Teks: Ed Brodie
Saat itu sekitar jam tujuh pagi di Malang di jalan Lebaksari (Lowokwaru), dekat Celaket. Ayah baru saja masuk ke dalam mobil, untuk berangkat kerja di pabrik gula Kebon Agung. Ibu seperti biasa, akan duduk di teras depan dan menikmati secangkir kopi pagi bersama oma.
Tiba-tiba seorang pengemis berdiri di depan rumah meminta sedekah. Oma, dengan sangat tegas, mengusir pengemis itu dengan kata-kata: “Mak lomee!”. Kupikir kata itu berasal dari kata “maklumlah” atau “maaf”, tapi itu ternyata benar. Sangat sedih dan terpukul, dia menatap kedua wanita itu dan terus berjalan. Ibu kemudian berdiri dan berteriak : “Pak sebentar, tunggu… ini uangnya!” Pengemis itu kembali untuk menerima sedekahnya.
Baik pada Anak-Anak
“Kenapa kamu tidak bekerja?” tanya ibuku, “kamu itu masih sangat muda!”
”Tidak ada yang menginginkan saya, bu. Saya ingin sekali bekerja.”
“Pekerjaan apa yang kamu inginkan dan kamu bisa apa?” tanya ibu lagi. “Bisakah kamu bekerja di kebun?”
“Sagget ndoro, sagget” (artinya “saya bisa” dalam bahasa Jawa tinggi). Ibu menghampirinya dan berkata: “Kamu bisa bekerja di sini, di kebun kami, tapi pertama-tama pergilah ke kamar mandi pembantu. Ini sabunnya, kamu mandi dulu dengan baik dan buang pakaianmu.” Ibu memerintahkan babu cuci untuk memberinya satu set pakaian lama milik ayah. Setelah mandi dia harus menemui ibu, dan ibu menjelaskan kepadanya apa jadwal kerjanya sehari-hari. “Jika aku melihat kamu mencuri, aku akan menangkapmu pakai polisi. Jadi jangan mencuri dan lakukan pekerjaanmu dengan baik !”
Kami memanggilnya “Kessi” dan dia bersikap manis pada anak-anak. Dia bisa melakukan sihir (sulap) dengan sangat baik, membuat musik, bercerita, membuat sesuatu dari kertas dan masih banyak lagi. Sebelum tidur dia berjalan mengelilingi rumah untuk melihat apakah semuanya sudah terkunci. Itu adalah masa yang penuh gejolak di tahun 1948-1950. Ooh, kami senang sekali dengan tukang kebon kami yang baru, si Kessi.
Cacat
Tahun-tahun berlalu dan kami masih senang dan puas dengan Kessi diantara kami. Kadang dia harus menjemput kami dari sekolah, tapi selalu lama karena Kessi itu cacat. Kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya, namun dia tetap mengajari kakak saya cara bermain panjat tiang. Tidak, tidak, bagaimana mungkin? Jika dia berjalan dari keran ke taman depan dengan ember penuh, air yang tersisa hanya setengah ember. Kami kemudian mulai mentertawakan, tetapi dia tidak peduli. Jadi dia berjalan dua kali lebih banyak.
Kebon Agung
Ayah datang dengan membawa berita bahwa ia akhirnya mendapat rumah dinas di Kebon Agung, dekat pabrik gula. Oma, ibu dan kami semua bahagia tentunya. Rumah besar yang indah di perkebunan, dengan taman besar di sekelilingnya, ada pohon mangga, jambu, dan pisang raja. Namun Kessi menjadi sedih dan mengatakan tidak bisa ikut pindah ke Kebon Agung. Kami pikir itu memalukan, kami pikir dia pasti menyukainya. Kami lalu pindah ke Kebon Agung dan Kessi menghilang dari pandangan. Sekarang kita punya tukang kebon baru, namanya pak Slamet, sangat membosankan sekali! Cuma jalan-jalan saja, membabat rumput dan kalau kami jalan di atas rumput dia marah-marah.
Film Lucu
Lama setelah itu kami semua pergi ke bioskop di Malang, dekat dengan alun-alun, bioskop “REX”. Saya masih ingat itu adalah film yang lucu. Pokoknya, ayah berjalan ke konter untuk mengambil tiket dan tiba-tiba adikku berteriak : “Hei, lihat Kessi di sana, di antara para pengemis di sana, lihat!” Dalam sekejap suasana di dalam mobil menjadi sunyi dan ya, memang ada Kessi kami yang timpang. Dia tidak melihat kami, dia berjalan mengemis di antara pengemis lainnya, masih mengenakan pakaian bekas ayah!
Ibu mulai terisak dan kami merasakannya saat itu. Ayah masuk ke mobil untuk menjemput kami, tetapi tidak paham ketika dia melihat kami duduk di sana dengan sedih. “Ada apa?” tanyanya heran. “Kessi, sayang,” kata ibu, “lihatlah ke sana.” Ayah melihat ke arah yang benar. “Astaga,” katanya lembut, “Bagaimana dia bisa sampai di sana.”
“Bolehkah aku memberinya uang, bu?” tanya kakakku dengan sangat tidak sabar. Tanpa ragu, ibu memberikan uang kepada kakakku untuk diberikan kepada Kessi. “Ini Kessi, dari kita semua. Kamu bisa datang ke kami di Kebon Agung. Kami sangat merindukanmu. Datang dan lihat rumah baru kami segera.”
Kessi terus menatap ke tanah, mengambil uang itu dan sejenak melihat ke arah kami. Aku belum pernah merasa begitu bangga pada kakakku seperti malam itu. Saat kami turun dari mobil dan pergi ke bioskop, kami tidak lagi melihat Kessi. Di sanalah kami berada di dalam bioskop. Film yang lucu dimulai. Semua orang sesekali tertawa, tapi kami semua terdiam, sementara Ibu masih terisak-isak. Rasanya seperti menonton film lain: Kisah Kessi atau semacamnya!
Sumber Foto : wearemania.net