Sabtu, 15 Mei 1858, di pertengahan abad-19 atau 165 tahun yang lalu! Bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, atau lebaran 1 Syawal 1274 H, tepat 170 tahun yang lalu dalam penanggalan Islam. Residen Pasuruan kala itu, Steinmetz, mengumumkan rangkaian agenda acara lebaran, sehari sebelumnya pada 14 Mei 1858. Lebaran dalam dokumen lama Belanda, disebut cukup unik sebagai “HARIE AIJA RAMLAN“. Mungkin maksudnya “Hari Raya Ramadhan“, yang terdengar dan ditulis beda oleh telinga Eropa. Salah satu acaranya adalah “SENENAN“, yang akan diadakan di alun-alun Pasuruan, pukul 5 sore.
“SENENAN” adalah salah satu tradisi kuno di Jawa, suatu acara adu ketangkasan dalam menunggang kuda, diantara dua orang dengan membawa tombak (sodor) berujung lentur atau tumpul. Dalam tradisi kuno Jawa, suatu acara dinamakan sesuai dengan nama harinya, biasa dilakukan di hari Senin, maka dinamakan “Senenan“, kalau hari Jumat, dinamakan dengan “Jumatan“, dst. Diperkirakan awalnya dilakukan tiap minggu sekali, setiap hari Senin, untuk melatih para prajurit dalam ketangkasan berkuda, sebagai sarana latihan perang-perangan. Namun lambat laun, dengan semakin berkurangnya peperangan, berubah menjadi sekali atau beberapa kali saja setahun. Utamanya dilakukan setelah puasa Ramadhan, yaitu dalam rangka menyambut hari raya atau lebaran.
Senenan tidak terpaku harus di hari Senin, tapi bisa juga di hari-hari lain. Contohnya seperti di Pasuruan tahun 1858 itu, dijadwalkan pelaksanaannya di hari Sabtu. Bisa dilakukan pagi, sore, atau sepanjang hari. Di Sidoarjo, terpantau juga diadakan di hari Sabtu, 27 Agustus 1881, bertepatan dengan 2 Syawal 1298 H. Yang diadakan tepat di hari Senin, tercatat ada di Probolinggo pada 6 September 1880, di hari pertama lebaran 1 Syawal 1297 H.
Tradisi kuno “Senenan”, tercatat dalam sejarah ekspedisi kedua dari Belanda ke Hindia Timur, yang dipimpin oleh Jacob van Neck dan Wijbrant van Warwijck, yang berlayar dari negeri Belanda pada bulan Mei 1598 (akhir abad-16), dan tiba di Banten di Jawa Barat, menjelang akhir tahun yang sama. Dari Banten, empat kapal berlayar ke Maluku, dipimpin oleh Wijbrant van Warwijck dan Jacob van Heemskerck. Bagian dari armada ini melakukan pendaratan di Tuban, di Jawa Timur, di mana mereka diterima oleh penguasa setempat.
Ketika itu, sedang berlangsung acara “Senenan” di alun-alun Tuban, tercatat dalam laporan ekspedisi ini. Disebut sebagai “Javaansch/Inlandsch tournooi/tournooispel“, yang bisa diartikan sebagai “Turnamen Jawa/Pribumi“, ada juga yang menyebut sebagai “Steekspel“. Mirip yang ada di Eropa, yang disebut “Jousting“, dimana dua orang ksatria berkuda berbaju dan bertopeng besi, dengan semacam tombak panjang, saling berlomba menjatuhkan satu sama lain. Sering kita lihat adegan “Jousting” ini, dalam film klasik kerajaan Eropa tempo dulu. Jadi bisa dikatakan sebagai “Steekspel” atau “Jousting” versi Jawa.
Suasana dan bagaimana tradisi “Senenan” ini berlangsung, diceritakan oleh “Willem Kooiman“, dalam jurnal “DE HOLLANDSCHE LELIE“, 19de Jaargang 1905-1906, di awal abad-20. Berikut ini terjemahannya :
” Di pagi hari, ketika puasa besar di bulan Ramadhan telah berakhir, turnamen Jawa akan berlangsung di alun-alun besar (di Gresik). Menjelang subuh jalan dari Surabaya ke Gresik sudah dipadati oleh penduduk desa sekitar, semua dalam pakaian terbaik mereka dengan warna-warna berani. Nuansa pakaian berwarna lembut, yang menarik bagi mata Barat, tidak disukai oleh mereka.
Anak-anak berpakaian lucu, dengan wajah berbedak putih, membawa makanan enak yang diikat dengan kain, karena orang Jawa jarang pergi ke suatu perayaan tanpa membawa bekal. Mereka tampak seperti orang yang sudah dewasa.
Para pria dengan kain warna-warni (udeng) yang diikatkan di kepala, sarung baru di sekitar pinggang, kebanyakan berbaju hitam, serta keris yang tidak terpisahkan, mungkin pusaka warisan leluhur, di ikat di perut mereka.
Para wanita, yang berkain sarung batik buatan sendiri, dan berbaju beludru di sekujur tubuh mereka, tidak kalah dengan perempuan Barat dalam berdandan, karena mereka ingin berpenampilan terbaik di acara pesta itu. Dengan wewangian bunga di konde, anting-anting berkilau di telinga, gelang di pergelangan tangan, dan selendang cantik yang menggantung ringan di pundak, mereka terlihat sangat menawan.
Hari ini menjanjikan liburan yang indah, sinar matahari bersinar cerah dan langit biru tidak berawan.
Pakaian warna-warni penduduk, mulai dari kuning lemon hingga biru tua, nampak selaras dengan warna hijau tua di sekitarnya. Sesampainya di tempat festival kami tidak menemukan teriakan liar, tidak ada suara seperti kami, di mana suasana pesta dirusak begitu menyedihkan, tetapi kegembiraan yang tenang di mana-mana.
Ribuan orang duduk dan berdiri berkumpul di sekitar alun-alun.
Bunyi gong yang dipukul, sebagai tanda dimulainya pesta, terdengar di tengah dengungan warga yang berkerumun. Dengan melodi yang sama, yang tidak berubah selama bertahun-tahun, pesta itu dimulai. Sekali lagi suara gong dari iringan musik gamelan berbunyi, tanda turnamen akan dimulai.
Seratus kepala desa, yang menunggang kuda kecil yang penuh semangat ikut berpartisipasi. Mereka mengenakan sarung yang diikat di atas celana berwarna. Selanjutnya tubuh bagian atas telanjang dan ditutup dengan borét (salep berwarna kuning). Di kepala mereka memakai kuluk, semacam topi tinggi, dan di tangan mereka memegang tombak berhias panji-panji berwarna. Sosok mungil namun proporsional yang cocok untuk kuda kecil. Kuda-kuda ditutupi dengan baju besi dari tembaga, sedangkan pedang, bersarung ukir dari kulit kerbau, digantung di kedua sisi pelana. Semua ini mengingatkan pada Pegasus, kuda bersayap para penyair.
Semacam tribun telah disiapkan untuk orang Eropa. Bupati, diikuti oleh pengawalnya, para prajurit, menempatkan dirinya di depan para penunggang kuda. Beberapa kali dia tur berkeliling alun-alun, dan sorak sorai muncul dari kerumunan massa, yang mengikuti pertunjukan dengan minat yang luar biasa.
Irama gamelan terdengar semakin keras dan cepat. Beberapa orang keluar dari prosesi, dengan kuda-kuda mereka yang mendadak liar, tetapi hanya sesaat. Saat upacara ini selesai, permainan yang sebenarnya dimulai. Setiap kali, dua dua orang penunggang kuda memasuki lapangan. Tujuan pertarungan adalah untuk saling menjatuhkan satu sama lain, dari pelana dengan tombak, atau menjatuhkan tombak dari tangan, dan dengan demikian melucuti senjata lawan.
Mereka berkuda mengejar satu sama lain, dengan kecepatan tinggi, serta berteriak ramai. Tergantung dari kecepatan kuda, kelincahan dan ketangkasan penunggangnya, duel itu bisa terjadi pendek atau panjang. Agar bisa bergerak cepat dan lincah, dengan membawa tombak tipis dan lentur, mereka mengendalikan kuda dengan lututnya. Demikian seterusnya hingga pertarungan terakhir.
“Senenan” diakhiri dengan tur keliling ulang di sepanjang alun-alun, sekali lagi dengan dipimpin sang bupati. Arak-arakan tersebut, kini tidak lagi menimbulkan kesan megah, seperti pada tur keliling pertama. Tombak yang hancur, pakaian yang compang-camping, terlihat di mana-mana. Kemudian diikuti para prajurit dan keluarga keraton, bupati menuju ke dalem (tempat tinggal). Pejabat Eropa yang diundang juga pergi bersamanya. Orang-orang tetap berkumpul untuk sementara waktu di alun-alun, menikmati makanan lezat dari para penjual makanan (asongan atau yang dipikul).
Akhirnya, semua pengunjung satu persatu pulang, kembali ke rumah masing-masing. Suasana lapangan yang tadinya sangat sibuk, beberapa jam sebelumnya, sekarang begitu sepi terbentang di depan mata kita. Bekas rerumputan yang terinjak-injak, kertas dan kulit buah yang berserakan, memperlihatkan bekas kehadiran banyak orang. Hiburan ini selalu dinikmati setiap tahun oleh penduduk yang sederhana, dan selalu berakhir dengan kebahagiaan yang sama.
Senja telah turun dengan cepat, khas di negara tropis. Bayangan malam menyebar, dan angin senja misterius yang sejuk bertiup dari laut. Di sana, di mana ada pohon-pohon tinggi, sudah ada kegelapan yang nyata. Kalong mengapung dalam prosesi panjang di udara, dan nyanyian jangkrik memenuhi udara dengan suara kicaunya.
Demikianlah salah satu pesta terindah di Jawa telah kita lewati. “
Arnhem.
WILLEM KOOIMAN
Begitulah gambaran suasana lebaran di masa lampau, dengan tradisi “Senenan” yang meriah. Terpantau di berbagai kota di Jawa, diantaranya : Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, dan Gresik. Dalam kegiatan hari besar lainnya, kota lain yang mengadakan “Senenan” antara lain : Surabaya, Lamongan, Mojokerto, dll. Dengan dugaan kuat, juga mengadakannya sebagai acara pesta disaat lebaran.
Dengan berjalannya waktu, tradisi “Senenan” kemudian tidak terbatas pada perayaan lebaran saja, juga diadakan pada hari besar dan hari istimewa lain, misalnya pada perayaan hari ulang tahun YM Ratu Belanda, dll. Di Pasuruan, juga di alun-alun, dalam perayaan “50 tahun” berkuasanya Bupati Pasuruan, “Kanjeng Pangeran Ario Niti Adi Ningrat IV“, juga dilangsungkan acara “Senenan”, pada hari Senin, 19 Maret 1883. Sedangkan di Surabaya, diduga kuat dalam rangkaian acara “Muludan”, acara “Senenan” diadakan di halaman masjid (misdjitplein), di hari Senin, 15 Mei 1905, bertepatan tanggal 10 Rabiul Awal 1323 H, dengan acara puncaknya tepat di 12 Rabiul Awal 1323 H.
Aneka variasi kegiatan yang mengiringi tradisi “Senenan”, bisa berbeda di masing-masing daerah. Ada yang menggabungkan dengan lomba ketrampilan berkuda, seperti jalan berhitung, berlari, kencak atau sirik (melompat). Juga ada lomba balap kuda antar para petinggi, yang disebut “Loerah Races”. Bisa diselingi berbagai hiburan yang meriah, seperti kuda dengan boneka besar, dipasang serangkaian petasan (mercon), sehingga kuda tersentak lari dan loncat tak beraturan. Menimbulkan suasana gaduh, dan mengundang gelak tawa penonton.
Saking ramai dan meriahnya acara “Senenan”, tradisi kuno lebaran tempo doeloe, sering disalah artikan oleh orang Eropa, sebagai “Hari Tahun Baru Jawa” (Javaanse nieuwjaarsdag), padahal sesungguhnya adalah hari raya umat muslim.
Hilangnya tradisi “Senenan”, kemungkinan terkait kebijakan Gubernur Jendral Van Heutz (periode 1904-1909), yang melarang dan memotong anggaran acara-acara adat, karena dianggap sebagai pemborosan. Selain kemungkinan sebab lain, seperti munculnya mode transportasi baru. Sebelum muncul mode transportasi modern, kuda adalah alat transportasi utama. Banyak dimiliki dan dipelihara oleh para pejabat (kaum priyayi) dan masyarakat pribumi. Namun tergerus perkembangan jaman, transportasi kuda tidak diminati lagi, sehingga makin jarang dipelihara, makin sulit mencari kuda terbaik. Adanya fasilitas seperti sepeda, mobil, kereta api, menyebabkan para pejabat dan petinggi, jarang naik kuda lagi.
“Perkakas Senenan” juga tidak murah, tergolong mewah dan mahal. Selain kostum peserta, yang mirip kostum “Wayang Orang”, pernak pernik perhiasan khusus yang dipasang di kuda, harganya mahal. Semakin bagus, tentu semakin mahal, dan ini menunjukkan status dan kedudukan para pesertanya. Karena ongkos yang tidak murah, diduga hanya di daerah-daerah yang cukup makmur sajalah waktu itu, yang dapat menyelenggarakan acara ini. Biaya “Perkakas Senenan”, kabarnya rata-rata seharga 300 Gulden, yang istimewa bisa mencapai 800-1000 Gulden. Selain lempengan tembaga, ada juga yang memakai perak dan emas.
Di tahun-tahun setelah periode Gubernur Jendral Van Heutz, setelah tahun 1909, acara “Senenan” sangat jarang dijumpai lagi. Terpantau hanya beberapa saja, seperti tahun 1912 di Cirebon dan 1924 di Indramayu.
Tahun 1927, di Sidoarjo, perkumpulan oleh raga “Helios”, mengadakan “Senenan” dan “Loerah Races”, serta acara lain dengan tiket berbayar. Di Probolinggo, tradisi yang sudah lama menghilang, dihidupkan lagi di tahun 1930, oleh Bupati Raden Adipati Ario Poedjo. Salah satu acara tahunan paguyuban peternak “Pangroekti Rodjokoyo”, pada hari Sabtu dan Minggu, 22-23 November 1930. Selain acara utama pameran ternak, dan tak ketinggalan juga lomba “Karapan Sapi”. Kemudian di hari Minggu, 30 Agustus 1936, juga di alun-alun Probolinggo, pukul 08.30-09.00 pagi. Dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun YM Ratu Belanda. Beruntung masih banyak para petinggi/lurah, yang ditemukan oleh Wedono Kota, masih menyimpan “perkakas lama Senenan”. Meski dinilai ketrampilan peserta, tidak semahir petinggi di masa lalu. Setidaknya dapat menunjukkan kembali kepada masyarakat Probolinggo, tradisi lama yang sudah menghilang. Tradisi kuno ini juga dihidupkan lagi di Mojokerto, tahun 1939, tidak lagi dalam menyambut lebaran, tapi juga dalam peringatan HUT YM Ratu Belanda.
Selama pendudukan Jepang dan setelah masa kemerdekaan, sejauh ini belum penulis temukan lagi, artikel tentang tradisi kuno “Senenan”. Nampaknya tradisi kuno ini, sudah benar-benar punah..
Catatan :
Dimuat Harian Radar Bromo, edisi Minggu, 8 September 2024.