Dari Tiga Hari Menjadi Sehari
1 November 1894, adalah salah satu hari bersejarah dalam perkereta-apian di Hindia Belanda (Indonesia saat ini). Pada saat itu terjalin jalur kereta api yang menghubungkan Batavia (sekarang Jakarta) dengan Surabaya sepanjang 912 Km. Saat itulah Jalur yang terputus satu sama lain antara Tasikmalaya (di Jawa Barat) dan Maos (di Cilacap Jawa Timur) selesai dibangun. Pada awalnya dibutuhkan waktu tiga hari (32,5 jam waktu perjalanan), karena tidak ada kereta ekspres pada saat itu. Para penumpang harus duduk di kompartemen dengan bangku yang ditempatkan memanjang, yang berjalan pada tiga as. Kemudian masih harus bermalam di Tasikmalaya dan Jogja.
Baru pada tanggal 6 Januari 1896, diperkenalkanlah suatu jadwal perjalanan yang dirancang khusus untuk hubungan Batavia-Surabaya. Seseorang dapat menempuh rute tersebut dalam dua hari dengan bermalam di Maos, dalam gerbong yang lebih nyaman yang ditujukan untuk lalu lintas langsung. Saat itu harus pindah ke kereta api NIS/NISM (Ned. Ind. Spoor-weg Mij) di Jogja dan Solo. NIS/NISM adalah perusahaan KA swasta yang memiliki jalur rel lebih lebar, yaitu 1435 mm, dibandingkan dengan SS (Staatsspoorwegen=Perusahaan KA milik negara) yang hanya 1067 mm.
Perjalanan pada waktu itu masih memiliki kesulitan tersendiri. Tidak hanya karena harus duduk di dalam kereta selama berjam-jam, dan kemudian harus berganti kereta dua kali. Juga karena harus bermalam di Maos, di mana orang dapat menginap di Hotel Andreas atau di pasanggrahan pemerintah. Keduanya tidak dapat memberikan kemudahan apa pun bagi para penumpang. Terlebih lagi, seseorang keluar dari kereta dalam keadaan kotor dan kelelahan. Ini akibat ayunan, goyangan, dan guncangan hebat yang dialaminya selama perjalanan dua belas jam di rute jalur sempit ini. Total waktu perjalanan saat itu masih 24 jam.
Setelah jalur Purwakarta—Padalarang selesai dibangun pada tanggal 2 Mei 1906, dan lalu lintas ekspres kemudian dialihkan sepanjang rute ini. Waktu tempuh menjadi lebih cepat, yaitu kurang dari 23 jam. Selain itu, kereta api ekspres sekarang dapat melanjutkan perjalanan antara Jogja dan Solo, berkat pembangunan rel ketiga pada jalur NISM. Sehingga pergantian kereta untuk penumpang tidak lagi diperlukan. Selain itu, lalu lintas barang juga dapat langsung melintas, sehingga menghemat banyak waktu dan biaya. Satu-satunya kekurangan adalah keterbatasan kecepatan karena adanya rel ketiga ini.
Di bawah pimpinan Stipriaan Luiscius, yang ketika itu menjadi inspektur kepala SS, kereta api ekspres pertama yang menghubungkan Bandung dengan Surabaya, beroperasi pada tanggal 1 Desember 1909. Menempuh jarak tersebut dalam waktu 13,5 jam. Seseorang dapat bepergian dengan kereta api ekspres sore dari Batavia ke Bandung, agar dapat naik kereta api ekspres keesokan paginya, total waktu tempuh berkurang menjadi hampir 18 jam. Kereta ekspres ini hanya memiliki gerbong kelas I dan II, tetapi pada tanggal 1 November kelas III juga diperkenalkan.
Pada tanggal 1 Mei 1912, kereta ekspres Batavia-Jogja diperkenalkan, dengan waktu tempuh 12 jam, yang hanya sedikit mengurangi total waktu tempuh ke Surabaya. Namun merupakan keuntungan besar, bahwa seseorang tidak perlu lagi bermalam di Maos.
Koneksi melalui Bandung dengan bermalam di sana, ternyata menjadi yang paling menguntungkan. Setelah jalur Cikampek–Cirebon selesai pada tanggal 3 Desember 1912, pada tanggal 1 Januari 1914, koneksi satu hari antara Batavia dan Semarang dibuka, setelah konversi jalur trem SCS juga telah selesai.
Pada tanggal 1 Mei 1918, rute West Java Express (Jawa Barat Ekspres) dialihkan ke jalur Cirebon—Kroya, yang kembali mempersingkat waktu perjalanan.
Pada tanggal 1 November 1929, koneksi satu hari antara Batavia dan Surabaya akhirnya terjalin, dengan total waktu tempuh 13,5 jam. Waktu tempuh kemudian dapat dipersingkat menjadi 12 jam pada tanggal 1 November 1934. Selain itu, jalur terpisah digunakan antara Jogja dan Solo, yang berjalan paralel dengan jalur NISM.

1 November 1929.
Dalam upaya memperpendek durasi perjalanan, banyak perubahan dilakukan demi kenyamanan masyarakat yang bepergian. Pada tahun 1909, kereta api memiliki penampilan yang benar-benar berbeda, lebih bergaya Eropa, karena balkon ditutup dan gerbong dihubungkan dengan akordeon. Kemudian muncul gerbong penumpang empat poros, yang membuat perjalanan jauh lebih nyaman.
Gerbong Restorasi
Penampilan baru yang memenuhi kebutuhan yang sangat besar, adalah gerbong restorasi, pertama kali diperkenalkan pada jalur Timur setelah percepatan waktu tempuh pada 2 Mei 1906.
Karena Hindia Belanda belum memiliki pengalaman, maka sistem sewa diperkenalkan terlebih dahulu. Namun akibatnya, setiap kali tender baru diajukan, harga sewa meningkat karena persaingan, meskipun penyewa tetap sama, misalnya untuk jalur barat. Namun, seiring dengan meningkatnya harga sewa, kualitas dan kuantitas dari apa yang ditawarkan pun menurun.
Itulah sebabnya administrasi mandiri diperkenalkan di jalur barat pada tahun 1912 dan di jalur timur pada tahun 1916. Keluhan yang terlalu sering muncul dengan sistem sewa berangsur-angsur menghilang dan makanan serta layanan menjadi lebih baik. Setelah tahun 1916, orang tidak bisa lagi mendapatkan minuman beralkohol di gerbong-gerbong ini, kecuali bir. Pada saat itu, semua gerbong kereta dan gerbong restorasi telah mendapatkan penerangan listrik di semua kelas, sementara kelas III juga termasuk dalam layanan restorasi.

Pada tahun 1936, perbaikan lain datang dalam bentuk “gerbong observasi”, yang dapat menampung 18 penumpang. Calon penumpang harus membayar biaya tambahan untuk duduk di dalamnya. Dari gerbong-gerbong ini, berkat jendela-jendela besar dan platform yang diperpanjang, orang dapat menikmati pemandangan alam yang indah dan kehidupan sehari-hari yang terjadi di sepanjang rel kereta api. Penggunaan bantalan karet antara sasis dan gerbong, serta ballbearing Timken, memastikan perjalanan yang nyaman bagi para penumpang, tanpa benturan atau guncangan yang mengganggu.
Pada bulan September 1937, gerbong tidur yang sangat nyaman juga tersedia, yang dapat digunakan dengan harga yang sangat wajar. Selain itu, gerbong kereta kelas I dan II dilengkapi dengan pendingin udara berupa bongkahan es berukuran besar yang suhu rendahnya disebarkan oleh kipas angin.
Prestasi Internasional
Dalam kurun waktu 45 tahun jalur kereta api Batavia-Surabaya telah berkembang menjadi jalur yang tentu saja dapat dikatakan sebagai prestasi bertaraf internasional, bukan saja dari segi kenyamanan dan durasi perjalanan yang singkat, tetapi juga karena diperlukannya pengetahuan teknik khusus dalam pembangunannya, terbukti dengan jalur pegunungan yang sangat sulit, dengan jembatan yang sangat panjang di atas jurang yang dalam, dan kadang-kadang bahkan harus dibuat tikungan. Semua ini memerlukan pengetahuan teknik yang sangat khusus, mengingat lebar rel yang hanya 1067 mm, yang meninggalkan kesan mendalam bagi orang asing, bahkan pada insinyur kereta api.
Kecerdasan Hindia, yang disertai dengan pengetahuan, keandalan, dan ketekunanlah yang menjadikan semua ini mungkin dan membangunnya menjadi pencapaian internasional tingkat pertama. Penghormatan juga diberikan kepada para personil pribumi, yang dengan kehandalan dan pengetahuan mereka dalam menjalankan tugas. Telah menunjukkan bahwa mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Tanpa kerja sama mereka proyek ini tidak akan pernah terwujud dan akan mencapai efisiensi sedemikian rupa, sehingga kereta api ekspres malam dapat melaju dengan kecepatan tinggi di jalur tunggal, tanpa terjadi kecelakaan besar, karena hanya ruas Cikampek-Cirebon yang memiliki jalur ganda (sepanjang 206 km).
Sumber : Diterjemahkan dari Majalah Tong-Tong, edisi 15 November 1962.
Postingan Terkait :
Tragedi Kereta Api di Sengon Pasuruan
Banjir dan Kecelakaan Kereta Api di Probolinggo 1940
Lensa Hans-Peter Bärtschi – Merekam “Industrial & Railways Heritage” di 120 Negara