Banyak orang tidak menyangka, bahwa mantan Bupati Surabaya telah berusia 64 tahun, telah menyelesaikan 47 tahun masa bakti, 22 tahun di antaranya sebagai bupati (Surabaya). Dia masih terlihat muda dan masih menunjukkan minat yang besar pada hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Tidak hanya pada hal-hal yang menyangkut masalah pengabdian.
Raden Adipati Ario Nitiadiningrat (VI), memiliki karir yang luar biasa, yang layak disebut. Ia lahir pada tanggal 12 Juli 1870 di Pasuruan, sebagai anak dari “Raden Toemenggoeng Ario Soerijoningrat”, Bupati Probolinggo. Ia berasal dari keluarga Bupati Pasuruan lama dan juga berkerabat dengan keluarga bangsawan Jawa kuno. Antara lain karena perkawinannya dengan putri salah satu Bupati Surabaya sebelumnya.
Bupati menerima pelatihan untuk pendidikan administrasi di Hoofdenschool Probolinggo. Setelah itu ia memasuki dinas di Kabupaten Pasuruan dari bawah sebagai penulis. Ini terjadi pada bulan Juni 1887.
Kurang dari setahun kemudian ia diangkat menjadi “Mantri ulu-ulu”, (jabatan yang sudah tidak ada lagi) di Winongan. Pada tahun 1890, ia dipindahkan ke Gempeng dekat Bangil dengan posisi yang sama. Selanjutnya pada bulan Februari 1893, ia dipromosikan sebagai Asisten Wedono dari Karangplosso (dekat Malang). Pada bulan Mei 1898, ia diangkat sebagai Asisten Wedono kelas 1 di Sumberpucung, juga terletak di Malang. Pada bulan Desember tahun terakhir ia diangkat ke posisi pejabat wedono dari Senguruh. Kemudian pada tahun 1901, diangkat sebagai wedono dari Gondanglegi, dan pada tahun 1905 sebagai patih dari Bangil.
Lima tahun kemudian ia menjadi patih mandiri di Kraksaan, setelah itu ia diangkat menjadi Bupati Surabaya pada 6 September 1912. Jabatan itu dijabatnya hingga 31 Mei 1934 dan dua kali menjabat sebagai Bupati Sidoardjo, yakni pada tahun 1925 dan terakhir tahun 1932.
Pemerintah selalu sangat menghargai kerja dan kemampuan khusus bupati, ditunjukkan dengan sederet penghargaan yang dianugerahkan kepadanya. R. A. A. Nitiadiningrat menerima sertifikat kepuasan pada tahun 1918, lima tahun kemudian predikat “Adipati”, serta hak untuk membawakan “Payung Kuning”. Pada bulan Agustus 1927 “Bintang Jasa Emas Besar”, sedangkan pada bulan Agustus 1932 ia diangkat sebagai “Perwira Ordo Oranye-Nassau”.
Ketika seseorang telah mencapai usia 64 tahun, dan telah mengabdi dengan setia dan jujur. Dengan segala pengetahuan dan kemampuannya selama hampir setengah abad, maka seseorang pasti “memiliki banyak cerita”.
Bupati menghabiskan masa mudanya di Pasuruan, tak bisa dipungkiri bahwa ia sering melakukan perjalanan ke Surabaya. Pada tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan abad-19, Surabaya telah jauh berbeda. Belum lama berselang, benteng-benteng dirobohkan, parit-parit di sekitarnya terisi, alun-alun (sekarang Passer Besar) diluncurkan, dan eksodus orang-orang kaya dimulai.
Kota mulai bergerak ke arah selatan. Tunjungan, Genteng, Embong Malang dan Simpang menjadi kawasan pemukiman. Toko-toko pindah dari Heerenstraat-Boomstraat-Komedieplein ke Sociëteitstraat dan Passer Besar. Lambat laun ada pembicaraan tentang “Kota Bawah” dan “Kota Atas”. Tetapi perubahan besar dalam aspek perkotaan dimulai setelah tahun 1900, kemudian ketika Stadsgemeente (kotamadya) didirikan dan berjalan lancar.
Perubahan terbesar di kota Surabaya, diamati oleh Pak Nitiadinigrat selama masa bupati (1912-34). Kabupaten kota baru yang luas (Gubeng, Sawahan, Ngagel, Darmo, Kupang dan Ketabang), ditambahkan ke dalam rencana kota yang ada. Kota tumbuh pesat dalam populasi, terutama pada periode 1910-23. Rumah-rumah modern yang bagus sangat dibutuhkan. Backlog harus diselesaikan dalam waktu singkat. Tak perlu dikatakan bahwa kesalahan telah dibuat.
Bupati dapat menceritakan semua ini, dan banyak hal lainnya dengan cara yang menyenangkan. Dan ini tentu saja mengacu pada perubahan besar yang telah diperkenalkan dalam layanan administrasi. Tidak semua perubahan itu, bisa disetujui oleh pak bupati.
Bagaimana bisa berbeda?
Pak Nitiadiningrat tumbuh dengan pemerintahan lama, dia berasal dari keluarga bupati kuno dan terkait erat dengan yang lain, yaitu Surabaya.
Oleh karena itu, dengan sangat sedih ia mengamati lunturnya wibawa bupati. Bentuk pemerintahan telah diperluas terlalu banyak ke model Barat. Melupakan bahwa seseorang tinggal di sini di negara Timur dengan kepala pangeran dan kepala adatnya. Orang Timur, orang Jawa hanya ingin memandang seseorang yang dia akui sebagai pemimpinnya. Seorang bangsawan, mungkin seorang otokrat, tetapi bagaimanapun juga kepala dan mandornya. Dan dalam hal ini bukankah orang Timur dan Barat setuju dalam keberadaan mereka yang terdalam? Tidakkah Anda melihat, terutama akhir-akhir ini, sebuah kecenderungan di Barat bahwa rakyat, massa besar, ingin memiliki satu pemimpin?
Kekuasaan bupati digantikan oleh mesin administrasi yang mahal. Antara bupati dan rakyat, terdesak penguasa-penguasa cilik lainnya, yang dapat mengurangi kemegahan dan gengsi yang terkait dengan jabatan bupati. Bupati tidak lagi berdiri di atas segalanya. Orang biasa bisa menyerangnya, melawan ide dan tindakannya, dan itu di depan umum. Di mana prestise kekuasaannya atas massa?
Itu dulu dan belum lama ini sudah berbeda, saat bupati masih memiliki kewenangan, orang-orang memandangnya sebagai dewa. Apakah dia seorang bupati yang baik atau bahkan biasa-biasa saja, dia bisa mendapatkan lebih banyak hasil dari rakyat daripada sekarang, melalui semua mesin pejabat yang mahal dan bekerja keras. Bupati memberi kami beberapa contoh mencolok tentang hal ini.
Dengan hilangnya kekuasaan bupati, kontak dengan rakyat juga hilang dan, yang paling buruk, hubungan persaudaraan antara bupati dan residen terputus. Dahulu, ketika residen tidak jauh berbeda usia dengan bupati, residen adalah seperti saudara sendiri.
Sering terjadi keduanya saling memanggil nama. Bupati mendengarkan nasihat “kakak laki-lakinya”. Masing-masing tetap menguasai bagiannya sendiri. Residen lebih mementingkan kepentingan orang Eropa dan bupati dari bagian masyarakat pribumi. Tetapi dengan masuknya budaya barat dalam lembaga adat timur, kontak antara bupati dan residen semakin renggang. Terutama di kalangan bupati yang lebih tua, yang masih dapat mengingat dengan jelas bentuk hubungan sebelumnya.
Bupati sekarang secara umum terisolasi, baik dari satu sisi maupun dari sisi lain. Dia melihat kekuasaannya atas rakyatnya melemah, tenaga dan semangat kerjanya dibatasi oleh banyak peraturan administratif. Dia tertutup di meja tulisnya dan terkubur di bawah aliran kertas. Bagi dia, mustahil untuk mengetahui dengan tepat apa yang terjadi pada rakyat. Dia harus ikut campur dengan banyak hal lain. Satu penguasa yang kuat, yang diberikan “wewenang” dan tidak terlalu terbatas dalam kekuasaannya, dapat melakukan banyak hal demi ketenangan dan perdamaian. Orang bisa menghemat tugas polisi dan segala macam saran, jika mereka memberi bupati sedikit kebebasan.
Namun, orang-orang menginginkan hal yang berbeda, dan menurut sang bupati, konsekuensinya tidak dapat dihindari. Tidak mungkin bagi seseorang yang telah melayani pemerintahan dengan setia dan jujur selama hampir setengah abad, untuk melihat keadaan berubah, tetapi tidak membaik.
Bupati mengatakan kepada kami, bahwa ia akan terus tinggal di Surabaya setelah pensiun. Dia memiliki sebuah rumah di Darmo Kali, dengan pemandangan taman bermain milik pak Wasterval dan Kali Mas yang indah.
Diterjemahkan dan dikutip dari : De Indische Courant, 11-04-1934.
Postingan terkait :
R. A. A. Niti Adi Ningrat VI, Bupati Surabaya Asal Pasuruan