itu pukul 8) ketika Semeru meletus lagi, untuk kelima kalinya. Seketika sahabat-sahabatku berhenti lagi, dan pasti mereka akan bergegas kembali jika saja aku tidak berada di belakang mereka. Saya memegang tongkat yang kuat di tangan saya dan mulai berpikir tentang kegunaan dan penerapannya, jika hanya untuk mengesankan saraf penglihatan. Di sini pengaruh dan bantuan dari Wedono berakhir, maka sudah saatnya bagiku untuk menolong diriku sendiri. Para kepala desa yang kurang ajar itu telah meninggalkan aku dan kuli dan tetap tinggal bersama Wëdono yang mereka hormati.

Bendungan dan kolom abu yang membubung tinggi dari gunung berapi itu, yang di belakangnya terdapat matahari, tampak seperti bulu hitam legam yang tepinya bercahaya terang. Saat melayang ke arah barat di atas kepala kami, sejumlah kecil pasir halus jatuh menimpa kami, dan tercium bau samar belerang. Namun, sekarang aku bawa kuliku maju lagi.

Kami menemukan beberapa pohon Cëmara muda yang pincang, tumbuh sekitar 300 kaki lebih tinggi di atas gunung daripada pohon Cëmara tempat saya ukur tingginya, di perbatasan hutan bagian atas, dan yang setengah terkubur di bawah pasir; Dengan langkah kuli yang pelan kami sekarang mendaki lebih jauh ke atas gunung melewati tumpukan bercampur batu. Saya tidak ragu sejenak pun bahwa jika saya ingin naik sebelum yang lain saya pasti akan mencapai puncak dalam waktu satu jam, dan ini benar-benar dilakukan oleh salah satu pembantu saya yang membawa barometer; tetapi apa gunanya bagiku, jika aku tidak membawa para pengusung, dengan perkakas-perkakasku, dan sebagainya? Oleh karena itu saya terpaksa melihat roda ditusuk jeruji, dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kecepatan siput kuli yang lamban. (*Lambat. Apa pun yang dikatakan orang, mereka memang lambat. Perhatikan saja saat menuruni bukit — kembali ke desa — kekuatan otot apa yang mereka kembangkan dan seberapa cepat mereka melaju, bahkan dengan beban berat, melewati jalan yang paling sulit)

Sebagian besar massa puing terbesar, yang ditemukan bercampur dengan pasir, adalah rapilli berukuran sekitar 1 inci; banyak yang tebalnya ½ hingga 1 kaki tersebar di antara mereka; hanya sedikit yang mencapai ukuran 5 kaki. Semuanya mempunyai sudut dan tepi yang tajam, bentuknya tidak teratur, dan sebagian besar terdiri dari lava trachyte tak berpori dengan massa dasar abu-abu kemerahan, di bawahnya terdapat sejumlah besar feldspar kaca, namun sangat jarang, dan kemudian sangat sedikit kristal hornblende yang ditemukan. Akan tetapi, potongan-potongan yang berpori dan terak serta berbagai jenis lava trakit juga ditemukan di antara mereka;

Pasirnya berwarna abu-abu kehitaman, dan terdiri dari campuran pasir paling halus, seperti abu, serta pasir paling kasar dan berpasir. Tampak bahwa seluruh kerucut atas Semeru, pada ketinggian 5.000 kaki, terdiri dari campuran pasir dan pecahan-pecahan batu kecil yang serupa, yang secara bertahap menumpuk di atas massa batu padat, aliran lava trakit, yang terletak di bawahnya; ia masih bertambah tinggi setiap hari melalui kotoran dengan cara ini. (*Retakan yang terpotong beberapa ratus kaki ke dalam pasir di Widodaren belum meluas ke aliran lava yang padat)

Semakin dekat kita dengan puncak gunung, lerengnya akan semakin curam; Permukaannya dipotong oleh ribuan alur kecil, yang bergantian memiliki kedalaman 1 hingga 6, biasanya 3 kaki, dan yang sering kali hanya 2, tetapi lebih sering 3 hingga 4 kaki lebarnya, akibatnya lereng tersebut memperoleh penampilan yang retak dan sangat tidak rata. Sebab meskipun alur-alur ini, yang asal-usulnya dan erosinya paling jelas disebabkan oleh limpasan air hujan, memanjang ke bawah, namun alur-alur tersebut tetap saja berjalan tidak beraturan satu sama lain; banyak yang menjadi sangat dalam, runtuh, alur baru terbentuk dan permukaan kerucut terus-menerus kehilangan penampilannya yang rata dan halus; Permukaan lereng dekat alur ditutupi oleh kerak keras dan berbatu, sedangkan dasar alur lebih berupa pasir lepas, halus dan agak lembab. Tak ada sehelai rumput pun, tak ada lumut pun, tak ada sedikit pun jejak tumbuh-tumbuhan, dari tepi hutan hingga ke puncaknya, yang tampak di kerucut tandus ini.

Sekarang melewati di sepanjang alur ini, kami mendaki lebih tinggi dan pada pukul 10 kami mendekati bagian atas kerucut. Sekarang saya pikir semua bahaya yang mengancam larinya kuli, yang untungnya telah saya bawa sejauh ini, telah sepenuhnya berlalu. Karena tidak dapat menahan rasa tidak sabar lebih lama lagi, saya memanjat mendahului yang lain. Namun, tak lama lagi saya akan punya alasan untuk menyesali kesalahan yang telah saya buat; karena baru saja kuli yang mengikuti dengan air minum dan kayu bakar, kehilangan pandangan padaku ketika mereka melemparkan beban dari pundak mereka dan berlari, lebih cepat dari kambing gunung, kembali ke tempat kami berkemah. (*Rupanya hal ini (selain kesalahan yang saya buat, yaitu berjalan di depan mereka) adalah kesalahan para pemimpin; Kegagalan mereka yang tidak beriman untuk bertindak juga telah menanamkan rasa takut tertentu dalam diri para kuli dan membuat mereka kehilangan kepercayaan yang diperlukan. Tentu saja semua kuli ini kembali ke Widodaren, di bawah pimpinan Wëdono, sebagaimana yang kemudian saya pelajari, terlalu santai di dekat api unggunnya untuk melakukan sesuatu yang paling kecil sekalipun untuk membantu saya) Hanya seorang pembawa air, seorang pembawa kayu bakar, dan tiga kuli yang dipercaya menjaga sebagian barang bawaanku, tetap setia bersamaku; hanya mereka yang tiba di puncak gunung tak lama setelah saya.

Pada jam 10,30 kami sampai di puncak, yaitu setelah 2,5 jam pendakian dengan kecepatan kuli yang lambat, dihitung dari batas hutan, atau setelah 4,5 jam pendakian dari bivak di Widodaren; Akan tetapi, banyak perhentian dan waktu istirahat mesti dikurangi dari kegiatan ini.

Angin timur laut yang dingin dan kencang bertiup di atas puncak, yang di atasnya hanya tampak kubah langit paling cerah, diwarnai dengan warna biru tua; di bawah kami terbentang danau awan putih, yang menyembunyikan daratan datar dari pandangan kami. Lapisan atmosfer di atasnya, terlebih lagi, terisi oleh uap aneh, yang seperti lapisan uap yang kami amati di Kawi, menjadi buram hanya pada jarak yang sangat jauh, dan dipisahkan di cakrawala dari langit biru yang menjulang di atasnya oleh garis batas yang sangat tajam dan lurus sempurna. Hanya satu puncak gunung, yakni Puncak Arjuno, menjulang seperti Semeru, bagaikan pulau di atas danau awan ini.

Kami mendapati diri kami di dataran tinggi yang sangat luas, datar-cembung, yang menyajikan kekeringan yang serupa dan menyedihkan dengan lereng kerucut, tetapi dipenuhi dengan fragmen puing yang jauh lebih besar dan lebih banyak daripada yang terakhir. Pada jarak yang agak jauh dari kami, terpisah dari puncak ini hanya oleh pelana perantara kecil, kami melihat ke arah tenggara sebuah puncak kedua, yang agak lebih rendah, yang ditembus oleh sebuah kawah; Kami berhenti di tepi tenggara dataran tinggi kami, di seberang kawah ini.

Sinar yang dipancarkan matahari kepada kita di udara yang sangat murni, kering, dan encer di zona tinggi ini, hampir bisa disebut menyengat; Barangkali kita tidak perlu mengeluh kedinginan di pintu air kosong itu, kalau saja angin timur laut yang bertiup terus-menerus dan kencang tidak serta-merta menghilangkan semua panas yang telah berkembang. Kami mengangkut batu-batu bersama-sama dan membangun sendiri sebuah tembok kecil dengan cara ini, yang memberikan sedikit perlindungan dari angin, jika kami merentangkan diri tepat di sampingnya; di sini kuli-ku menyalakan api kecil dari kayu yang mereka bawa, sementara aku menyibukkan diri meletakkan kompas, teodolit, serta barometer dan termometer, dan mempersiapkan semuanya untuk melakukan pengamatan; Saya melindungi barometer dari pengaruh langsung sinar matahari dengan tikar yang dibentangkan di depannya.

Saya menemukan mahkota itu berukuran elips-bulat, dan, dari arah selatan ke utara, lebarnya 500 kaki; (*Dari barat daya ke timur laut (dataran tertinggi) panjang yang diukur adalah 550 kaki) Dari timur ke barat panjangnya hampir dua kali lipat, atau sekitar 800 kaki. Pada arah yang disebutkan pertama, bidang tersebut memanjang cukup datar, dan dipisahkan dari kemiringan kerucut oleh tepian yang tajam; di lereng barat dan barat laut, di sisi lain, sebelum dataran menyatu sepenuhnya, terlebih dahulu terbentuk langkan sempit, sedalam 25 hingga 50 kaki, yang mengarah ke bawah; di tepi atasnya masih terdapat beberapa titik panas, berbau belerang, dan berkerak, tetapi tidak terlihat jejak uap yang mengepul di sini. Dari arah timur ke barat, dataran tinggi itu membentuk lengkungan datar-cembung, yang secara bertahap turun ke arah barat, secara bertahap dan tanpa garis batas yang jelas, pada sisi yang sama di mana kita mendaki, menyatu dengan lereng kerucut.

Seluruh mahkota tampaknya dibangun dari campuran pasir dan batu-batu kecil; abu-abu kehitaman dan tandus, bahkan tak dihiasi dengan hijaunya sehelai rumput, lumut, atau lumut kerak, ia terhampar di hadapan kita, dan terlebih lagi ditutupi oleh jutaan pecahan puing yang lebih besar, bersudut tajam, dan berbentuk tak beraturan, yang satu kelompoknya berukuran 3 kaki, dan berserakan di sekitarnya dalam keadaan tak teratur.

Beberapa fragmen tersebut terdiri dari lava trakit keras berwarna abu-abu kemerahan yang permukaannya sering retak dan pecah; yang lain adalah trachyte berbutir halus dan sebenarnya (Bat. n°. 46); namun sebagian besarnya: L. n°. 246 (Bat. n°. 47), sangat mirip dengan lava trachyte semi-vitrifikasi yang ditemukan di Kali-Manjing (Bat. n°. 45) dan mengandung, dalam massa dasar abu-abu cerah dan agak mengilap, banyak butiran feldspar besar yang telah tervitrifikasi, namun hanya beberapa kristal hornblende tunggal; mereka masuk lebih jauh: L. n°. 247 (Bat. n°.49), atau kurang (Bat. n°. 48) masih terdapat terak berpori, yang massa dasarnya telah menggelembung dan menghitam, tetapi butiran feldspar kaca hampir semuanya tetap tidak berubah.

Ada pula yang terbentuk sebagai stalaktit; Namun, hanya sedikit yang memiliki hornblende dalam jumlah besar. Di sela-selanya terdapat beberapa blok besar, yang memiliki diameter 6 kaki atau lebih; banyak yang terbelah di permukaannya sehingga potongan-potongan individualnya hampir tidak bisa bersatu, dan harus diasumsikan bahwa retakan tersebut, yang menembus hingga kedalaman 0,5 hingga 1 kaki di dalam batu dan menjadi lebih sempit ke dalam seperti luka menganga, disebabkan oleh pendinginan mendadak dari bongkahan batu setelah mereka terlempar ke atas dari kawah dalam keadaan bersinar.

Semua batu besar tersebut memiliki tanda bahwa mereka baru saja terbentuk; mereka tidak lapuk, utuh di permukaan dan terletak sepenuhnya bebas di atas bagian bawah tajuk yang tersebar di sekitarnya. Dari sini dapat disimpulkan bukti bahwa mereka merupakan formasi selanjutnya, dan berasal dari kawah di dekatnya, tempat mereka terlempar ke sini pada saat letusan terakhirnya; karena sebagaimana aksi air hujan di puncak datar ini, di mana pada ketinggian 11.500 di atas permukaan laut hampir tidak pernah turun hujan, atau di mana setidaknya hanya kabut halus yang jatuh, — hanya bisa sangat kecil, maka tidak boleh diasumsikan bahwa mereka, yang sebelumnya bercampur dengan pasir, telah lama membentuk bagian dari puncak gunung atas dan bahwa mereka hanya menjadi bebas karena terkikisnya pasir.

Sungguh kurang mengenakkan bagi kita mengetahui bahwa Semeru sewaktu-waktu mengalami letusan yang dahsyat sehingga batu-batu besar terlempar sampai ke sini; Semoga surga melindungi kita dari hal seperti itu. Puncak, yaitu tempat kita berdiri, adalah puncak barat laut, mungkin bekas kawah Semeru yang sekarang tertutup; Namun di sebelah tenggara, kita melihat pada jarak yang pendek, tetapi lebih rendah, sebuah puncak lain, yang terdiri dari satu tepian melingkar dan karenanya ditembus oleh sebuah kawah.

Agar uraian yang panjang lebar tidak berlebihan, maka para pembaca diminta dengan hormat untuk melihat sketsa situasi Semeru Gambar 10, yang menggambarkan kondisi topografi kedua puncak tersebut.

— a. merupakan cekungan yang sangat landai di massa pasir, yang berakhir di sebuah celah, dan di sepanjang celah tersebut jalan yang kami lalui menanjak. — bb tepi yang dijelaskan secara singkat, di mana bagian bawahnya dipanaskan; 0 pusat bidang datar yang berbentuk bola. —Tanda *£ menunjukkan tempat di mana instrumen saya berada, pada ketinggian yang sama dengan tempat yang bertanda *. — cc sebuah tanjung sekitar 40 hingga 50 kaki lebih rendah, tepi timurnya (timur 10° utara &) dipotong oleh ngarai. – D. adalah pelana perantara yang meruncing agak tajam di antara dua puncak; sekitar 500 kaki lebih rendah dari titik *. — misalnya punggungan gunung sempit yang meruncing sangat tajam di ujung atas dan terpisah dari bibir kawah. — /”. bibir kawah tertinggi di timur laut, yang menjulang tegak lurus ke atas dan mungkin berada pada ketinggian yang sama dengan titik • (dia adalah bibir kiri pada Gambar 9 Semeru). — g. bibir kawah terendah di barat daya (bibir kanan pada Gambar 9), sekitar 200 kaki lebih rendah dari titik *. Jarak antara bibir kawah, antara titik f. dan g., atau diameter terbesar kawah, dari barat daya ke timur laut, akan menjadi sekitar 900 hingga 1000 kaki, sedangkan jarak antara titik barat laut terdekat dari bibir kawah dan titik tempat kita berada, tepi tenggara puncak barat laut, adalah 1000 kaki. Di sisi tenggara, bibir kawah dipotong oleh celah dalam (i.) yang turun ke bawah di sepanjang lereng gunung. — + adalah pusat kawah aktif tempat letusan terjadi. untuk memahami, yang dari sini diamati 30° timur ke selatan, sedangkan g. adalah 20° timur ke selatan dan f. adalah 60° timur ke selatan. Semua ruang ini, tonjolan timur, pelana tengah, bersama dengan lereng bibir kawah, terdiri, seperti puncak tempat kita berada, dari akumulasi pasir dan jutaan pecahan batu; mereka tampak oleh mata dalam warna abu-abu kehitaman, di sana-sini berwarna abu-abu kemerahan dengan tingkat kekeringan yang sama seperti mahkotanya. Kawah itu, yang sebagian dapat dilihat ke bawah, karena tepiannya lebih dari 200 kaki lebih rendah, tetap diam sepenuhnya. Hanya di satu titik di lereng selatan-barat daya, dekat di bawah tepian, uap, meski dalam jumlah kecil, tampak naik ke atas.

Sketsa situasi Semeru

Setelah melakukan pengukuran ini (1), aku berjongkok di dekat api kecil yang dinyalakan oleh kuli; Aku membaringkan diriku secara horizontal di kaki tembok batu, guna mencari perlindungan dari angin timur laut yang berbadai, yang membuat air mengalir dari hidung dan mataku serta merasuk hingga ke sumsum dan tulang. Di sini, terlindung dari angin oleh tumpukan batu, cuacanya cukup hangat, bahkan sinar mataharinya sangat panas.

(1) Diameter pelat mahkota atas. bertanda *, diukur dari tepi barat daya ke tepi timur laut, melalui titik tengahnya; ke dasar, 550 kaki, ukuran bagian mahkota yang tersisa ditentukan.

Kami telah menunggu selama 1,5 jam untuk kedatangan kuli lainnya yang membawa kayu bakar dan air, namun tidak seorang pun muncul; kami tidak dapat membangun gubuk apa pun, karena kami tidak mempunyai tiang sudut, — cabang-cabang pohon yang panjang, — dan kami menuangkan persediaan air terakhir kami ke dalam ketel, sehingga paling tidak kami bisa minum kopi panas. Matahari bersinar begitu terang dan udaranya luar biasa bersih sehingga orang bisa menghitung semua batu di bibir kawah; ia tergeletak di hadapan kami, sunyi senyap, tak ada gumpalan uap yang mengepul darinya, — tapi tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang mengerikan; kami melompat ketakutan, mata kami tertuju pada kawah; —massa-massa hitam legam, dengan titik-titik yang menonjol, seperti tebing-tebing di laut, menjulang di atas bibir kawah, berkembang, terbentuk menjadi bola-bola, terbang ke atas, diikuti dengan kecepatan kilat oleh seratus bola lain yang serupa, yang berputar seperti angin puyuh di sekitar pusatnya sendiri;

Mereka membentuk diri menjadi sebuah kolom, yang terdiri dari beberapa bola bulat yang berputar, yang di tengah gemuruh gunung berapi, yang membuat kita gemetar dan terguncang, dalam beberapa detik melesat naik ke ketinggian yang sangat mencengangkan sehingga kami pikir kami dapat melihatnya di puncak gunung, sementara ratusan ribu pecahan batu besar dan kecil berhamburan darinya ke segala arah, jatuh membentuk busur di lereng, dan berguling turun lagi dengan benturan yang berulang.

Suara benturan dari pecahan-pecahan yang beterbangan itu disertai dengan gemuruh dan raungan yang berasal dari rongga kawah, sementara kolom uap, sebelum kami pulih dari guncangan, dengan bola-bolanya yang membesar ke atas, benar-benar melayang menuju puncak kami, dan hujan pasir dan rapilli yang menyerupai batu apung menghantam kami. Pada saat yang sama kolom di bawah terpisah dari kawah, ia menjadi bebas; bunyi dentuman batu yang jatuh berhenti, dan beberapa detik kemudian kolom tersebut, yang didorong oleh angin timur, melayang tinggi di atas kepala kami seperti awan biasa yang mengambang (cumulus). Karena terus menerus membersihkan pasir dan abu yang dikandungnya, ketika disinari matahari, awan tersebut tampak berwarna putih bersih, dan hanya dapat dibedakan dengan kilatan kuning kecokelatan dari awan biasa (hidrometeor).

Sekarang semuanya tenang lagi; Matahari bersinar terang di kawah itu, tidak ada sedikit pun uap yang terlihat, dan dari titik yang sama, yang beberapa saat yang lalu tampak akan menebarkan kehancuran dan keruntuhan, bahkan tidak ada suara sedikit pun yang terdengar.

Sebelum kolom uap terpisah dari bibir kawah, saya telah mengukur tingginya dengan sekstan saya yang sudah siap; suhunya 65°. Sekarang, karena jarak dari bagian terdekat bibir kawah adalah 1000 kaki, — jarak ini ditentukan oleh sudut dasar yang diukur = 550 kaki dengan bibir ini, — kolom uap mencapai ketinggian sekitar 1500 kaki. Jika seseorang hanya mempertimbangkan ketinggian ini, yang dicapainya dalam rentang beberapa detik, seseorang akan dapat membentuk gambaran tentang kekuatan luar biasa dari letusan ini, meskipun mereka mungkin hanya digolongkan di antara letusan gunung berapi kecil yang sering berulang.

Seperti yang telah kita katakan, jutaan pecahan batu terlempar ke atas oleh letusan ini, yang, saat kolom uap naik lebih tinggi, terbang ke segala arah, dan beberapa, yang terbesar, jatuh kembali ke kawah, dan beberapa, yang lebih kecil, jatuh dalam lengkungan di lereng luar gunung. Kolom itu mungkin memperoleh warna hitamnya dari unsur-unsur padat abu dan pasir yang juga didorongnya ke atas; karena sementara di bagian tengah ketinggiannya ia memiliki warna keabu-abuan, ia menjadi semakin abu-abu ke arah bagian atas, di mana bola-bola yang menyusunnya terus-menerus membentuk diri mereka sendiri. mengembang dan terus menerus melepaskan abu dalam jumlah yang semakin banyak, secara bertahap warnanya menjadi lebih terang.

Tidak ada yang memberi kesan lebih kuat kepada pengamat daripada gerak berputar dari massa-massa bulat yang terpisah, yang mengembang makin lama makin cepat dengan kecepatan yang sama, terus membesar dan naik makin tinggi, di saat yang sama bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, ketika berputar pada porosnya sendiri, yaitu pusatnya. Bayangkanlah sebuah tiang setinggi 1500 kaki, yang berarti tiga kali lebih tinggi dari menara gereja utama di Antwerp, atau lima belas kali lebih tinggi dari pohon kelapa tertinggi, tiba-tiba muncul di depan mata, sebuah tiang yang berwarna hitam legam di bagian bawah, berwarna abu-abu di bagian atas, dengan ribuan massa yang berputar cepat; dia hampir mencapai puncak pengamat dan mengancam akan menimpanya; orang mendengar lolongan, auman, yang, sesungguhnya, tak ada yang lebih baik daripada auman seekor binatang, jika saja ada binatang yang mulutnya berdiameter sedikitnya 500 kaki;

Seseorang mungkin membayangkan bahwa beberapa dari ribuan batu besar yang menimbulkan awan debu di mana-mana, dan yang terlihat berjatuhan di lereng gunung bahkan hingga sisi punggungan melingkar ini, mungkin juga terbang ke tempat di mana kita berada; janganlah kita lupa bahwa, jika tidak ada tempat berteduh dan pertolongan manusia, maka tidak ada jalan keluar, dan pertimbangkanlah kemudian apakah ada makhluk hidup yang dianugerahi tanah segar dan sehat, yang; tontonan alam ini tanpa gemetar, tanpa tergerak hingga ke kedalaman diri seseorang, Anda bisa melihatnya!

Bila seseorang melihat ini, ia membayangkan dirinya lebih dekat dengan asal mula penciptaan dan menyadari kerja liar pertama dari kekuatan alam, yang dengan kekerasan yang sama mendorong dan membentuk massa kekacauan, seperti di sini massa kolom uap yang berputar-putar digerakkan.

Hanya beberapa batu yang lebih besar, yang tebalnya 1/4 hingga 1/2 kaki, terbang melewati punggung bukit antara dan jatuh, pada jarak 300 kaki dari kami, di lereng puncak gunung tempat kami berdiri; oleh karena itu kami hanya terkena hujan pasir halus pada saat kolom uap lepas, yang kini telah menjadi awan, melayang di atas kepala kami, didorong oleh angin.

Ketika menyaksikan fenomena yang sangat agung ini, seseorang mungkin bernyanyi bersama Ariel:

“Penglihatannya memberikan kekuatan kepada para malaikat,
Jika tak seorang pun ingin memahaminya;
Karya-karya yang sangat tinggi yang tidak dapat dipahami,
Mereka sama hebatnya seperti hari pertama.”

Kami segera pulih dari cobaan yang kami derita. Sebagian untuk melakukan pengamatan meteorologi, dan sebagian lagi agar keesokan paginya memperoleh pandangan jelas tanpa terhalang awan, agar dapat melakukan pengukuran, saya memutuskan untuk bermalam di puncak gunung; Saya masih terus berharap kedatangan kuli dengan membawa kayu bakar, yang sangat dibutuhkan di tengah cuaca dingin mengerikan yang kami alami di sini. Letusan pertama yang kami amati dari puncak gunung terjadi pada pukul 12.30; Satu setengah jam berlalu sebelum tempat kedua diambil, dan saya punya cukup waktu untuk memeriksa puncak dan menentukan arah beberapa titik gunung yang terlihat di atas tutupan awan; Pegunungan tersebut adalah: Arjuno, Tëhggër, dan pegunungan antara Tëhggër dan Semeru.

Pegunungan peralihan ini, jika dilihat dari tepi utara puncaknya, terbentang jelas di depan mata kita dalam bentuk utuhnya, seakan-akan ia adalah sebuah peta; tepat di sebelah utara, di kaki Semeru, terletak gunung tumpul dan berbentuk kerucut, Gunung Garu; Dari sini orang dapat melihat puncaknya yang sebagian datar dan sebagian cekung, menyerupai kawah; dataran tinggi antara yang menghubungkan kaki selatannya dengan kaki utara Semeru, yang ditutupi hutan, sebagian besar berupa pohon cemara, yang tingginya mencapai kerucut di sisi ini dibandingkan sisi selatan dan barat daya.

Di sebelah kiri atau barat terdapat jajaran pegunungan melingkar, Gunung-Gumbar, — itulah nama sebenarnya sudut utaranya, tetapi, karena tidak ada nama umum, saya memberikannya kepada seluruh jajaran pegunungan, — yang, dengan puncaknya yang bergerigi, juga menyatu ke lereng barat laut Sëmeru; awal dari ‘koten’ ini terletak di utara 30° barat; mula-mula membentang ke arah Pegunungan Tënggër di utara, kemudian ke timur, sehingga membentuk setengah lingkaran di sekitar Garu. Tepi atas jajaran gunung ini tajam, menurun tajam ke bagian dalam, sehingga membentuk dinding, dataran depan cekungnya menghadap ke kerucut.

Di antara tembok ini dan kaki Garu terdapat dasar lembah yang cukup lebar dan datar, yang, di arah yang sama, membentang dalam lingkaran halus di sekitar Garu; dari bagian tertinggi dasar lembah ini, di kaki timur laut kerucut kita, lembah ini mula-mula membentang ke utara 10° barat, lalu ke utara, lalu ke timur laut, dan akhirnya ke timur, terus menurun; ke arah ini dipotong oleh sebuah jurang kecil.

Sementara semua ketinggian yang melingkupi lembah yang elok ini dimahkotai dengan pepohonan hutan, terutama Casuarina, dasar lembah itu sendiri, yang hanya dinaungi oleh beberapa pohon tunggal semacam itu, memperlihatkan dirinya dalam balutan indah berupa halaman rumput berwarna hijau yang anggun; Dalam kesunyian yang terdalam, tersembunyi dari pandangan mata semua manusia, bahkan tak dikenal oleh orang Jawa, lembah tinggi nan elok ini, yang iklim dinginnya sangat cocok bagi orang Eropa, terbentang menggoda, dan tak diragukan lagi menyediakan cara termudah dan ternyaman untuk mendaki Semeru.

Siapa yang setelah membaca uraian ini, betapa pun singkat dan tidak sempurnanya, masih dapat meragukan bahwa Garu di sana merupakan kerucut erupsi, — Gumbar merupakan bekas dinding cincin, dan dasar lembah di antara keduanya merupakan bekas dasar kawah, yang dari sudut selatannya, sebagai akibat dari perpindahan poros vulkanik, Semeru baru kemudian muncul; meskipun tingginya, namun itu hanyalah kerucut letusan, yang terbentuk di atas permukaan lantai kawah sebelumnya, yang tidak lain hanyalah pasir dan puing lava, hanya kotoran belaka!

Dasar lembah ini, pada wilayah tertingginya, di sekitar Gunung Semeru, mungkin terangkat tidak kurang dari 8.000 kaki di atas permukaan laut; pada titik terendahnya tidak boleh kurang dari 7.500 kaki. Bagian utara Gunung-Gumbar terhubung melalui pelana yang sangat lebar dan menonjol lembut dengan dinding cincin selatan Tënggër, yakni Gunung Ider ider; Dari sana seseorang harus menuruni lereng Ider, melewati danau (Ranu-Kumbolo, lalu mendaki Gumbar, lalu menuruni lagi sepanjang dinding yang menghadap ke dalam, melalui dasar lembah yang datar, tak terputus, dan berangsur-angsur naik, untuk mencapai Sëmeru. Ini adalah cara termudah untuk mencapai Semeru; terlebih lagi, di jalan ini orang dapat menemukan air minum, kayu bakar, dan fasilitas lainnya pada ketinggian yang lebih tinggi dibandingkan tempat lain.

Di dasar lembah yang berumput terbuka ini, jalan setapak hampir di mana-mana telah dibersihkan untuk satu orang; Hutan di lereng gunung sebagian besar terdiri dari pohon Casuarina yang jaraknya berjauhan, di antaranya hampir tidak ada semak belukar, dan di mana mudah untuk membuat jalan setapak; bagian kering kerucut tidak tampak, di sisi ini, melebihi 1500 kaki; Hingga ketinggian tersebut, potongan-potongan pohon menjulang ke atas menempel pada kerucut. Di sisi timur Garu, dinding cincin tampak hilang, kecuali pada satu bagian, dan lereng Garu juga tampak merupakan bagian timur dari bagian pegunungan yang menghadap ke luar.

Catatan selanjutnya. —Untuk memperjelas detail topografi dan bentuk Semeru secara umum, perhatikan profil terlampir:

Gambar 1 & 6
Gambar 2, 3, 5. 7
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10.

Semeru Gambar 1 menggambarkan sisi barat-barat laut dari gabungan pegunungan Tengger, Garu, dan Semeru, yang kerucut Semeru membentuk sudut paling selatan, seperti yang terlihat dari puncak Arjuno.

2. Sisi barat Pegunungan Semeru dan Tengger, dilihat dari puncak Kawi.

3. Lereng barat daya Semeru, dilihat dari Majangtengah. (Lihat halaman sebelumnya 764)

4. Sisi barat Pegunungan Semeru dan Garu. Punggungan yang panjang dan runcing merupakan puncak tembok setengah lingkaran Gumbar. Garis A dan B tampak oleh mata pada sudut yang hampir sama, seolah-olah merupakan lereng yang berlawanan dari sebuah gunung kerucut besar.

5. Sisi timur Pegunungan Semeru, Garu dan Tengger dilihat dari Lumajang. Pertama di titik f. lereng Tengger yang sesungguhnya dimulai.

6. Sisi utara puncak tertinggi Semeru, dilihat dari dinding selatan “Ider-ider” Pegunungan Tengger, yakni dari titik percabangan jalan dari Kebo Glagah menjadi dua, yaitu jalan yang menuju Wonosari dan jalan yang menuju Ledok Ombo. Dari sana orang dapat melihat bagaimana hutan menjulang lebih tinggi terhadap kerucut dalam beberapa jalur.

7. Sisi utara-timur laut Semeru, dilihat dari puncak Boedo Lemboe di Tengger.

8. Pegunungan Semeru, Garu dan Gumbar dilihat dari dinding lingkar selatan Pegunungan Tengger (Ider ider); di bagian tengah terendah dari pelana antara cekung, antara lereng utara Gumbar dan lereng selatan Ider, terletak Ranu-Kumbolo, sebuah danau yang drainasenya melalui punggung bukit memanjang yang bersatu di kedua sisi dan menyatu satu sama lain; dari dua gunung yang mengelilinginya, dicegah.

9. Kawah puncak tenggara, diamati dari puncak barat laut Semeru.

10. Bandingkan sketsa situasi. (Lihat halaman sebelumnya 781.)

Beberapa saat yang lalu (pukul 2 siang), sambil menggigil kedinginan, saya telah kembali ke tepi selatan puncak gunung, tempat orang-orang Jawa berkemah sedekat mungkin dengan api yang telah setengah padam, ketika ledakan lain terjadi.

Di tengah gemuruh kolam kawah yang dahsyat, massa kolom asap yang awalnya bergerigi, kemudian berbentuk bulat, membubung ke atas, berkembang dengan cara yang persis sama seperti yang pertama, dan meninggalkan kesan yang sama padaku dan para kuli-ku. Walaupun massa utama kolom itu berwarna hitam, dan lebih tinggi lagi berwarna abu-abu kehitaman, namun tepi-tepinya disinari terang oleh matahari, yang memancarkan sinarnya secara miring ke atasnya;

Tiang itu sendiri, yang berputar seribu kali, disinari matahari dengan cara ini, berdiri megah di langit biru. Kami baru saja pulih dari ketakutan kami ketika, pada pukul dua setengah, lolongan lain terdengar, diikuti oleh ledakan lain, yang ketiga jumlahnya, yang, dalam kekuatan dan cara terjadinya, sepenuhnya mirip dengan yang sebelumnya. Seperti halnya letusan-letusan lainnya, letusan kali ini melontarkan ribuan pecahan batu yang sebagian besarnya tampak jatuh ke dalam kawah itu sendiri. Hanya pasir dan sejumlah kecil rapilli (tidak berat) yang terbawa bersama awan oleh angin timur dan terbawa ke atas gunung tempat kami berdiri, jatuh menimpanya.

Seperti yang kita saksikan tadi malam, dan sebagaimana yang diamati setiap malam oleh penduduk desa sekitar, kotoran yang pada siang hari tampak hitam, bersinar pada malam hari, sedangkan bagian bawah kolom asap tampak seperti nyala api karena mengandung pasir yang menyala. Uap atau gas yang membentuk sebagian besar kolom, yang membawa sejumlah besar pasir dan abu ke atas dan selanjutnya tetap melayang sebagai awan berwarna putih di lapisan udara setinggi 13.000 (1.500 + 11.500) kaki, oleh karena itu tidak dapat terdiri dari gas hidrogen; Ini pasti dipicu oleh massa puing yang berpendar, dan kami belum melihat jejaknya. Mereka pun tidak mungkin terdiri dari asam karbonat, karena asam karbonat akan tenggelam dengan cepat, sedangkan awan erupsi kita, yang selalu berada pada ketinggian yang sama, tetap melayang selama paling sedikit 1/2 jam sebelum larut dan terbagi;

Kadang-kadang awan seperti itu, yang tertiup angin dalam arah lateral, masih dapat dikenali setelah 3/4 jam. Jika mereka hanya terdiri dari uap air saja, harus diasumsikan bahwa di zona 13.000 kaki — di mana suhu di Jawa, bahkan di siang hari, tidak diragukan lagi turun ke nol, dan di ketinggian mana mereka tiba-tiba terlontar dari kawah yang merah membara — mereka akan menebal begitu cepat sehingga fenomena kelistrikan, yaitu, guntur dan kilat, akan terjadi, yang keduanya belum kita amati; Oleh karena itu tampak bahwa mereka terdiri dari campuran berbagai jenis uap, di antaranya mungkin uap belerang memainkan peranan utama. Yang pasti, pasir yang jatuh itu, lewat baunya, mengindikasikan kehadiran asam sulfat.

Ketinggian titik tempat kita berdiri, menurut hasil rata-rata pengamatan barometer, adalah 11.480 kaki.(*Mudah dipahami bahwa ketinggian ini baru dicatat dalam jurnal kemudian, setelah dihitung)

Udara sangat dingin luar biasa sehingga cerutu tidak berasap maupun terbakar, dan meski kedinginan, kita tersiksa oleh rasa haus yang terus-menerus dan kuat. Meskipun seseorang mungkin mengira bahwa puncak gunung ini selalu jauh lebih kering daripada gunung-gunung di sekitarnya, karena terdiri dari pasir dan tumpukan batu, gunung ini benar-benar gersang, dan tidak ada jejak vegetasi yang dapat menumbuhkan partikel air di atasnya, namun pada saat ini semua keadaan bersatu untuk menghasilkan tingkat kekeringan yang ekstrem, karena:

1. Udara sangat bersih, langit biru gelap, tanpa sedikit pun awan terlihat;

2. Angin kencang, sangat kering, dan terutama bertiup dari timur laut, menyebabkan penguapan semua komponen air terjadi jauh lebih cepat dari biasanya. Tikar Jawa biasa (tikar yang dianyam dari daun Pandan), yang dikenal sangat lentur dan dapat dilipat ke segala arah, menjadi rapuh seperti kaca setelah dibentangkan beberapa lama, dan akibatnya, tidak dapat dipakai sama sekali. Saya bisa memecahnya menjadi potongan-potongan terkecil, yang bisa digosok dengan jari sehalus tepung dan dihembuskan ke udara seperti debu !

Perbedaan maksimum psikrometer adalah 6,8° R., dan meskipun suhu udara, setelah 4 jam, di tempat teduh adalah +6,3° R., bola psikrometer yang dibasahi ditutupi dengan embun beku dan berada pada 0,5° R. Jika kita sekarang mempertimbangkan bahwa permukaan tubuh kita yang terus-menerus dihembuskan terkena tindakan yang sama seperti psikrometer, kita dapat membentuk gambaran tentang dingin yang kita derita,

Para kuli melakukan segala cara yang mereka bisa untuk membujukku pergi dengan terus-menerus mengeluh; matahari perlahan-lahan condong ke arah cakrawala, hawa dingin meningkat, kayu bakar terakhir yang kami miliki telah habis terbakar, dan harapan kami untuk mendapat pertolongan dari Wëdono (*Kalau saja Wedono yang mengerikan itu, yang kukutuk di tengah kawah, telah mengirimkan kepada kami kayu bakar yang dibawanya dan dahan-dahan pohon yang diperlukan untuk membangun gubuk-gubuk, kami pasti dapat bermalam di puncak gunung itu tanpa bahaya) semakin sirna; meskipun begitu, aku belum juga menyerah pada tekadku dan aku berbagi yang terbaik yang kumiliki, yaitu sepasang nessein madeira, bersama dengan cerutu manila, dengan burung hantu Cooli, ketika, setelah dua jam beristirahat, kawah gunung berapi itu lagi (saat itu pukul 5) mengeluarkan suara gemuruh yang sangat dahsyat, yang disertai dengan kepulan asap yang membubung dengan kecepatan yang sangat menakutkan, sehingga kami telah melihat mahkota yang berputar itu di puncaknya, sebelum kami sempat mengikutinya dengan mata kami; di semua sisi kami mendengar suara benturan batu-batu yang beterbangan, beberapa di antaranya jatuh dekat tepi bukit tempat kami berdiri.

Hal ini terlalu berat bagi kuli-kuli yang ketakutan, yang semuanya sudah lari tunggang langgang; hanya dengan susah payah aku dapat memanggil mereka kembali, sehingga mereka setidaknya dapat membawa barang bawaanku bersama mereka; itu. Ketakutan yang mereka rasakan begitu besar sehingga, dalam kengerian yang mematikan, mereka memunguti semua yang mereka temukan, tanpa mengemas apa pun, dan bersembunyi sepelan mungkin, sementara hujan pasir dan kerikil lembut menimpa kami. Kini aku melihat dengan jelas bahwa tak ada gunanya untuk meneruskannya, maka aku bergegas secepat mungkin untuk mengambil peralatanku, yang semuanya masih di tempatnya, ke tempat semestinya, dan menyerahkannya kepada para pelayan;

Aku menyibukkan diri dengan hal ini sementara batu-batu masih bergulir turun dan kolom uap pertama belum larut, ketika kawah mulai meraung dan meraung lagi, dan dengan amukan yang bahkan lebih mengerikan daripada sebelumnya, ia melontarkan gumpalan asap dan puing ke atas, yang mengancam akan jatuh ke puncak kami. Saya akui bahwa saya melakukan pekerjaan saya dengan pikiran yang gemetar, akibatnya saya untungnya hanya memecahkan satu barometer saya; bukan batu-batu yang terlempar, melainkan gemuruh kawah yang dahsyat, yang menimbulkan kesan yang mengerikan; kita bisa mengibaratkan hal ini dengan pembakaran 10.000 ketel uap , dan jika dari semua ketel itu digabungkan menjadi satu, uapnya dikeluarkan; kemudian sekali lagi seseorang mengira mendengar auman seekor binatang, yang melemah selama beberapa detik, lalu bangkit lagi dengan amarah yang baru; kini tak lagi berhenti seperti letusan-letusan yang pernah terjadi sebelumnya, tetapi mengancam akan terus berlanjut dan menjadi pembuka jalan bagi letusan yang lebih besar.

Selama fenomena ini, yang lebih dari sekadar membuat kita takut, sebagian besar kuli sudah meninggalkan puncak gunung; perjalanan pulang mereka dapat disebut penerbangan. Aku mengikuti mereka bersama para pembantuku yang membawa peralatan, sementara kawah yang kini kami lihat membelakangi kami terus bergemuruh, dan suara jatuhnya batu-batu tampak semakin dekat; Dengan cara ini kami mencapai tepi barat puncak dan, meluncur atau melompat daripada berjalan, kami terus menuruni lereng kerucut yang curam. Pasir dan rapilli berjatuhan di tempat yang disebutkan pertama. Amukan kawah terus berlanjut, sementara kami turun semakin jauh di lereng gunung, diselimuti awan debu, kadang-kadang terkubur hingga lutut di dalam pasir. Baru setelah setengah jam mengamuk, letusannya berhenti, dan sekarang, seperti halnya letusan-letusan Semeru lainnya yang kami amati, keheningan total pun terjadi.

Kami kini terpaksa mengakui bahwa bahaya itu hanya tampak jelas, karena tidak ada batu lain yang lebih besar daripada bongkahan batu apung ringan, seukuran apel kecil, yang jatuh di bagian barat laut puncak, yang mana kami mampu melindungi diri dengan penutup yang diletakkan di atas kepala kami. Sudah pasti. Seorang kuli tidak akan melarikan diri jika kepala mereka (kepala kampung) ada di sana. Oleh karena itu, para kepala suku ini, atau lebih tepatnya para Wëdono, adalah alasan mengapa rencana untuk bermalam di sini gagal.

Tak jauh dari puncak gunung kami sampai di tempat tumpukan kayu yang dibuang oleh para kuli. Saya melihat mereka terbaring di sana dengan sedih! Kini kami meluncur di dasar tambang-tambang kecil, yang pasirnya lebih gembur dan lembab, di dasar, kini di atas permukaan lereng di samping tambang-tambang, yang di sana ditemukan banyak sekali batu, sementara kami hampir terus-menerus diselimuti awan pasir dan abu; kadang kala terjadi sejumlah besar pasir lepas beterbangan mengejar kami, kemudian batu-batu yang telah digerakkan menggelinding mengejar kami; beberapa kali suku kuli, yang dalam perjalanan pulang mereka tergesa-gesa seperti halnya mereka lambat dalam pendakian gunung, terpeleset dan berguling di tanah yang mudah bergeser, selama mereka berada di sana.

Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, kami mencapai batas atas hutan. Tak lama setelah pukul 5 kami meninggalkan puncak, dan berhenti di bawah salah satu Pohon Casuarina pertama tepat saat matahari terbenam. Dengan warna yang indah ia menyelami lapisan uap, yang dibatasi oleh garis-garis cahaya yang paling indah; ia melemparkan sinar perpisahan terakhir ke permukaan danau awan, yang bagaikan dataran tinggi berselimut salju, tampak membentang ke seluruh pulau Jawa. Pada saat itu, lapisan putih awan yang mengepul berubah menjadi rona abu-abu, dan hanya lereng Semeru yang menonjol bersinar sesaat dalam warna merah senja, hingga akhirnya padam.

Tak lama kemudian, saat kami terus menuruni bukit, kegelapan hutan mengelilingi kami; Namun, kami cukup beruntung, meski gelap, dapat melintasi punggung bukit pasir yang berbahaya tanpa kesulitan apa pun dan tiba di Widodarèn dalam waktu 7,5 jam. Di sini kami mengamati dua ledakan lagi, satu pada pukul 8 dan yang lainnya pada pukul 11, keduanya dimulai dengan suara gemuruh seperti biasa, dan, meskipun cahaya bulan paling terang, menyerupai pertunjukan kembang api raksasa. Karena meskipun kolom uap itu tampak hitam pada siang hari, sekarang tampak begitu cemerlang; Bongkahan batu yang tadinya tampak hitam oleh mata pada siang hari, kini beterbangan di udara bagai roket berapi, lalu menggelinding menuruni lereng gunung bagai bintik bercahaya, yang kemudian berangsur-angsur padam.

Pada tanggal 27 September kami memulai perjalanan pulang melalui wilayah-wilayah yang telah kami ketahui; kami berangkat dari Widodarèn pukul 6, sampai di Kali-Sat pukul 8.15, air terjun Kali-Manjing pukul 9.15 dan, setelah rombongan perjalanan kami ditakut-takuti di hutan oleh seekor harimau yang datang ke arah kami, tetapi setelah beberapa detik menghilang, kami tiba di desa Majangtëngah pukul 1.

Dari sini dapat diketahui bahwa puncak Semeru dari sisi Majangtëngah dapat dicapai dengan sekali jalan tanpa perlu bersusah payah; jika seseorang meninggalkan tempat yang disebutkan terakhir pada pukul 6, seseorang dapat, dengan menunggang kuda perlahan, tiba di Widodarèn pada pukul 2, beristirahat di sana selama seperempat jam, dan dari tempat ini mencapai perbatasan hutan bagian atas dengan berjalan kaki dalam waktu 1,75 jam, yaitu pada pukul 4; Dari sini, dengan berjalan perlahan dan sering beristirahat, seseorang akan mencapai puncak dalam waktu dua jam, yang dicapai tepat pada waktunya untuk melihat matahari terbenam di bawah cakrawala.

Setelah menyibukkan diri dengan menyusun apa yang telah saya catat dengan pensil di puncak Semeru dan selanjutnya di Widodaren, pada sketsa terdahulu, bolehlah saya sampaikan di sini sedikit yang saya ketahui tentang sejarah gunung berapi tersebut. Dari sore hingga tengah malam kami mendengar letusan kuat berulang kali dari Gunung Semeru, termasuk 4 letusan yang sangat dahsyat.

Letusan Semeru.

Tahun 1818; pada tahun ini dia pasti menderita wabah yang sangat hebat.

1829, Januari; Akhir bulan ini, saat Lamongan masih bergejolak, ia kembali berasap “untuk pertama kalinya” dalam 10 tahun. (Jav. Courant tanggal 17 Desember 1829.)

Tahun 1831; tanggal 15 dan 16 Desember. Setelah pada tahun-tahun sebelumnya hanya mengeluarkan “asap”, kini ia mengeluarkan “untuk pertama kalinya” abu, dan dalam jumlah yang demikian banyaknya sehingga semua gunung di sekitarnya tertutup oleh abu. Pada saat yang sama terjadi letusan dari Bromo. (Jav. Courant tanggal 4 Januari 1832.)

Tahun 1832; tanggal 18 April. Saat fajar menyingsing, gumpalan asap tebal mengepul, namun sangat pelan, hingga mencapai ketinggian yang amat tinggi di udara; Gunung ini mencair antara pukul 7 sampai pukul 8, tertiup angin dan menimbulkan hujan abu dari arah “selatan ke barat”, jadi ke arah barat laut? yang didorong oleh angin tenggara? yang terpantau di sebagian besar wilayah Kecamatan Gondang Legi, maupun di wilayah selatan Kecamatan Sengoro, keduanya di Malang, dan berlangsung hingga siang hari, tanpa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan; karena meskipun sudah bulan April, hujan masih turun terus-menerus, sehingga abu segera tersapu dari dedaunan. — Menurut laporan dari Malang, sebelum kolom abu naik, terdengar hembusan angin bawah tanah yang dahsyat, disertai “embusan api” di sisi tenggara gunung. (Koran Jav. Courant, 30 April, (Tahun 1832)

Tahun 1842 ; Pada akhir Januari, Februari, dan Maret, sejak Lamongan berhenti mengeluarkan kolom asap di awal Januari, Semeru — dan secara bersamaan, mulai 30 Januari hingga 15 Februari, kerucut erupsi Bromo di kawah Tënggër — mengeluarkan awan asap yang luar biasa besar dan sangat kuat. (Jav. Courant tanggal 5 Maret 1842, no. 19.)

Penduduk asli menyatakan bahwa mereka belum pernah mengenal Semeru dalam kondisi lain selain kondisinya saat ini (1844); artinya, seluruh puncaknya, setidaknya selama lima puluh tahun terakhir, benar-benar gundul, seperti sekarang, dan kawahnya, pada interval tertentu, durasinya sangat tidak sama, namun setiap hari menyemburkan awan asap dan pecahan batu yang membara, seperti yang telah kita amati sekarang; kadang-kadang ledakan emosi yang terisolasi seperti itu, yang terasa setelah jeda yang benar-benar tenang, hanya terjadi satu kali dalam sehari; kadang-kadang, menurut laporan penduduk asli, seseorang mendengar sekitar 20 atau lebih dalam satu hari; Hal ini terutama terjadi selama musim hujan. Dalam jangka waktu dua hari, saya hitung ada lima belas kali, empat di antaranya saya hadiri di puncak gunung itu sendiri.

Letusan yang diamati.

Hasil letusan Semeru yang diamati Junghuhn, No, Tanggal, Jam, Jarak waktu antar letusan.

Bahwa lubang kawah, setelah setiap letusan yang terjadi, berulang kali terhalang oleh massa puing yang jatuh, menghalangi semua saluran keluar uap, dan tetap tertutup sampai daya mengembang dari uap atau gas terkompresi yang mengalir dari bawah meningkat begitu banyak sehingga mengatasi hambatan yang dihadapinya, semua ini sangat jelas; Uap tersebut kemudian memecahkan tutup yang menopangnya, membersihkan lubang tersebut kembali, dan naik keluar dalam bentuk kolom, sementara jutaan pecahan batu terlempar keluar pada saat yang sama.

Karena pecahan-pecahan puing ini bersinar, mereka memberikan bukti jelas bahwa lava cair sebenarnya sedang disemburkan ke atas dari perapian dalam gunung berapi; namun, karena jumlah uap yang dikeluarkan terlalu sedikit, kekuatannya tidak cukup untuk menaikkan kolom lava hingga ke tepi kawah yang tingginya 11.500 kaki;

Kolom ini karenanya terangkat dari posisi terkoyak dan pecah di bibir kawah oleh uap yang menerobosnya, di mana, setelah kehilangan sebagian panas aslinya, ia tiba hanya dalam bentuk loess yang berlapis merah, tetapi tidak dalam bentuk loess yang meleleh. Sebab jika seseorang berasumsi bahwa kawah tersebut tertutup oleh danau lava dalam keadaan cair, yang mana uapnya sesekali menerobos dan dengan demikian memaksa adanya jalan, bagian yang terlontar dari lava cair ini, yang tidak dapat mendingin begitu cepat selama beberapa detik yang dibutuhkan untuk jatuh, akan menjadi rata di lereng gunung ketika jatuh, atau akan memperoleh segala macam bentuk yang memanjang. Tak satu pun yang benar; mereka memiliki sudut lancip, tepi tajam, dan sisi halus atau sedikit cekung; mereka jatuh seperti benda padat, yang tidak dapat ditekuk maupun diratakan.

Perbedaan besar yang terlihat dalam durasi interval antara letusan berturut-turut, — bervariasi dari setengah jam hingga sepuluh jam, — sekaligus membuktikan bahwa uap di bagian dalam bumi berkembang dalam kuantitas yang tidak sama, terkadang lebih banyak, terkadang lebih sedikit; Namun, ledakan yang saya lihat terjadi setelah selang waktu 10 jam, tidak lebih dahsyat daripada ledakan yang terjadi setelah jeda waktu hanya setengah jam.

Tambahan Lain-lain

Sejak permulaan tahun 1845 sampai bulan Juli, Gunung Semeru terus eksis sebagaimana yang telah kulihat pada tahun 1844, yaitu sewaktu-waktu menyemburkan gumpalan-gumpalan uap disertai batu-batu dan abu yang membara, dan setiap kali disertai suara gemuruh yang dahsyat, sedangkan Gunung Bromo dan Gunung Lamongan tetap tenang. (Zollinger, Geneesk. Archief, Batavia, II. hal. 543.) Di sisi tenggara, di bawah kawah, pasti terdapat tiga solfatara dalam jumlah celah yang sama, yang mengeluarkan uap dengan hebat.

4 Agustus 1848, Dr. P. Bleeker, kolom uap serupa naik dari Semeru seperti yang kita amati pada tahun 1844. (Lihat Jurnal Hindia Belanda, volume 1849, edisi 7, halaman 43.)

Orang Jawa tidak mengenal letusan gunung yang besar dan dahsyat, yang dampak kerusakannya terasa hingga jarak yang sangat jauh dari gunung-gunung tersebut. Bahwa Gunung Semeru pernah mengalami letusan-letusan demikian, dan bahwa pada masa lampau, sebelum aksinya hanya terbatas pada lontaran abu dan puing-puing, sebelum lontaran-lontaran itu membangun puncak piramida yang menjulang setinggi 5.000 kaki, telah melontarkan aliran-aliran lava yang amat besar, tampaknya dibuktikan oleh punggung-punggung dan benteng-benteng batu yang memanjang dari ujung selatannya hingga ke pesisir Laut Hindia, yang memang tampaknya sebagian terdiri dari massa-massa lava yang saling mengalir.

Patut dicatat bahwa pada tahun 1836, Tuan-tuan J. F. W. van Nes dan yang lainnya menemukan jejak-jejak candi Hindu di kaki barat daya Semeru, di tengah-tengah hutan asli, serta sebuah patung Ganesa yang sangat besar dan indah (dalam posisi tegak); (1) Dari sini nampaknya kita bisa menyimpulkan bahwa wilayah-wilayah ini, yang sekarang sangat liar dan tidak ramah, terletak di kaki barat daya dan selatan Semeru, timur Majangtëngah, dulunya sangat padat penduduknya. Mungkinkah penduduknya telah terusir dari sana akibat letusan Semeru yang dahsyat?

Menurut laporan pengamat lain, kaki selatan Semeru yang umumnya datar, sebagian besar terdiri dari aliran lava dan pecahan-pecahan batu yang bertumpuk, ditutupi hutan yang hampir tidak bisa ditembus, sampai ke pantai selatan. Menurut komunikasi dari Tuan van Herwerden, (2) pemerintah merencanakan pada tahun 1828 untuk membangun jalan melalui wilayah ini dan mengelilingi kaki gunung Sëmeru, untuk menghubungkan wilayah Malang di sebelah barat dan Lumajang di sebelah timur gunung; dasar sungai yang berbatu-batu, serta hutan bambu yang sulit ditembus, membuat niat tersebut tidak dapat dilaksanakan.

(1) Lihat Jurnal untuk Belanda. India. Bahasa Indonesia: VI. nomor. 8, hal. 160. Barang antik ini ditemukan jauh dari tepi kiri Kali-Prengapus (lihat di atas); patung Genesa yang berdiri, batu dengan tulisan, serta bak cuci yang diukir di batu, dll.

(1) Handbook, sebelumnya Batav. Masyarakat, bagian XVII: «Di Pegunungan Tengersch.»

Penulis yang sama (mantan Residen Madiun) melaporkan bahwa bongkahan pasir dan abu yang terlempar dari Semeru juga terbawa ke bawah setelah hujan deras dari ngarai Kali-Bësuk yang dasarnya tertutup jutaan terak. Aliran sungai ini mempunyai bentang alam, di sebelah selatan Lumajang, tetapi terletak di sekitarnya, melintasi banyak tiang, pada ketinggian beberapa kaki, tertutup oleh kotoran bekas dan berubah menjadi gurun pasir tandus.

Orang (Eropa) yang pernah mengunjungi gunung Semeru.

Pada tahun 1836, tepatnya tanggal 5 Agustus dilakukan percobaan pendakian Semeru yang pertama kali dilakukan oleh Tn. J. F. W. van Nes (waktu itu Residen Pasuruan), J. H. Dickelman (Asisten Residen Malang), van der Poel dan Schonke (keduanya Pengawasi pada waktu itu) dan beberapa yang lain. (Lihat Jav. Courant tanggal 10 September 1836, no. 73 dan Tijdschr. voor Neêrl. Indiè, VI. no. 8, halaman 158 dan seterusnya.) Tuan-tuan ini di antara orang lain berjasa telah membuka jalan pertama melalui hutan Majangtengah menuju Sëmeru dan dengan demikian juga membuka akses ke sana. Itu adalah jalan yang sama yang saya lalui; Orang Jawa telah membersihkannya sedikit dan menebang semak belukar yang tumbuh di atasnya.

Batu di Kali-Manjing, oleh para penjelajah tahun 1836, di hal. 160. keran, disebut basal, adalah lava trachyte yang saya jelaskan. Widodarèn, tempat para pria yang disebutkan di atas bermalam, menurut jaminan orang-orang Jawa dari Majangtëngah, yang bersama saya, merupakan rusuk yang sama sekali berbeda, yang menghadap ke timur, dari sana, pada tahun 1836, mereka mengambil arah yang sama sekali berbeda, lebih ke timur daripada yang saya ikuti pada tahun 1844. Dari Widodarèn mereka menghabiskan waktu berjam-jam, dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore, untuk mendaki, dan belum juga mencapai puncak.

Hal ini hanya dapat dijelaskan oleh fakta bahwa tuan-tuan ini menghadapi tempat-tempat yang sangat sulit di lereng gunung dan pasir yang gembur dan mudah bergerak. Berjalan perlahan dengan para kuli, saya hanya menempuh waktu 1,75 jam dari Widodaren ke tepi hutan, dan 2,5 jam dari sana ke puncak, sehingga totalnya menjadi 4,25 jam. Pada saat itu (tahun 1856) terjadi letusan setiap 1/2 atau ¾ jam, dengan fenomena yang hampir mirip dengan yang terjadi saat ini. Saya mendapati semua hal lain yang disebutkan oleh pria yang disebutkan tadi sepenuhnya terkonfirmasi. – Pendakian Semeru selanjutnya oleh G. F. Clignett, pada tanggal 18 Oktober 1838, disebutkan secara singkat dalam Tijdschr. voor Neêrl. Indie.I. n°. 12, hlm. 446 dan seterusnya.

Tidak ada usaha lain semacam ini yang saya ketahui.

Sumber : Java, zijne gedaante, zijn plantentooi en inwendige bouw, tweede afdeling tweede gedeelte, 1853-1854, Junghuhn, Frans

Disclaimer : Dengan sumber utama yang berbahasa Belanda, kendala utama adalah menterjemahkan dalam “bahasa” yang baik dan benar. Alat penterjemah utama adalah “Google Translate” atau penterjemah lain, dimana tidak bisa kita andalkan 100%. Tidak menutup kemungkinan terjadi transfer data/huruf yang salah, atau berbeda arti dari makna sebenarnya. Untuk hal-hal yang meragukan, silahkan merujuk kepada dokumen dan bahasa aslinya.

Postingan Terkait :

Perjalanan ke Puncak Semeru 1926

Pendaki Eropa Pertama Puncak Smiroe (Semeru)

Laporan Pendakian Mahameru (1974)

Stasiun Karantina Tebu Ranu Darungan di Lereng Semeru

404 Not Found

Not Found

The requested URL was not found on this server.

Additionally, a 404 Not Found error was encountered while trying to use an ErrorDocument to handle the request.